Hujan kembali menyapa Limau Manis dan sekitarnya. Tanah sedikit becek dan beberapa daun mengaminkan dirinya jatuh berguguran di pelataran mushola Fakultas Teknik yang merupakan salah satu kampus terbaik di daerah Minang. Mengikuti takdirnya terseret air yang mengalir akibat sisa-sisa hujan. Lihatlah, Fakultas ini biarpun banyak diisi laki-laki tetapi tetap ada juga barisan para perempuan yang berjilbab panjang terutama kalangan aktivis dakwah.
Sore itu beberapa mahasiswi tengah mempersiapakan bahan bukaan di sekretariat FSI (Forum Studi Islam) yang nantinya hendak dibagikan kepada anak yatim di salah satu panti asuhan dan beberapa lagi akan dibagikan ke jalanan. “Eh mau kemana Fah? aku datang kok kamu pergi.” Gadis yang dipanggil itu berdecak lantas pergi begitu saja. “Aneh, kenapa sih Latifah?” Fatimah lantas memasuki pintu sekretariat. “Assalamu’alaikum. Lingga, ada yang bisa Fatimah bantu?” Gadis itu sedikit mengagetkanku yang sedang menuangkan kolak ke dalam gelas pelastik. Untung saja tidak tumpah, masih bisa kuatasi. “Oh iya, minta tolong bungkusin kolak yang disana aja Fath. Sama sekalian masukin sendoknya kedalam kolaknya nanti ya…” Ucapku yang masih terus mengisi beberapa gelas yang masih kosong. Fatimah mengangguk dan mengangsur duduk disampingku.
Hari ini masih dengan kegiatan yang sama seperti sebelumnya. Kegiatan bagi-bagi takjil ini rutin dilakuakan FSI selama bulan ramadhan. Hari ini hari ke lima belas. “Ini maaf aku baru datang ya, baru selesai kuis tadi di kelas sama Pak Syafril…” “Eh iya gapapa kok Fath, ini kita juga baru mulai nyiapin kok. Udah ada Bunga sama Indah yang bantu sebelumnya…” “Eh iya. Oh oke deh. Ngga, kamu nggak papa. Itu si Latifah kenapa sih?” “Hemm Latifah…” Aku menimang. Oh iya kamu udah sholat?” tanyaku ke Fatimah. Fatimah menggeleng. “Belum kan baru keluar kelas hehe…” “Oh yaudah nanti bareng sama aku aja Fath ke musholahnya…” Ucapku. “Ini mau dibagiin kemana nanti? Kita jadi ke panti asuhan kan?” “Jadi Fath, nanti kita yang cewek bagiin ke panti. Sisanya biar yang laki-laki bawa bagiin ke jalanan. Bagi tupoksi kerja” “Sip. Semuanya totalnya 500 kotak kan ngga?” “Iya 500…” aku mengkonfirmasi pertanyaan Fatimah.
Ramadhan tahun ini meskipun masih dalam suasana pandemi setidaknya tak akan pernah mengikis rasa empati. Hampir empat belas bulan dunia dilanda Covid-19 yang tak kunjung reda, setiap hari kasusnya terus meningkat di berbagai wilayah termasuk di kota tempat aku merantau ini. Minggu lalu ibu menelepon dari rumah. Aku terkejut bukan kepalang, ayah ibuku positif Covid. Tahun lalu aku memutuskan untuk tidak pulang, takut barangkali aku yang akan menjadi Carrier yang menyebarkan covid ke lingkungan keluargaku di sana. Tapi ternyata Qadarullah tahun ini ibu mesti melakukan isolasi di rumah sakit bersama ayah yang ternyata juga sama positifnya seperti ibu karena terkena kontak fisik, sedang dua adikku dititipkan ke tetangga. Alhamdulillah mereka baik-baik saja. Sementara Ayah dan Ibu harus diisolasi hingga hasil keduanya dinyatakan negatif. Sejujurnya hal ini menjadi bebanku sekarang. Kasihan kedua adikku.
Saat ini aku juga mestinya sudah menyelesaikan seminar proposal terkait skripsiku yang ternyata harus mandek lantaran masih menyandang amanah di kampus dimana salah satu nota kesepakatannya aku tidak boleh wisuda tahun ini hingga amanah selesai. Sebenarnya aku terikat janji dengan orangtua harus segera lulus tepat waktu. Hanya saja aku tak bisa juga meninggalkan amanah ini. Nasib baiknya ayah dan ibu merestui itu.
“Ngga… kamu melamun dari tadi aku lihat…” Bunga menyentuh bahuku pelan. Seketika lamunanku buyar. Aku baru sadar bahwa aku ditugaskan untuk membagikan takjil kepada adik-adik di panti. Ah, rasanya segan sekali. Ya ampun maafkan aku. “Astagfirullah…” “kak aku nungguin…” Wajah polos si adik membuatkku malu karena sempat membuatnya menunggu, padahal ia sudah menampungkan tangannya sejak tadi. Ya ampun aku ayo dong fokus. “Eh iya ini dek, semoga berkah ya. Makan yang banyak biar cepat gede” aku menggelus kerudungnya, hingga bibirku mengembang tipis. “Makasih banyak kak…” dari raut wajahnya ia nampak senang, hingga berlari kecil ke tempat duduknya semula. Mataku masih mengekori. “Yuk maju sini siapa lagi yang belum? Ayo antri dulu dengan tertib yaa…” Kataku sambil mengayunkan tangan memanggil mereka. Lucu sekali. “Aku kak aku…” Seru penghuni panti yang lain antusias. “Oke sini antri yang rapi yaa.”
