Tulisan ini kupersembahkan untuk diriku sendiri, dimana aku yang sedang berada dalam kesulitan, kebingungan, dan lain-lainnya. Sekarang, hanya meja, kursi, pulpen, dan kertas yang bisa menjadi temanku untuk menuangkan semua isi hatiku ini. Segelas air mineral di sampingku membuat pikiranku tenang. Suara dentum detik jam dinding mewarnai kesedihanku malam ini. Tetes demi tetes percikan air jatuh ke lantai karena hujan malam ini. Atap ini bocor, tadi aku lupa memperbaikinya. Sebuah gitar yang sengaja kuletakkan di atas sofa ruang tamu dengan secangkir kopi di depannya sebagai bayangan dari seseorang. Kunyalakan televisi bagian tengah dan kuletakkan beberapa cucian baju yang kotor di atas kursi sebagai bayangan dari seseorang.
“Hai, apa kau di rumah? Bagaimana keadaanmu?” Lagi-lagi orang datang. Sudahlah aku ingin sendiri. Tidakkah mereka sadar bahwa kedatangan mereka malah justru mengobrak-abrik hatiku. Kedatangan mereka malah justru menggangguku. Apa aku harus mengusirnya dan mengunci pintu? Kurasa tidak. Itu tidak baik. Kulayani saja lantunan kata dari dia, namun lama-lama dia lelah dan akhirnya pulang. Bagaimanapun aku tetap menghargai jerih payah mereka menghiburku dari siang tadi hingga petang menjelang malam ini. Itu pasti. Setelah aku kedatangan seseorang dan orang itu pulang, aku selalu mengambil guling yang ada di kamarku. Dan ujung-ujungnya guling itu basah. Basah karena air mata yang mengalir perlahan melalui pipiku.
Kukunci pintu kamar. Meja, kursi, pulpen, dan kertas tadi kubiarkan tergeletak. Kubanting diriku di atas kasur bersama guling yang akan kembali aku basahi. Sembari aku menatap tiga puluh butir atap yang ada di atas. Aku tidak akan menceritakan mengapa aku bisa membasahi guling itu sebanyak dua puluh kali dalam sehari. Jika aku menceritakannya padamu, aku takut guling ini akan basah kembali untuk dua puluh satu kalinya.
Sudah kukunci pintu rumah. Sekarang tinggal aku seorang diri yang ada di rumah ini. Dari tadi siang, aku melakukan ini berulang kali. Di kamar, menangis, ada orang datang, menangis lagi. Begitu seterusnya hingga malam ini aku hendak tidur. Tapi mataku seperti diganjal sesuatu yang berat. Seberat isi hati dan pikiranku ini. Ini membuatku susah tidur. Aku bahkan tadi juga lupa untuk menutup jendela, mematikan keran air, mematikan kompor yang sedang digunakan untuk membuat nasi, semuanya aku tidak peduli. Aku hanya ingin hati dan pikiranku kembali selaras entah bagaimana caranya.
Cukup. Kuambil gitar yang ada di atas sofa ruang tamu. Kuletakkan di tempatnya lagi. Secangkir kopi yang ada di meja tadi sudah dingin dan aku buang ke got. Kuambil cucian baju kotor yang ada di atas kursi ruang tengah dan kumatikan televisi. Kutaruh di mesin cuci kamar mandi. Itu semua hanya akan membuatku menangis. Tidak ada lagi bayangan dari ayah di ruang tamu. Tidak akan ada lagi bayangan dari ibu di ruang tengah! Cukup! Sudah kubilang. Aku tidak mau menceritakan mengapa. Takutnya guling ini akan basah lagi untuk yang ke dua puluh satu kalinya. Tapi itu intinya.
Pagi ini, Baik aku berniat. Aku akan kembali pada diriku yang dulu. Diri yang selalu tersenyum walaupun ini sangat berat, ini sangat sulit, ini sangat mustahil. Kain guling yang telah basah kemarin aku lepas dan segera kubawa ke mesin cuci kamar mandi untuk kucuci bersama baju kotor kemarin. Semoga setelah dicuci dia tidak akan basah lagi. Pintu rumah masih kukunci, dan belum ada orang yang datang ke sini padahal ini sudah pukul tujuh pagi. Kubuka jendela, kunyalakan keran air, kubersihkan panci berisi nasi basi yang kemarin aku lupa mematikan kompor, kucuci semua baju yang kotor.
Ternyata hari ini, hari yang paling baru diantara yang terbaru. Setelah itu semua selesai, aku beranjak keluar. Kubersihkan kebun bagian belakang dari semak belukar yang tidak enak dipandang. Dedaunan yang kering berjatuhan kusapu dan kubuang ke tempat sampah. Ya, kubuang ke tempat sampah. Seperti hal nya pengalamanku kemarin, itu semua sudah kubuang ke tempat sampah.
