“ayah, ini wajah ibuku ya?” aku memandang dengan teliti sebuah gambar wajah ibuku di dinding sudut ruang tengah rumah kami. Lukisan ini mungkin sudah berusia 24 tahunan bisa lebih, wajah ibuku ada di sana di sudut ruang dimana ayahku bisa setiap saat memandangnya kapanpun beliau mau. Kulihat ayah sibuk dengan berkas-berkas kantornya, dan lagi-lagi tidak menanggapi protesku. Sejak lama aku ingin sekali menurunkan lukisan itu dan menyimpannya di gudang, namun gagal berulang kali. Ah ayah, mengapa harus memajang wajah orang yang sudah tiada di ruang tengah sih? Aku sering mengatakan itu kepada diriku sendiri. Aku juga ingin ibu berada di sini, hidup dengan kami. Aku bahkan belum pernah melihat seperti apa wajah ibuku yang sangat cantik jelita itu.
“wajah ibu cantik kan?” suara itu seketika membuyarkan imajinasiku tentang ibu. Aku hafal sekali itu suara Mas Hakim, kakakku satu-satunya. Aku mengangguk setuju dengan apa yang diucapkannya. “sangat cantik, aku kadang iri denganmu mas yang bisa melihat wajah ibu secara langsung” aku mengatakannya dengan ekspresi cemburut. Mas Hakim pun tertawa mendengar ucapanku. “Besok ikut ke makam ibu ya” mendengar ucapan Mas Hakim aku mengangguk mengisyaratkan bahwa aku akan ikut besok.
Tanah berumput luas dipenuhi pohon-pohon hijau dan batu penuh nama-nama ada di tempat ini. Di sinilah ibuku beristirahat dengan tenang. Tanah pemakaman tempat ibuku disemayamkan, langkah kecilku mengikuti Mas Hakim dari belakang menuju peristirahatan ibu. “Siti Halimah” itu nama perempuan cantik yang telah melahirkanku ke dunia ini. Perempuan yang belum sempat aku belai pipinya. Aku rindu ibuku, aku rindu peluknya, aku rindu bercerita dengannya. “jangan menangis, nanti ibu tidak bahagia di sana” suara Mas Hakim lagi-lagi sanggup membuatku berhenti membayangkan wajah ibuku. Mas Hakim memelukku, dan mengusap air mataku. Aku tak tahu lagi jika tidak ada Mas Hakim mungkin aku akan menangis setiap hari. Aku sedih dengan sikap ayah yang dingin kepadaku setiap waktu. Aku sering kali bertanya apa salahku? Hingga sampai saat ini aku tidak tahu pasti, penyebab ibu meninggal, yang aku dengar ibu meninggal karena pendarahan saat melahirkanku.
Sore di waktu senja, aku kembali lagi berada di rumah. Aku ingin tahu, sebenarnya apa yang menyebabkan ibu meninggal? Dan kenapa lukisan ibu tetap berada di dinding dengan rapi? Lalu apa alasan ayah tidak menyimpannya di gudang saja? Aku tahu ini sangat menyakiti hati ayah, karena harus selalu melihat wajah orang yang dicintainya setiap saat. Pernah suatu ketika aku memergoki ayah sedang mengusap air matanya di depan lukisan ibu. Ayah begitu sangat terpukul, kecewa, dan marah sekali atas kepergian ibu.
“Ayah, sudah lama ini. Sudah saatnya ayah memafkan kepergian ibu dan juga berubah sikap terhadap Salsa. Salsa adikku dan juga anak ayah. Hadiah terakhir ibu” itu suara Mas Hakim sedang berbicara dengan Ayah di ruang makan. Aku semakin penasaran dengan pembicaraan yang sedang berlangsung. Aku bersembunyi di sudut tangga, agar bisa mendengar pembicaraan dari Mas Hakim dan Ayah. “tidak bisa, setiap kali melihatnya aku selalu ingat perbuatan yang dilakukan Halimah dengan laki-laki itu mereka telah mengkhianatiku” suara ayah begitu penuh amarah kebencian, ayah tak sanggup menahan air matanya dan terisak di depan Mas Hakim. “Tapi Ayah, Salsa tidak salah apapun. Dia tidak tahu yang terjadi sebenarnya” Mas Hakim berusaha menenangkan ayah. “Aku tidak bisa Hakim” dan sekarang ayah menangis. Aku semakin bingung dengan situasi ini, apa hubungannya kematian ibu dengan lukisan itu? aku kembali ke kamar dengan perasaan bingung dan juga penasaran dengan apa yang sebernarnya terjadi. Kututup pelan pintu Kamar, dan aku memilih pergi tidur.