Kadang ada rasa senang bisa berbagi. Setidaknya meski tidak bisa berkumpul lagi tahun ini dengan keluarga. Aku bisa bermuhasabah diri. Di saat kita bingung ingin berbuka apa lantaran terlalu banyak pilihan, ada mereka yang bingung ingin berbuka dengan apa lantaran tak punya pilihan sama sekali. Bahkan uang untuk membelinya saja tak ada. Tanpa sadar butiran air sudah membentuk sungai di wajahku, kutahan namun sayang akhirnya jatuh juga. Kuputuskan memanggil Bunga dan Indah untuk menggantikan posisiku sementara. Bunga dan Indah melihatku menangis. Mungkin heran, aku kenapa? Kuputuskan berlari cepat ke arah belakang dengan berpesan ke mereka fokus saja membagikan bukaan dulu. Syukur mereka tak menyusulku.
“Iya ma, jangan lupa makan dan istirahat. Kakak baik-baik aja disini InsyaAllah.” Ucapku pada mama dari sebrang telepon. “Dah ma. Iya kakak bentar lagi buka puasa. Assalamu’alaikum ma. Wa’alaikumussalam…” Telepon langsung terputus dari sebrang. Aku kembali menatap layar handphonku ada foto keluargaku. Mataku nanar.
“Kamu nggak perlu maksain untuk tetap di Padang Ngga…” Sontak aku terkejut mendengar suara yang datang tiba-tiba dari dari belakang. “Maaf ya, aku sedikit dengar percakapan kamu sama mamamu tadi.” Aku menarik nafas sedikit berat. “Oh iya, btw minum dulu batalin puasanya.” Fatimah memberikan air mineral padaku. Sedikit kuteguk, sebelum akhirnya tenggorokanku tercekat.
“Aku keinget kata Latifah, sekretaris kita. Tentang amanah harus kita tepati dengan jujur kan. Harus dijalani sampai selesai. Ya kosekuensinya aku gak boleh pulang kan Fath?” “Lagipula lebaran tahun ini aku belum bisa mudik. Mudik kan masih dilarang,” lanjutku. “Iya, tapi jangan terlalu keras ke diri sendiri. Lagian sebenarnya apa yang Latifah bilang itu kan cuma ucapan dia sendiri. Aku sebenarnya kurang suka cara dia ngomong ke kamu tadi siang. Hemm Ngga, maaf aku gak sengaja dengar tadi sebelum Latifah pergi. Ngga… pulang untuk Birul Walidain ke orangtua itu juga perlu lo Ngga. Kamu dah terlalu keras dengan janji kamu pada amanah.” “Ya, lagian kalau aku paksain pulang juga belum bisa kan Fath. Aku nggak tersinggung dengan ucapan Latifah yang bilang aku anak manja karena dikit-dikit bilang pulang. Tapi apa yang dia bilang juga bener.” Nada suaraku sedikit menurun. “Aku juga salah. Sesama anak rantau aku harusnya paham perasaan dia, dia juga pasti rindu sama keluarganya. Nggak seharusnya aku terlalu egois mengedepankan perasaan aku tadi.” Fatimah mengusap bahuku. “Ngga, nanti biar aku coba bantu komunikasiin ke Latifah. Mungkin karena kita sudah sama-sama capek dari pagi banyak kegiatan. Harusnya memang bukan itu yang keluar dari mulutnya tadi. Mungkin kedepan komunikasi kita yang harus diperbaiki lagi.” aku mengangguk.
Selesai sholat isya, Latifah datang menghampiri kamarku. Kami satu tempat tinggal, tapi hampir tiga hari sampai dengan hari ini kami tidak bersapaan. Rasanya kami sama-sama enggan untuk memulai siapa yang akan lebih dahulu menyapa.
“Lingga…” Panggilnya masih berdiri di ambang pintu. Aku sedikit menoleh. “Masuk Fah” Kataku. “Yang kemarin itu. Aku minta maaf ya,” kata Latifah, ia mendadak menundukkan wajah “Nggak papa ko Fah. Maaf juga aku kayaknya asik minta dipahami tapi aku lupa perasaan kamu. Kita pasti sama-sama rindu keluarga kita kan?” Raut wajahnya berubah dan langsung memelukku. “Kasusnya beda kan? Mama papa kamu lagi sakit. Harusnya kamu pulang, besok kita coba rapid. Kamu harus pulang, biar aku anterin.” Suaranya terdengar sesegukkan. “Fah…” aku ikut menangis. Kami terus terpaut di pelukan, menangis sambil menenangkan batinku yang ikut merasakan kerinduaan anak rantau kepada keluarganya masing-masing. “Aku minta maaf ya, gara-gara kemarin kita jadi gak bertegur sapa. Tanpa sadar aku sudah melukai hati sahabat aku. Aku gak mau kita berantem lama-lama.” “Aku juga Fah…”
Seringkali salah paham menjadikan kita keras kepala dengan ego masing-masing. Merasa pendapat paling benar tanpa mau memahami apa kebenaran lain yang ingin orang lain sampaikan. Padahal ukhuwah adalah jalinan yang dibentuk dari saling mendengarkan, saling mendukung, dan saling memahami. Tanpa itu, barangkali ukhuwah akan hancur. Intinya, persaudaraan sesama muslimah adalah persaudaraan yang dijalin dengan kedekatan emosional. Satu jiwa dan satu rasa. Ibarat bangunan yang tersusun kokoh karena tonggak-tonggak yang menopangnya mereka kuat karena bersama. Kesalah pahaman bisa saja terjadi oleh siapapun dan pada kejadian apapun, namun dengan menurunkan ego masing-masing semua bisa dengan mudah teratasi.
Cerpen Karangan: Rani Nelasari Blog / Facebook: Rani Ayu Nelasari Rani Nelasari, Mahasiswa Teknik Lingkungan Universitas Andalas. Bisa ikuti media sosialnya di @rani.raniayuu