Cafe dekat stasiun adalah dimana ku berjanji bertemu dengan salah satu teman dekatku. Ketika ku datang ku melihatnya dengan secangkir kopi. Setelah membeli macchiato, ku duduk berseberangan dengan dirinya. Ku bertanya mengapa hanya ada kita berdua dalam cafe ini, ia menjelaskan keadaan sekarang. Walau begitu ku bersyukur masih ada seseorang yang akan mendengarkan diriku.
Dia menyatakan, “Tumben lo mau ketemuan, bukannya lo sibuk kuliah” “Kayanya gue mau berhenti deh” kujawab Dia melirikku dengan mengangkat alisnya menunjukan keingintahuannya.
Ku melanjutkan “Aku tak tahu, hanya saja aku tidak senang, dengan ekspektasi… dan semua ini.” “Kau merasa anxiety sama depresi?” dia menyeruput kopinya “Gua gak mau self diagnose ya tapi gak tahu, serasa keluarga tuh toxic banget, gua udah gak tau lagi, tapi gue jadi takut di uang”
Dia berdiri dan berjalan duduk di sebelahku, “terus lo maunya apa?” Diriku melirik ke arahnya dan hanya bergumam “hidup damai”
Ku melanjutkan bahwa diriku hanya ingin menuli, melukis dan hidup dengan damai tetapi orangtuaku tidak memandang itu sebagai masa depan. Mereka bertanya bagaimana aku makan dan yang lainnya. Tentu saja aku akan mencari pekerjaan, tetapi ketika ku menyatakan mendapat pekerjaan sebagai operator gudang, mereka menyatakan bahwa diriku malas dan itu merupakan pekerjaan kelas bawah, pekerjaan buruh. Yang ada dalam pikiranku adalah terus kenapa kalo iya? Setidaknya diriku dapat memenuhi kehidupan dan mulai menulis. Temanku menanyakan apa saja yang telah diriku tulis. Tentu saja ku menunjukan beberapa di Cerpenmu dan website lain. Tetapi ketika kutunjukan pada ibuku dia bertanya, “memang berapa pembacanya, bisa menghasilkan uang tidak?” membuat kepalaku meledak saja. Memangnya salah kalau hanya mau berekspresi dan menceritakan sebuah cerita. Mengapa semua harus uang. Memang kita hidup pada zaman dimana semuanya membutuhkan uang. Tapi berapa lukisan, berapa cerita yang mati hanya karena tidak ada pembacanya? Apakah masih ada yang membaca ceritaku setelah ini?
Diriku merasa sakit kepala saat itu, temanku menyatakan bahwa diriku memerlukan perubahan. Diriku setuju tetapi diriku takut akan perubahan tersebut. Ditinggalkan oleh orangtua dan tanpa uang merupakan pemikiran yang menakutkan. Seberapa menjijikan sebuah masyarakat yang membuat seorang anak harus memikirkan semua itu sejak ia lahir.
Temanku menyatakan bahwa diriku akan baik baik saja. Akan tetapi ku beraksi berbeda dan mengangkat kerah bajunya, memojokkannya ke dinding dan menyatakan seberapa dia tidak tahu rasanya dikhianati orangtua sendiri. Seberapa diriku tidak akan diterima dalam sebuah keluarga karena kepercayaan yang berbeda dan keinginan yang tidak akan menghidupi diri sendiri. Belum lagi dipandang berbeda karena tidak sesukses dengan saudara lain di keluarga. Apakah dia mengetahui perasaan ini?
Temanku hanya melirik dengan wajah yang serius, dan memegang tanganku yang perlahan melepasnya. Dia kemudian bertanya, “sudah berapa lama jarimu bergetar? Sudah berapa lama kau tidak menulis?” diriku hanya menangis dan menyandar terhadap dirinya. Dia memelukku yang menangis.
Sesambilnya ku bertanya, “kau tidak malu apa punya temen yang cengeng?” “Lo orang yang selalu berlaga kuat dan jarang nangis, tapi lo rela menjadi penjahat untuk membenarkan sebuah hal. Lagian apa salahnya seseorang menangis keluarkan saja semuanya” “Ngajarin pancasila, kebhinekaan tapi sendirinya gak nerima kalo anaknya mau jadi agnostik. Bukannya orangtua harusnya mendukung anaknya dan menyayangi anaknya apapun alasannya?” ketika itu kukeluarkan semuanya terhadap temanku.
Setelah itu ia bertanya, setelah diriku menenangkan diri. “Jadi lo bakal lanjut nulis?”
Diriku melihat tanganku yang bergetar, kemudian temanku memegang tanganku. Kehangatan tubuhnya membuat diriku tersenyum dan mengangguk. Kemudian ia tersenyum dan mengatakan, “bagus karena aku akan menjadi salah satu pembaca cerpenmu”
Cerpen Karangan: Ymir youtube.com/channel/UCYAK-3X57hzjIRVLBxXdSIA