Dedaunan pohon mepel yang berwarna jingga mulai berguguran diterbangkan angin musim semi. Seorang lelaki sedang duduk di bawah salah satu pohon mepel yang ada di taman mepel. Ia hanya memandang kosong terhadap orang-orang yang berlalu lalang di hadapannya. Sebuah senyuman tercetak jelas di wajahnya yang tampan menyiratkan sebuah kesedihan yang mendalam. “Maaf” Gumamnya sambil menggeratkan kuku jarinya pada sebuah buku berwarna merah yang ada dalam pelukannya.
Menyakitkan. Itulah perasaan yang muncul dalam dadanya, rasa kecewa, marah, kesal, putus asa dan kesedihan bercampur menjadi satu membuat dadanya sesak seolah tidak bisa bernafas kembali. “Ben.” Sebuah suara memanggil lelaki tersebut membuat lelaki itu menatap sosok lelaki bertubuh besar yang berdiri di hadapannya.
“Daniel? Ba-bagaimana bisa?” Ujar Ben tidak percaya dan wajahnya terlihat begitu ketakutan. “Hei, hei, tidak usah takut begitu.” Ujar sosok lelaki bertubuh besar itu menyadari ekspresi ketakutan Ben sebelum akhirnya tersenyum dan mengusap kepala Ben dengan lembut. “Ah, iya aku tidak sendiri ke sini.” Sosok lelaki bernama Daniel itu menyingkirkan tubuhnya agar pandangan Ben dapat melihat beberapa sosok lelaki yang berada di belakangnya. Ben membulatkan kedua bola matanya tidak percaya seolah akan lepas dari tempatnya. “Terry?” ucap Ben sedikit bergetar sambil menatap sosok lelaki dengan surai pirang yang sedang menatap dirinya dengan tatapan malas. “Kai?” Ujar Ben lagi yang kini menatap sosok lelaki dengan senyum lembut bak malaikat dengan surai berwarna coklat muda. “Ya, Ben?” jawab Kai dengan lembut membuat kedua bola mata Ben berkaca-kaca. Kini tatapannya beralih pada lelaki bersurai biru dan memiliki tubuh bongsor. “Samuel? Kalian, bagaimana bisa?” Ujar Ben masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Samuel mendekatinya kemudian membantu Ben untuk berdiri dengan senyuman berdipel miliknya. “Ya, ini kami, kami masih hidup, Ben.” Ben menggeleng pelan. “Bukannya kalian, aku meli-” Ucapan Ben terpotong karena jari telunjuk milik Samuel menempel pada bibirnya. “ Itu masa lalu, Ben” Ujar Daniel dengan suara lembutnya. “Benar, lagi pula itu bukan salahmu.” Sahut Kai dengan senyum yang belum luntur dari wajahnya. “Sebaiknya lupakan saja hal itu, Ben.” Sahut Terry yang mulai menarik kedua ujung bibirnya ke atas membentuk senyuman tipis. “Ayo, kita main lari-larian!!!” ajak Kai dengan bersemangat dan disetujui oleh semuanya termasuk Ben. Perasaan hangat yang sudah lama hilang dari kehidupan Ben mulai terasa kembali ketika dirinya dan keempat sahabatnya berlarian di tanah lapang ilalang yang begitu luas dengan senyuman dan tawa kebahagiaan.
Kelima orang itu akhirnya duduk kembali di bawah pohon mepel tempat Ben tadi duduk. Mereka terlihat kelelahan karena berlarian di padang ilalang tadi. Canda dan tawa terdengar dari mereka serta raut wajah bahagia tanpa kesedihan terpancar begitu jelas di wajah mereka seolah tidak ada lagi beban yang harus dipikul.
Ben menatap sekelilingnya dan ia baru menyadari beberapa hal. Dirinya tidak lagi berada di taman mepel melainkan berada di sebuah tanah lapang yang begitu luas dengan satu buah pohon mepel tempat mereka berteduh dan sebuah wahana komedi putar yang berjarak beberapa ratus meter dari mereka.
Terry bangkit dari tempat duduknya kemudian menatap satu persatu sahabatnya sebelum berkata. “Ayo, main komedi putar!!!” Ia langsung berlari ke arah komedi putar diikuti oleh Samuel, Daniel dan Kai di belakangnya sedangkan Ben hanya bisa diam berdiri memandang punggung keempat sahabatnya yang mendekati wahana tersebut. Ia tidak ikut berlari karena Ia melihat sebuah dinding pembatas berwarna oren yang mungkin bisa menghalanginya masuk ke daerah yang kini sudah diinjak oleh keempat sahabatnya.
Langkah kaki Samuel terhenti ketika menyadari bahwa Ben tidak ikut berlari bersama mereka. Ia berbalik kemudian menatap Ben dan berteriak. “BEN!!! AYO KEMARI!!” Sontak ketiga orang yang bersamanya ikut berhenti dan ikut menatap Ben yang sedang menggelengkan kepalanya pelan. “TIDAK APA-APA, ADA KAMI BERSAMAMU!!!” Daniel ikut berteriak membujuk Ben. “BEN!!! KAU TENANG SAJA!!! AYO IKUT!!!” teriak Kai membuat ketiga sahabatnya menutup telinga kuat-kuat karena suara cemprengnya. “Ah, maaf.” Ucap Kai menyadari sahabat-sahabatnya yang menutup telinga kuat-kuat. “BEN!!! INI AKAN BAIK-BAIK SAJA!!!” Akhirnya Terry ikut berteriak membuat yang lain kaget begitu pula dengan Ben. Ben perlahan mulai berlari mendekati mereka, bagi Ben jika Terry sudah ikut berteriak begitu artinya memang semua akan baik-baik saja.
Daniel mengulurkan tangan kanannya melewati batas dinding oren yang hanya bisa dilihat oleh Ben. Ben menerima uluran tangan tersebut dan langsung ditarik kuat oleh Daniel ke dalam pelukannya. Samuel, Kai dan Terry ikut memeluk Ben yang mengeluarkan air matanya dengan deras. “Semua akan baik-baik saja, dengan ini tidak ada lagi kata perpisahan di antara kita.” Bisik Daniel lembut di telinga Ben.
—
Seorang wanita paruh baya memeluk suaminya di rumah sakit. “Sudah-sudah, Ben sudah tenang di alam sana.” Bisik Sang suami sambil mengusap punggung istrinya yang bergetar dengan lembut. Hatinya sama sakitnya seperti sang istri ketika mengetahui anak semata wayang mereka ditemukan meninggal di taman mepel dekat rumah.
Ben diketahui meninggal sambil memeluk sebuah buku berwarna merah di taman dan penyebab kematiannya adalah overdosis obat penenang yang Ia konsumsi secara diam-diam sejak keempat sahabatnya meninggal tiga tahun lalu.
Tamat.
Cerpen Karangan: Huan_le Blog / Facebook: kunimillati