Pagi hari itu, aku dengan sontak terbangun karena alarm yang telah kupasang semalam telah berbunyi menandakan aku harus bergegas untuk pergi ke sekolah. Jam menunjukkan pukul 6.15 dan aku telah selesai bersiap-siap, aku segera memanggil lelaki tua yang tengah menunggu sambil menonton tv untuk mengantarkanku ke sekolah bersama kakakku.
Beberapa menit perjalanan, akhirnya tibalah aku dan kakakku di sekolah dan segera salim dan melangkah masuk ke sekolah, walaupun masih sangat pagi, tetapi matahari sudah sangatlah terang nan terik seakan menggigit tanganku saat berjalan di tengah halaman sekolah menuju ke kelasku. Di dalam kelas itu, terlihat seorang gadis yang sedang duduk di bangku paling belakang sambil menutup wajahnya dengan sebuah buku, dengan wajah cemasku, aku pun segera menghampiri dan memberitahunya apa yang terjadi kepadanya.
Aku pun memulai bertanya kepadanya, “Selamat pagi, Bolehkah aku tahu, apa yang terjadi padamu?” sambil berusaha mengintip dibalik buku yang ditutupkan di depan wajahnya. “Aku sangat bingung, kesal dan juga sedih, tetapi aku tidak mempunyai teman ataupun sahabat yang dapat aku ceritakan tentang masalahku” Balas dia dengan menaruh buku yang sebelumnya di depan wajahnya ke dalam tas kecilnya yang berwarna coklat itu. Aku pun kaget dan baru saja tahu ternyata gadis itu adalah Rani. Beberapa hari sebelumnya, aku selalu melihat Rani sepulang sekolah di taman samping sekolah, dia sendirian dan selalu menampakkan raut wajah yang sedih. Mendengar apa yang diberitahu Rani, membuatku penasaran dan ingin mengetahui apa yang sedang dia alami sekarang ini
“Jika kamu mau, aku dengan senang hati mendengar ceritamu, dan semoga saja aku dapat memberikanmu solusi yang bisa membuatmu lebih tenang.” “Baiklah, aku akan menceritakan kepadamu” balas Rani dengan wajahnya yang kelihatan sedih dan nampak ingin meneteskan air dari sudut matanya yang indah itu.
“Semua berawal dari dua minggu yang lalu, pagi hari itu aku dibangunkan oleh sekelompok burung yang sedang bernyanyi di batang pohon di samping rumahku, aku dengan cepat merapikan tempat tidur dan segera mandi, setelah selesai aku segera berpakaian dan bersiap-siap ke sekolah. Setiap hari, aku selalu menunggu kendaraan umum di halte yang letaknya tidak jauh dari rumahku. Lima belas menit berlalu, akhirnya mobil yang ditunggu-tunggu telah datang, aku pun segera naik dan duduk tepat di belakang supirnya. Perjalanan menuju ke sekolah, mengambil waktu sekitar hampir setengah jam lamanya. Sesampainya di sekolah, aku pun segera menuju ke kelas, karena berhubung hari itu adalah hari piket saya di kelas jadi harus buru-buru untuk membersihkan. Saat proses pembelajaran di kelas berlangsung, adik sepupu dan bibi saya datang ke sekolah dan segera ke kelasku untuk memberitahukan tentang keadaan nenekku. “Rani, kamu harus segera pulang sekarang, karena kata nenek dia ingin melihat kita semua di Rumah Sakit karena sudah beberapa hari dia sudah tidak melihat semua cucunya” kata adik sepupu dengan tergesa-gesah. Aku pun berkata “Harus sekarang? Kan proses pembelajaran masih berlangsung dan sebentar lagi aku juga pulang” Dengan spontan sepupuku itu membalas “Nenek sudah tidak ingin menunggu, dia ingin sekarang semua cucunya berkumpul” “Baiklah, tunggu dulu aku ingin meminta izin terlebih dahulu dengan guru yang sedang mengajar sekarang” jawabku perlahan. Setelah meminta izin, aku, adik sepupu dan bibi segera pulang menaiki motor. Saat tiba di bangunan baru yang berwarna hijau itu, aku pun segera masuk dan aku kaget karena di ruang tamu itu kosong, semua kursi dan meja telah di pindahkan ke gudang untuk sementara waktu.
Aku pun menghampiri pamanku yang kebetulan saja dia yang memindahkan kursi dan mejanya “Paman, kenapa semua meja dan kursi dipindahkan? Mau ada acara ya?” Tetapi, saat sepupu dan bibi ku itu datang ke sekolah, disitu perasaanku ada yang menjanggal seperti ada yang tidak beres.