Aku tahu kunci dari semua ini adalah Mas Hakim, aku sangat yakin dia tahu cerita yang sebenarnya. “Mas Hakim, boleh Salsa bertanya sesuatu?” aku memandang mas Hakim dengan wajah serius “mau bertanya apa sayangku?” Mas Hakim memandangku lekat dan menunggu apa yang akan kukatakan. “Lukisan di sudut ruang tengah itu siapa yang membuatnya mas?” kataku dengan ekspresi takut untuk melanjutkannya lagi. Mas Hakim terdiam cukup lama, lalu memegang kedua bahuku “Itu lukisan om Hariawan, mantan kekasih ibu yang sangat dicintai ibu dan juga merupakan sahabat ayah” pernyataan yang sangat membuatku terheran-heran. Sahabat ayah? Lalu bagaimana bisa ibu harus menikah dengan ayah? Bukan dengan om Hariawan? “lalu bagaimana bisa ibu harus menikah dengan om Hariawan?” banyak sekali sebenarnya yang ingin aku tanyakan kepada mas Hakim. “karena Ayah, laki-laki yang paling disayangi kakek” ucap mas hakim tanpa melihat ke arahku. “lalu mengapa lukisan itu masih ditaruh di sudut ruang tengah?” ucapku lagi kepadanya. “karena itu merupakan kenang-kenangan terakhir yang ditinggalkan Hariawan untuk Sudibyo Sahabatnya” aku dan mas hakim menoleh serentak kepada sumber suara. Di sudut ruang tengah tepat di bawah lukisan Pak Sudibyo Wiratmaja telah berdiri di sana, kami tidak tahu sejak kapan beliau berada di sana. Pak Sudibyo Wiartmaja suami almarhum Ibu Siti Hamilah, beliau ayahku, “itulah kenyataan yang harus kamu dengar putri kecilku”.
Ayah berjalan ke arahku dan langsung memelukku. Aku kaget sekaligus bahagia, aku tak tahu kapan terakhir ayah memelukku karena selama ini yang kutahu hanya tatapan dingin ketika menatap mataku. “maafkan sikap dingin ayah selama ini, ayah menyayangimu. Ayah tidak ingin kamu tahu cerita kelam ini. Ayah mencintai ibumu juga mencintai sahabat ayah, yaitu om Hariawan” kulihat mas Hakim tersenyum kepadaku. Lalu ayah mulai bercerita kepada kami, bahwa ibu meninggal sehari setelah kelahiranku ke dunia. Besoknya setelah kepergian ibu, om Hariawan meninggal karena sebuah kecelakaan. Alasan ayah mengapa meletakkan lukisan itu di sudut ruang tengah adalah untuk mengingat persahabatan yang sangat indah di antara Ibu, Ayah, dan Om Hariawan.
Sejak saat itu aku tidak pernah lagi menanyakan tentang kepergian ibu. Aku juga mulai terbiasa dengan lukisan lama yang terletak di dinding ruang tengah rumah kami.
Hingga suatu hari saat aku memindahkan buku-buku lamaku di gudang, aku menemukan buku harian usang milik ayah. Buku yang sudah pudar, penuh debu dan usang. Aku langsung ke halaman paling akhir dimana ayah terakhir kali menulis “Hari ini Halimah memilih mengakhiri hidupnya dengan Hariawan laki-laki yang sangat dicintainya. Tepat sehari setelah melahirkan putri kedua kami. Halimah meninggalkan surat di atas tempat tidur bayi lengkap bersama Aini Salsabila. Halimah mengatakan dengan jelas bahwa Salsabila bukan putri denganku melainkan dengan Hariawan, sahabatku sekaligus mantan kekasihnya. Aku bisa memaafkan kalau memang benar Salsa bukan darah dagingku. Yang tidak bisa kumaafkan dia memilih bunuh diri bersama Hariawan, dengan alasan tidak sanggup menanggung beban malu.
Halimah, harus kamu tahu aku tidak akan pernah menceraikan bahkan meninggkalkanmu. Lalu jika kamu memilih pergi dengan cara yang seperti ini, itu malah semakin membuatku membencimu. Lalu haruskah aku menjaga dengan baik putri kalian? Aku sama sekali tidak bisa memaafkan kalian. Tidak bisa menanggung sedih ini sepanjang hidupku. Bagiku cukup sekali saja aku mengenal perempuan, dan aku tidak akan pernah menikah lagi. kalian tahu? Kamu Halimah dan juga hariawan? Aku sangat kecewa dengan keputusan yang telah kau pilih. Aku kecewa!
Aku hanya bisa menangis tersedu membaca tulisan ayah sambil mendekap erat buku harian ayah. Ayah, sepedih inikah kecewa yang harus kau tanggung selema ini? Tidak sakitkah ayah?
Selesai
Cerpen Karangan: Fitria Dewi Andani Blog: fitriachan08.blogspot.co.id