Sahabat melebihi saudara, ada di setiap waktu dan hadir di tengah kesukaran.
Gadis itu membaca kutipan di majalah yang sedang dibacanya sepanjang perjalanan kereta dari Jakarta ke Surabaya, kampung halamannya. Dia mengernyitkan alis tanda tak setuju dengan apa yang sedang dibacanya. Dia tidak percaya lagi dengan arti persahabatan sejak sahabatnya menusuk dari belakang dengan memfitnah Irna di depan teman-teman lainnya.
Dia meletakkan majalah itu ke atas meja kecil dekat jendela kereta, menyenderkan kepalanya ke bantal yang empuk dan menikmati pemandangan di luar jendela. Irna sengaja memilih kereta di pagi hari, ia ingin melihat pemandangan lautan yang ada di sepanjang jalur Pantura. Kalau berangkat malam, pasti dia hanya tertidur dan juga tidak bisa melihat pemandangan laut favoritnya. Padahal itu adalah hal yang disukainya setiap naik kereta.
Tidak bisa hilang dari ingatannya, padahal sudah beberapa tahun yang lalu… waktu Irna dicaci-maki oleh beberapa teman sesudah jam pulang sekolah di kelas.
“Irna! Kamu yang ambil handphone-nya Karina, kan?” seru seorang temannya yang memiliki kuncir tinggi, mendatangi Irna dengan wajah marah. “Nggak, siapa yang bilang?” sahut Irna dengan wajah kaget dan shock. “Nggak perlu kamu tahu,” kata gadis berkuncir tinggi itu. “Coba aku cek tas kamu!” “Cek aja! Aku nggak ambil handphone milik Karina,” Irna membela diri. Dia menyerahkan tasnya ke Melissa, gadis berkuncir tinggi itu. Di sebelahnya, Karina menatap dengan wajah memelas karena kehilangan benda kesayangannya itu.
“Ini apa?” cetus Melissa setelah sesaat mengobrak-abrik barang di tas ransel ungu milik Irna. Berbagai macam buku, kotak pensil sampai barang dari sela-sela tas semua dikeluarkan oleh Melissa. Dia memegang sebuah handphone yang memiliki casing berwarna pink dengan gambar Hello Kitty di belakangnya. Irna membelalakkan matanya dan bertambah kaget. “Ini kan punya Karina! Ada di tas kamu,” hardik Melissa sembari menggoyang-goyangkan handphone berwarna pink itu ke depan muka Irna dengan sengaja.
Dia memberikan handphone itu kembali ke pemilik asalnya sambil melihat Irna dengan tatapan geli dan jijik. “Dasar maling!” ucapnya sambil membalikkan badan hendak keluar dari kelas, diikuti Karina yang menatap Irna juga dengan tatapan aneh dan kesal. “Tapi aku sepanjang sore bersama Wenda! Dia tahu kalau aku nggak mengambil telepon genggam punya Karina!” seru Irna berusaha membela diri. “Justru Wenda yang bilang… coba cek tas Irna karena aku tahu dia masuk ke kelas sendirian saat jam pelajaran olahraga,” sahut Melissa dengan nada sinis, lalu keluar dari kelas dengan langkah cepat dan wajah marah. “Aku nggak nyangka kamu sejahat itu, Irna,” sahut Karina sebelum mengikuti langkah Melissa untuk keluar kelas. “Tapi yang penting handphone-ku sudah kembali.”
Memori Irna kembali ke masa sekarang… di dalam gerbong kereta, lalu dia menghela nafasnya. Dia menatap sayu pada dua orang gadis remaja yang sedang asyik mengobrol di kursi sebelahnya. Persis seperti dirinya dan Wenda dulu, sebelum kejadian itu.
Irna tidak pernah merasa bersalah sampai Wenda bisa sangat tega memfitnahnya seperti saat itu. Setidaknya dia tidak merasa melakukan apa pun pada Wenda.