Setelah kebun selesai. Aku lupa membersihkan kamar ayah dan ibu. Kamar itu bersepak tak karuan. Di meja, deodorant ibu tersebar tak tersusun. Bekas kemarin ibu memakai deodorant karena tergesa-gesa. Bau parfum ayah masih mengecap di bantal dan spreinya. Jaket, baju, dan celana ibu dan ayah masih menggantung di gantungan baju belakang pintu. Aku lupa untuk mencucinya tadi. Lemari baju di kamar ayah tiba-tiba berubah warna. Seperti halnya foto pernikahan ibu dan ayah yang terpapang di dinding kamar itu. Mereka terlihat romantis. Semenjak kejadian kemarin, foto mereka berubah warna menjadi putih. Dalam dada mereka terlukis gambaran surga.
Setelah itu, aku keluar menggunakan sepeda motorku. Garasi motor lupa aku bersihkan juga. Aku akan membayar tagihan listrik, membayar air, dan lainnya. Itu semua aku lakukan sendiri. Benar-benar sendiri. Uang itu aku ambil di meja ibu dan saku celana ayah. Aku tidak memikirkan soal makan. Aku malas membuat lauk, aku malas membuat nasi, aku tidak mau makan. Paling juga tidak kenyang. Aku juga tidak lapar. Banyak hal yang harus dikerjakan.
Aku pulang. Semuanya sudah kulakukan kecuali membersihkan garasi. Aku lakukan itu nanti. Yang jelas, sekarang aku ingin merebahkan tubuhku sejenak. Ini rasanya hidup sendiri. Melelahkan. Aku yang harus melakukannya semua. Kalau bukan aku siapa lagi. Hanya aku seorang saja yang berada di rumah ini. Sebenarnya beberapa dari tetanggaku sudah mau menginap di sini untuk menemaniku. Atau beberapa dari mereka sudah menawarkan aku untuk menginap di rumahnya. Tapi aku tidak mau. Walaupun niat mereka baik, tapi cara mereka justru membuat hatiku teracak-acak lagi. Ini sudah mendingan kok. Walaupun bayangan-bayangan dari ibu dan ayah masih terlintas di otakku.
Aku tidak mungkin melakukan hal ini sendirian di rumah. Aku masih harus sekolah. Aku harus mengejar apa yang aku mau. Tapi bagaimana bisa aku mengejar itu semua? Seakan-akan aku tidak punya apa-apa lagi. Aku hanya punya kenangan yang tidak bisa aku lupakan walaupun aku sudah sekuat tenaga untuk melupakan.
Hari selanjutnya, hal yang sama aku lakukan. Aku bolos sekolah, aku melakukan hal yang seharusnya dilakukan di rumah. Aku melakukan yang harusnya tidak aku lakukan. Semuanya serba aku. Dan beberapa kali aku sempat membasahi guling itu lagi meskipun tidak sampai dua puluh kali. Sering kali tetanggaku ke sini untuk mengecek keadaanku. Yah aku hargai dia. Kedatangan dia sekarang justru membuat hatiku tenang. Tidak seperti kemarin ketika aku ingin sendirian saja. Tapi. Aku tidak boleh tinggal diam. Aku tidak boleh melakukan hal ini lagi. Aku harus kejar apa yang kumau.
Aku sudah membuat keputusan. Aku akan menghubungi tante, yang rumahnya di luar pulau. Jauh disana. Sebenarnya tante mau kesini untuk mengecek keadaanku dari kemarin, tapi dia sibuk dan rumahnya sangat jauh pula. Aku ingin pindah ke sana sehingga bayangan dari mereka tidak terlintas lagi di otakku. Aku akan mengejar apa yang aku mau di sana. Aku akan mendapatkan hal yang pantas aku dapatkan. Rumah ini akan kutinggalkan untuk sementara waktu.
Maafkan aku, aku tidak bisa menjaga warisan dari kalian. Karena aku masih terlalu dini. Aku hanya bisa melakukan apa yang aku lakukan di hari kemarin saja. Aku mohon pamit, ayah, ibu. Ke rumah tante yang jauh di sana. Tante menjemputku dan menunggu di bandara. Ini, kopernya sudah aku siapkan. Ini koper ayah lho, yang waktu itu dibawa ayah sebelum ayah tiada. Aku harus melakukan ini. Jika tidak, apa artinya aku hidup. Percayalah padaku, rumah ini akan aman. Semuanya akan baik-baik saja. Ada tetangga kita yang turut serta menjaga rumah ini. Sudah aku titipkan kok. Beberapa tahun lagi, aku akan kembali ke sini. Aku janji. Warisan berharga ini akan aku bawa selama-lamanya.
Bandara Internasional, aku berangkat. “Tante, tunggu aku disana ya. Tante sudah disana kan?” “Sudah. Satu jam yang lalu pesawatnya baru mendarat disini.” “Baik, aku berangkat.” “Tante di cafe depan arrival gate ya.”
Cerpen Karangan: Muhammad Hafidz Agraprana Facebook: facebook.com/muhammad.agrapranaii Nama: Muhammad Hafidz Agraprana Umur: 16 tahun