Malam ini Kota Semarang terasa dingin, entah apa dan entah mengapa hanya saja sudah tak asing dengan kondisi seperti ini. Jam sudah menunjukkan pukul 9 bus Kota belum saja datang kuputuskan untuk jalan kaki menuju halte berikutnya sekalian olahraga malam pikirku. Setelah setengah jam melakukan perjalanan akhirnya sampai juga di halte berikutnya dan ya menunggu lagi karena memang seperti biasa bus Kota tak selalu tepat datang bersamaan dengan kehadiran kita.
“Mas, lagi dimana. Bisa jemput aku nggak nanti di Simpang Lima.” Pesanku kepada temanku melalui mesengger. “Masih di showroom ini belum pulang, ya sudah kabari saja kalau sudah sampai.” Balasnya kemudian dengan cepat. “Oke.”
“Sudah setengah jam dari aku sampai sini dan bus juga belum datang. Entah apa ini? tumben telat ya, apa sudah habis jam operasionalnya ya.” Gumamku lirih.
Setelah 15 menit tiba juga bus yang ditunggu. Segera kulangkahkan kaki masuk ke dalam bus yang saat itu memang sudah sangat sepi. Wajar saja karena memang sudah jam sepuluh kurang saat ini dan kurasa ini bus yang terakhir.
Dengan tas yang masih kugendong kuletakkan di dekat kaki untuk sejenak mengistirahatkan pundak yang sedari tadi memikul beban yang amat berat. Jalanan Semarang yang tak pernah sepi membuatku merasakan hal yang sama, entah apa yang akan datang selanjutnya aku merasa ini masih ada waktu untuk menghilangkan sebuah keresahan yang selama ini berada di ruang hampaku. Diamku dalam lamunan hingga tak sadar bus yang kunaiki telah sampai.
“Mas… Mas… Mas…” Seorang petugas yang sedari tadi mencoba menyadarkanku dari lamunan. “Eh iya Bu.” Dengan sedikit muka datar dan mencoba tenang. “Sudah sampai Mas Di Simpang Lima.” Katanya dengan amat lembut. “Oh sudah sampai ya, maaf ya agak capek hari ini jadi agak ngantuk.” Mencoba mengelak agar dikira tak melamun.
Dengan segera kuraih tas yang berat ini dan melangkah keluar. Tapi cukup bahagia untuk selalu datang ke tempat ini, walaupun banyak kenangan pahit di dalamnya. Segera kuhubungi Dimas untuk menjemputku.
“Mas sudah sampai nih, tak tunggu di pojok taman Kota dekat masjid yaa.” Ucapku. “Oke, siap-siap dulu 5 menit lagi otw.” “Oke, jangan lupa bawa helm 2.” “Siaaap brother.”
Sembari menunggu Dimas ada hal yang menarik yang menjadi perhatianku, sekumpulan remaja yang entah dari kapan berada di dekat lampu merah. Entah mengapa rasanya tak ada beban berat yang membuat mereka jadi seperti itu, bercanda dan bercerita tentang buaian dunia. Sudah Tak asing memang dengan pemandangan seperti ini, aku pun pernah seperti mereka, mencoba menarik perhatian manusia dengan segala buaian yang pernah ada di genggaman.
“Tom dimana, aku sudah sampai.” Pesan yang masuk di notif hp ku. “Oi, di warung pojok, kesini Mas.” Balasku.
Tak begitu lama ia pun datang menemuiku yang sedari tadi menunggunya. “Kau ini kenapa tak bilang-bilang kalau mau kesini.” “Ah kau ini Mas kaya tak biasanya aja denganku yang random seperti ini.” “Ada apa kemari, ah biar kutebak pasti butuh teman cerita kan? Secara kau jomblo kesepian sedari dulu.” Hahahaha ledeknya dengan lantang. “Ah sialan kau Mas.” Aku mencoba membela. “Ya sudah ayo pulang, capek aku pulang kerja disuruh jemput kau disini.” “Alah gak ikhlas banget rupanya ya.” “Bodo amat udah, ayok lah.” “Sebentar ini belum bayar.” Ucapku dengan pelan. “Ya sudah cepat ku tunggu di depan.” Ucapnya sembari meninggalkanku.
“Bu, jadi berapa ini kopi, roti sama air mineral satu.” Tanyaku sembari mengeluarkan uang. “Oh sudah ya Mas, jadi 15 aja.” “Oh ini bu uangnya, kembaliannya ambil aja.” Dengan langkah kaki yang melangkah menyusul Dimas. “Oalah makasih ya Mas semoga berkah rezekinya.” “Aamiin.” Teriak Dimas.
“Heh ngapa kau yang Teriak!?” Dengan geplakan yang mendarat tepat di kepalanya. “Biar ketularan berkah juga rezekinya.” Timpalnya dengan senyum. “Dasar kau ini Mas.” “Hehehe.” “Ya sudah cepat jalan, nanti biar kuceritakan besok aja. Sudah capek sekali rasanya seharian berada di jalan.” Ucapku. “Siap bos.”