Setelah kejadian itu, Irna dimusuhi teman satu kelas bahkan satu sekolah membicarakan dia. Wenda selalu menghindar kalau Irna ingin berbicara dengannya, telepon pun tidak pernah diangkat sampai suatu saat Irna yang menghampiri Wenda di kantin sekolah dan mereka bertengkar hebat. Tidak ada yang tahu siapa yang benar dan siapa yang salah. Keduanya saling menjambak dan mencakar sehingga dilerai oleh Ibu pemilik kantin. Mereka pun dipanggil ke ruangan guru BP (Bimbingan Penyuluhan) lalu diberi hukuman.
Selepas itu, Irna meminta pada ayahnya untuk sekolah di Jakarta dan tinggal bersama sang nenek. Maka, ayah Irna yang sering wara-wiri Jakarta-Surabaya karena perjalanan dinas menyetujui permintaan Irna. Akhirnya, ia menyelesaikan sekolah dan kuliah di Jakarta sampai sudah lulus dan kerja.
Sejak kejadian itu, dia hilang kontak dengan Wenda dan teman-teman sekolahnya di Surabaya dulu. Dia memang sengaja mengganti nomor handphone dan tidak memberitahukan pada siapa pun kecuali anggota keluarganya.
Arti seorang sahabat juga menjadi kurang berarti bagi Irna. Dia lebih sibuk mengejar prestasi dan meniti karir di tempat kerjanya yang baru.
Sore itu, Irna berbaring di kamarnya dengan perasaan senang. Ibu membersihkan kamar Irna sehingga masih seperti yang dulu, bersih dan tertata rapih. Irna sangat menyukai kamarnya karena didominasi warna biru muda dan pernak-pernik dengan warna senada. Jendela Irna sengaja dibuka hingga angin sepoi-sepoi masuk ke kamar, membuat kain gorden yang berwarna biru juga seperti sedikit menari karena tertiup angin.
Biru muda memang warna favoritnya. Mengingatkan pada warna langit cerah yang disukainya semenjak kecil.
Ibu Irna masuk ke kamar sambil membawa sebuah paper bag. “Irna… Ibu mau mengingatkan kamu kalau Wenda pernah memberikan ini setahun yang lalu,” ucap Ibunya sambil duduk di ujung tempat tidur Irna. Ibu meletakkan paper bag itu di atas meja Irna. Mengamati anaknya yang hanya melihat sambil menautkan kedua alis dengan ekspresi aneh.
“Dia datang kemari, menanyakan kabar kamu. Lalu memberikan ini jika kamu pulang ke rumah,” lanjut Ibunya lagi.’ “Nggak baik menyimpan kesalahan orang lain selama bertahun-tahun, Irna.” Ibu keluar dari kamar tanpa mengatakan apa pun lagi, namun cukup untuk membuat Irna termenung sambil menatap bingkisan itu. Segala macam perasaan bercampur saat itu. Kesal, jengkel, penasaran.
Akhirnya Irna bangkit dari tempat tidurnya, dan duduk di kursi. Mengamat-amati bingkisan dari kertas daur ulang itu, sebelum kemudian membukanya.
Irna bergumam dalam hati, “Tumben Wenda mengirimkan bingkisan. Percuma saja kalau sekarang Wenda berusaha berbaik-baik padaku. Yang sudah terjadi tidak akan seperti dulu lagi.” Irna mengeluarkan satu bungkus selimut berwarna biru muda bergambar Doraemon. Selimut bulu halus itu terbungkus rapi di dalam plastik. Irna mengingat suatu momen di mana mereka berdua pernah berjalan-jalan ke suatu pertokoan dan menemukan selimut biru muda bergambar Doraemon. Momen itu terjadi beberapa bulan sebelum Wenda memfitnahnya. Padahal mereka dekat sekali, dan sama-sama pencinta warna biru muda.
Di saat Irna terheran-heran dengan selimut biru muda yang diinginkannya sejak lama, sebuah amplop jatuh dari selimut itu. Amplop berwarna biru muda. Dia membungkuk, memungutnya lalu membuka dan mengeluarkan selembar kertas berisi tulisan. Irna membaca pesan yang tertulis di dalamnya.
