“apa yang membuatmu kuat” “mereka” “keluargamu” “iya” “kenapa?” “aku hidup untuk keluargaku, bukan hanya untuk diriku sendiri. Ketika mereka bahagia, akupun ikut bahagia. Meskipun keadaannya tidak sama lagi” Perempuan itu tersenyum tipis, menatap hamparan persawahan hijau yang indah. Meski keadaan tubuhnya sedang tidak baik, perempuan itu tetap terlihat baik-baik saja. Berbagai masalah telah ia lewati dan sekarang hasilnya, perempuan itu tetap tenang duduk menikmati sisa hidupnya.
“Arin, menangis! Jika kamu ingin menangis” Perempuan itu bernama Arin. Perempuan kuat yang mempunyai seribu mimpi. “aku tidak apa-apa” lagi-lagi senyuman tipis yang Arin tunjukkan. Della selaku sahabat Arin menatap sendu sahabatnya. Della benci melihat Arin yang selalu bersikap baik-baik saja, padahal perempuan itu. Tidak sedang dalam keadaan baik. Arin terlalu pintar menutupi setiap masalah dihidupnya, karena Arin tidak mau ada orang yang menyayangi dirinya hanya karena kasihan. Arin suka ketulusan, tetapi. Arin tidak suka ketulusan karena kebohongan.
“Della” Panggil Arin pelan, Della langsung menatap Arin. “kenapa?” “aku lelah” “kamu ingin istirahat?” Arin mengantuk. Della mendorong kursi roda yang diduduki Arin, menuju gedung bertingkat berwarna putih di depannya. Gedung penuh harapan, harapan hidup salah satunya.
Hidup.. banyak orang yang menginginkan, tetapi banyak orang juga yang tidak menginginkannya. Hidup memang tidak adil, tapi tuhan tau bagaimana cara membuat umatnya merasakan keadilan.
Pepatah mengatakan “sayangi hidupmu sebelum kamu menyayangi orang lain”. Namun terkadang, manusia sedikit tidak peduli tentang hidupnya, apalagi ketika nasib baik tidak berpihak kepadanya. Sebagian manusia akan melakukan apapun demi mendapatkan kebahagiaan meskipun sesaat.
“apa kalian sudah tidak peduli lagi sama Arin” pertanyaan yang dilontarkan Bisma selaku kakak kandung Arin. Kedua orangtuanya menatap Bisma dengan tatapan yang sulit Bisma mengerti. “anak kotor, kami tidak sudi mempunyai anak seperti Arin” “papa gak sadar, kenapa Arin bisa kayak gini!” Pertanyaan Bisma membuat papanya Karyana terdiam. “mama, apa mama pernah merhatiin Arin? Gimana hidup Arin selama ini” Bisma kembali melontarkan pertanyaan, kali ini untuk mamanya Casma. Casmapun sama terdiam seperti Karyana.
Keheninganpun menyambut ketiganya, mereka seolah sedang berperang dengan batin masing-masing. Bisma yang menundukkan kepalanya. Karyana diam menatap Bisma, dan Casma sudah mengeluarkan cairan dari matanya, Casma menangis.
“papa dan mama sudah memutuskan untuk bercerai..” Ada jeda yang diucapkan Karyana. Karyana menatap putranya yang sedang menjambak rambutnya frustrasi. “dan soal Arin, papa angkat tangan! Papa tidak bisa lagi mengurus Arin” satu tetes airmata Bisma jatuh di pipinya. Ini yang Bisma takutkan kebahagiaan di hidupnya akan hilang dalam sekejapan mata. “mama juga angkat tangan soal Arin..” Casma berucap pelan. Tapi tetap saja membuat Bisma merasakan kehancuran di hatinya. Keluarganya sudah hancur. Tidak ada lagi tameng yang melindungi Bisma, tidak ada lagi keluarga yang bisa Bisma bangggakan. Dan tidak ada lagi keluarga yang hangat. Semuanya sudah hilang, oleh keegoisan kedua orangtuanya.
—
“Arin kamu baik-baik aja kan?” Bisma mengelus pelan kepala Arin yang tidak mempunyai rambut. “Arin baik-baik aja kak” Lagi-lagi senyuman tipis yang Arin tunjukkan. “ada yang sakit? bilang sama kakak, atau Arin mau apa?” “Arin mau liat mama sama papa” Suara Arin sedikit melemah, pandangan matanya terlihat sayu.
Arin mengidap penyakit HIV atau aids. Hidupnya yang bebas membuat Arin terkena penyakit Hiv dan sudah stadium akhir. Arin hidup bebas karena Arin ingin mendapatkan perhatian lebih dari keluarganya, Arin juga ingin mendapatkan kebahagiaan meskipun kebahagiaan yang Arin ambil salah. Dan malah menghancurkan hidupnya, kematian sudah di depan mata Arin hanya harus siap kapan dirinya akan kembali ke sang ilahi.
“mama sama papa sibuk, kan ada kakak di sini” Bisma mengelap darah yang keluar dari hidung Arin. Della yang berada di samping bisma menangis. Tidak kuat melihat keadaan Arin sekarang.
“kak bilang sama mereka yah, maafin Arin gak bisa jadi anak yang baik buat mereka. Bilang juga sama mereka kak, Arinn sayang banget sama mereka” Bisma mengangguk lemah, apa ini sudah saatnya, mungkin Bisma harus mengikhlaskan adik tersayangnya pergi ke pangkuan ilahi.
“Iya Arin nanti kakak sampein”
“kenapa mimisannya gak berhenti sih” Sahut Della, Arin tersenyum tipis. Saat Bisma ingin menekan tombol emergensi. Arin menahannya. “kak Arin cape, buat saat ini aja jangan panggil dokter” “tapi Arin” “Arin mohon” Bisma mengalah, Bisma mengelap air mata yang jatuh di pipinya. Lalu menatap adiknya sendu.
“kakak sayang Arin” “Arin juga sayang kakak, jagain mama sama papa demi aku yah kak. Jaga diri kakak baik-baik” Bisma diam, apa ini sudah saatnya melepasnya tuhan. “Arin kenapa ngomong gitu?” “Arin cape kak, mau tidur” “ya udah tidur yah”
“Della, makasih udah nemenin aku di rumah sakit selama ini yah. Aku sayang Della” Della menangis. Tidak bisa menjawab ucapan Arin. Della tidak kuat.
Seutas mengucapkan kata-kata perpisahan, Arin menghembuskan nafas terakhirnya. Dan bertepatan dengan itu karyana dan casma datang untuk meminta maaf kepada Arin, karena sudah menyia-nyiakan arin selama ini. Namun semua sudah terlamabat. Penyesalan selalu datang pada setiap orang yang mempunyai cerita kehidupan. Dan penyesalan selalu sama. Datang terlambat.
Cerpen Karangan: Amidah Blog / Facebook: Amidah