Malam itu kami putuskan untuk segera ke kos karena ya memang sudah sama-sama capek dengan kesibukan masing-masing. Tak ada hal yang bisa dicari lagi setelah sampai sini, semoga ini bisa mengisi ruang hampa yang hanya bisa dirasa sangat sempit.
Beberapa bulan berada di Ibu Kota nampaknya membuatku merasa jenuh dan kisruh, apalagi setelah mendapat hal yang tak terduga malam itu. Hari ini kuputuskan berkunjung ke Semarang mengunjungi temanku.
Banyak yang berubah di kota ini entah suasananya ataupun memang orangnya.
“Mas, perlu makan nggak?” Tanyaku dipertengahan jalan. “Lapar kah?” Teriaknya. “Ya lumayan sih.” Jawabku. “Yasudah beli nasi goreng di depan pertigaan saja nanti.” “Oke pak.” Jawabku menuruti intruksinya.
Jarak kos Dimas lumayan jauh dari tempat penjemputan tadi, apalagi ditambah pekerjaannya yang saat itu di pertengahan Kota Semarang. Tapi ya beginilah akan selalu ada cerita di setiap sudut jalan entah apapun itu rasanya aku agak sedikit terobati malam ini.
“Turun Vin.” Ucap Dimas seraya menyentak. “Loh sudah sampai kah?” Tanyaku heran. “Iyalah kau kira aku menyuruhmu turun untuk apa?” Sergahnya. “Ya barangkali ban motor Kita kempes Mas.” Pikirku, sembari masuk ke dalam warung tenda yang berdiri di pinggir jalan itu. “Sudah mau pesan apa kau.” Tanya Dimas. “Nasi goreng biasa saja, pedes ya.” Pintaku. “Oke sebentar.” Dimas yang berlalu menghampiri abang nasi gorengnya.
“Bang nasi goreng dua pedes, sama minumnya teh manis ya.” “Oke siap bos.” Seperti sudah paham dengan permintaan Dimas.
“Jadi gimana?” Tanyanya sambil membenarkan posisi duduknya kembali. “Entahlah Mas, hampa rasanya.” Jawabku. “Vin tak semua yang kau terima perlu kau rasa dan tak semua yang kau keluhkan menjadi sebuah derita.” Pungkasnya yang seakan mengerti apa hal yang ku maksud di awal. “Memang Mas, aku tahu dan paham akan hal itu. Tapi nampaknya akan sangat terasa dingin bila seperti ini terus.” Jawabku.
“Jadi apa langkah yang akan kau ambil selanjutnya.” Tanya Dimas. “Entahlah, tapi rasanya diam seperti raja dan melindungi bagai ratu baik bagiku saat ini.” Mencoba menjelaskan keadaan saat ini. “Nampaknya tak buruk juga kurasa, tapi apa kau sudah mempertimbangkan hal itu kedepannya?” Tanya Dimas dengan seksama. “Semua cara pasti ada sisi baik buruknya Mas, dan kalau memang ada usahakan ambil sisi buruk yang memang paling terendah.” Jawabku.
“Paham sudah apa yang Kau tuju, sekarang Kau hanya perlu mengatur strategi lagi.” Jelasnya. “Sudah Mas, sudah ada sejak kemarin hanya saja perlu mengisi kembali apa yang telah hilang dari ruang Hampa ini.” Sergahku. “Ya sudah, Sudah jam 01.00 Besok kerja aku pak.” Sembari menghabiskan minuman yang tersisa. “Ini malah cerita banyak di sini sih Mas.” Kataku. “Ya sudah sih dari pada nunggu sampe kos dulu capek aku Vin.” Pungkasnya. “Iya juga sih, ya sudah bayar gih.” Pintaku sembari melemparkan senyuman. “Sialan kau Vin.” “Hahahaha.” Aku yang meninggalkannya dan menuju motornya di parkiran tadi.
“Jadi berapa Bang?” Tanya Dimas. “Jadi 30 Mas semuanya.” “Ini ya Bang uangnya pas.” Ucap Dimas sembari memberikan uang yang ia ambil dari saku celananya dan berlalu pergi menuju ke arahku.
“Sialan kau Vin, uang sisa itu.” Sergah Dimas. “Hehehe sudah sudah nanti kuganti, males keluarin dompet tadi.” Ucapku. “Ya sudah ayok pulang.” “Awas kau lupa.” Sergahnya lagi.
Tak ada hal yang bisa dicari lagi setelah sampai sini, semoga ini bisa mengisi ruang hampa yang hanya bisa dirasa sangat sempit. Kami sampai kos tepat pukul 02.00 pagi dan kelihatan tak banyak yang sudah beristirahat. Hanya kami saja yang pulang terlambat, dan memutuskan untuk cepat membersihkan diri dan beristirahat.
Cerpen Karangan: Tyadit Blog / Facebook: Aditya Pratama Aditya pratama, lahir di brebes 15 Agustus 1997. Ig tyadit4 Tyadit087[-at-]gmail.com
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 21 Juli 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com