Dear Irna, Maafkan aku yang sudah memfitnahmu. Aku tahu kamu tidak bersalah, dan aku juga sudah menjelaskan pada teman-teman yang lainnya. Tepat setelah kamu keluar dari sekolah dan pindah ke Jakarta. Aku dihantui perasaan bersalah, tapi kamu sudah tidak bisa dihubungi lagi.
Mungkin kamu tidak akan bisa memaafkan aku, karena memang tidak semudah itu. Aku memang teman yang jahat. Maaf, Irna.
Ttd, Wenda.
Irna membaca surat itu lalu terdiam. Dia belum berkomentar apa-apa, tapi surat itu sedikit meluluhkan hatinya. Irna menghela nafas lalu meletakkan surat dan selimut itu ke atas meja. Dia teringat sesuatu, membuka rak meja belajarnya dan mengambil sebuah album foto yang tersimpan di tumpukan paling bawah.
Album berwarna biru muda yang bermotif kupu-kupu itu dibuka secara perlahan oleh Irna. Di situ banyak foto bersama teman-teman masa sekolahnya dulu. Ada foto bersama guru saat acara kegiatan tujuh belas Agustus, foto ulang tahun Irna di kantin sekolah. Irna melihat banyak foto bersama Wenda.
Tadinya dia sempat ingin membakar semua foto itu sebelum memutuskan untuk menyimpannya di tumpukan paling bawah saja. Toh, dia juga sudah tidak tinggal di rumah ini lagi.
Apa rumah Wenda masih di tempat yang dulu? Rumahnya tidak jauh dari tempat Irna…
Irna jadi penasaran. Dia keluar menemui Ibu yang sedang memasak untuk makan malam. Ibu melirik Irna yang duduk di meja dapur tanpa berkata apa-apa lalu seakan paham dengan hati anaknya yang sedang galau.
“Sudah, maafkan saja biar hatimu lega. Nggak baik marah bertahun-tahun,” ucap Ibu sambil mengaduk makanan di dalam panci aluminium. Aroma opor memenuhi isi ruangan, membuat lapar yang menghirupnya. “Tapi yang salah kan Wenda, Bu. Aku udah pernah cerita ke Ibu,” kata Irna membela diri.
Ibu menggeleng-gelengkan kepala, dia mematikan api kompor lalu duduk sambil menatap Irna, “Dek, kalau mempersoalkan siapa yang benar dan salah nggak akan ada yang mau mengalah. Benar atau salah yang penting responmu, dek.” “Respon apa maksudnya, Bu?” tanya Irna dengan wajah bingung. “Responmu baik, memaafkan,” kata Ibu sambil berdiri lagi. “Sana pergi ke rumah Wenda. Dia masih tinggal di rumah yang sama, kok. Satu kompleks dengan kita.”
Irna terdiam sementara Ibunya sudah pergi membawa satu mangkok besar opor ayam ke ruang makan. Dia keluar dari pintu dapur menuju ke halaman belakang. Dia mengamati langit malam yang penuh bintang dan sempat merasa galau antara pergi atau tidak ke rumah Wenda.
Dia berdoa dalam hati agar bisa memaafkan dengan tulus. Kakinya tanpa sadar melangkah di rerumputan yang basah sesudah hujan rintik-rintik. Irna mengenang masa kecil saat dia suka berlari ke rumah Wenda untuk bermain di sore hari. Main layangan, main lompat tali bersama anak-anak di kompleks itu, termasuk Wenda.
Irna memasuki halaman rumah Wenda yang hanya berbataskan pagar kayu. Dia melangkah dengan perasaan bercampur baur antara cemas dan gugup. Gugup akan bertemu dengan “mantan” sahabatnya. Dia nyaris akan membalikkan badan dan lari dari situ, namun suara seorang ibu memanggilnya.
“Irna?” seru wanita itu yang ternyata ibunya Wenda. “Kamu Irna kan?” Irna tersenyum lalu berjalan mendekat ke ibunya Wenda, mencium punggung tangan orangtua itu. “Iya, Bu. Aku Irna. Wenda ada, Bu?” tanya Irna yang memang dari kecil terbiasa memanggil ibunya Wenda dengan sebutan Ibu juga. Bukan tante atau yang lainnya. “Ada, tapi dia lagi sakit. Masuk aja, Irna. Wenda pasti senang melihatmu,” ucap ibunya Wenda sambil mengusap-usap punggung Irna dengan sayang. “Duh, tambah cantik aja kamu, Irna.” Irna tersenyum lagi lalu melihat rumah yang sangat dikenalnya dulu. Tidak berubah. Dia masuk ke kamar paling ujung, yang ada papan nama kayu berukir nama Wenda di depannya.
“Wenda, ada temanmu mau ketemu,” ucap ibunya Wenda sambil mengetuk pintu, lalu langsung membuka pintu. “Masuk saja, Irna…” Irna melongokkan kepala dan melihat Wenda yang sedang terbaring dengan wajah pucat dan lesu. Wajahnya seketika kaget melihat Irna yang masuk ke dalam, namun beberapa detik kemudian ekspresinya menjadi sangat cerah.
“Irna…” katanya masih tidak percaya. “Aku pikir ini hanya mimpi.” Irna berdiri dengan kikuk sambil melihat Wenda yang terbaring sakit, lalu tersenyum canggung, “Kamu sakit apa?” Dia mengambil kursi bakso di sudut ruang kamar Wenda, dan menyeretnya ke dekat tempat tidur. Memperhatikan Wenda yang tersenyum dengan mata berkaca-kaca. “Sakit typhus aja, kok. Dokter suruh aku istirahat total di rumah,” jawab Wenda sambil menghela nafas. “Kamu kebiasaan makan yang pedes-pedes dari dulu,” sahut Irna ketus, dia sudah hafal kesukaan Wenda. “Nggak boleh makan pedes dan gorengan.” Wenda tersenyum lagi, lalu mereka berdua terdiam tanpa kata-kata. Suasana cukup canggung, hingga Irna teringat pesan Ibunya untuk bisa memaafkan. Baik itu benar atau pun salah.
“Aku sudah memaafkan kamu… dan aku juga minta maaf kalau ada salah sama kamu,” ucap Irna setelah sekian lama bergumul dengan egonya. Yang luar biasa, setelah itu Irna merasakan ketenangan yang tak dapat dikatakan. Rasanya semua beban itu, rasa dendam dan kepahitan terangkat dari diri Irna.
Wenda menatap Irna dengan tidak percaya, lalu tiba-tiba bahunya berguncang dan air matanya tumpah. Dia mengusap mata dan pipinya berkali-kali hingga hidungnya merah. “Aku yang salah, Irna. Maafkan aku,” ucapnya disela-sela isak tangis. “Aku sempat merasa iri padamu karena kamu punya segalanya. Orangtua masih lengkap, keluarga berada, pintar dan cantik. Jadi aku yang sangat jahat ini, senang begitu tahu kamu dibenci oleh seisi sekolah.”
“Tapi waktu kamu pindah sekolah dan hilang kontak, aku baru sadar kalau aku sangat kehilanganmu, Irna. Nggak ada sahabat yang setulus kamu,” lanjutnya lagi. “Maafkan aku, Irna.” Irna juga meneteskan air mata, kedua sahabat yang tadinya bermusuhan itu saling berpelukan.
“Terimakasih untuk selimut biru mudanya, Wenda,” ucap Irna yang disambut senyuman Wenda. Mereka bercakap-cakap sampai larut malam, melepas semua rasa rindu setelah bertahun-tahun lamanya tidak berkomunikasi.
“Benar juga ya kata Ibu… bukan soal benar atau salah tapi yang penting respon kita,” gumam Irna dalam hati. “Aku nggak akan melupakan hari ini, aku bisa memberikan respon yang baik dengan mengampuni dan memaafkan sahabatku sendiri.”
Cerpen Karangan: Laura MTP Blog / Facebook: laurapohan.blogspot.co.id / Laura Pohan Laura MTP, penulis kelahiran Jakarta 6 Oktober 1985. Hanya menyalurkan rasa cintanya untuk menulis cerpen dan novel. Novelnya bisa dilihat di Wattpad : @lamate06 dan Novelme : Laura MTP