Ketika aku melewati kamar bibiku, ternnyata ada suara tangisan yang tidak lain adalah sepupu sendiri yang tadi hendak menjemputku ketika disekolah, aku langsung masuk ke kamar itu, menghampirinya dan berkata “Kenapa kamu menangis? Kenapa juga semua kursi dan meja ruang tamu dipindahkan? Apa semua ini ada hubungannya dengan Nenek?” “Iya, Nenek sudah tiada, dia sudah meninggal” Katanya sambil menangis tersedu-sedu sehingga suaranya tidak begitu jelas didengar. Aku langsung kaget dan terdiam sejenak untuk mencerna kembali kata-kata yang di sampaikan oleh sepupuku itu, dan berkata “Benar Nenek sudah meninggal? Kan katamu dia menyuruh semua cucunya berkumpul tadi?” Ucapku dengan nada yang tidak percaya. “Iya, sebenarnya Nenek sudah 2 hari yang lalu meninggal tetapi dia diberikan alat bantu agar jantungnya tetap berdetak” katanya pelan dan berusaha meyakinkanku dengan perkataannya. Aku pun segera keluar dari kamar itu dan pergi ke halaman depan rumah sambil berpikir apakah yang dikatakan sepupu itu benar atau tidak.” Setelah Rani becerita panjang dia berhenti sejenak dan berusaha mengingat kembali yang terjadi saat itu, kulihat bola matanya ingin mengeluarkan air yang membuatku yakin betapa sedihnya saat dia menceritakan kejadian itu. Di kelas pada pagi hari itu tidak terlalu ramai sebab beberapa siswa ada yang tidak hadir dan ada yang sedang pergi ke kantin jadi dia bisa menceritakannya padaku.
Tak lama, dia melanjutkan kembali ceritanya itu “Matahari pada siang itu sangatlah terik dan angin begitu kencang meniup dedaunan dihalaman rumah yang membuatnya melayang-layang di udara, kudengar suara berbunyi disertai dengan getaran, ternyata itu adalah handphoneku, kulihat ada gambar ibuku yang ditampilkan pada layar kecil hp itu, aku pun segera mengangkat dan berbicara “Iya, Bu?”, “Nenek telah meninggal Rani, sekarang Jenazah Nenek sementara di masukkan ke dalam Ambulan dan segera dibawa pulang ke rumah, tunggu Ibu ya nak” balas wanita itu dengan suara lembut dan sedikit serak akibat menangis. Belum sempat aku menjawab, Ibu sudah mematikan teleponnya.
Aku terdiam dan merasa penglihatanku mulai kabur karena tertutupi air mata, tak sanggup dibendung air mata itu pun jatuh. Hari sudah mulai sore, semua keluarga besar dan tetangga sudah berkumpul di rumah untuk menunggu Jenazah Nenekku itu, kulihat langit yang mendung pertanda akan turunnya hujan, ku langsung masuk ke rumah dan ikut berkumpul dengan keluargaku.
Matahari sudah hampir terbenam, aku pun keluar dan duduk di samping pintu masuk rumah, kudengar ada suara ambulan yang bunyinya semakin mendekat dan semakin jelas ternyata itu adalah suara dari ambulan Nenekku. Saat itu juga awan pun ikut menangis, dan kulihat Nenekku diangkat keluar dari ambulan mataku langsung mengeluarkan air mata dan segera kupeluk Ayahku yang berada tepat di sampingku, sungguh tidak kupercaya Nenekku betul-betul meninggalkanku pada hari itu, Nenek merupakan salah satu orang yang paling kusayang dan aku sendiri cucu yang paling dekat dengannya, detik itulah aku kembali mengingat kembali semua kenangan kenangan berhargaku dengan Nenek. Mata Ibu dan Tanteku sudah bengkak dan tidak sanggup lagi meneteskan air matanya, kami sekeluarga sangatlah sedih apalagi dia adalah satu-satunya Nenek yang kita punya.
Saat kududuk di samping jenazahnya kulihat wajahnya yang bersinar-sinar nampak dia hanya tertidur dan badannya pun masih hangat saat dipegang. Sore hari itu dilewati dengan tangisan hingga hampir menjelang tengah malam. Besoknya, jenazah Nenekku itu akan dikuburkan, dan aku pun mencium keningnya untuk terakhir kalinya.
Beberapa hari setelah Nenek meninggal, Keluarga jadi sering beradu argumen dan tiba-tiba perekonomian keluarga juga menurun dari sebelumnya, dan sudah jarang ada keharmonisan dalam keluarga. Aku bingung dengan keadaan sekarang ini, apakah ini ada hubungannya dengan meninggalnya Nenekku itu? Aku pun juga merasa ada perbedaan dalam diri sendiri, dan berdampak dengan hubungan dengan keluarga dan teman-temanku di sekolah. Perbedaan dan masalah inilah yang sampai sekarang ini terus kupendam sendiri”
Rani berhenti sebentar sambil mengusap air matanya yang terus menetes. “Terima kasih sudah mau mendengar ceritaku, aku sudah sangat lega karena bisa menceritakan semuanya” ucapnya dengan nada pelan dan lembut. “Terima kasih kembali, tetapi sebaiknya kamu harus menceritakannya ke orangtuamu tentang ini, mungkin dia bisa menjelaskannya kepadamu” ucapku dengan nada pelan. Rani pun menjawab “Tentu saja, tetapi belum ada waktu yang tepat untuk memberitahunya”
Karena perutku yang sudah sejak tadi minta ingin di isi, aku pun mengajak Rani untuk pergi ke kantin sembari membantu dia untuk melupakan sejenak kesedihannya yang amat mendalam itu, Rani pun menyetujui ajakanku itu dengan senang hati.
Cerpen Karangan: Muh Rafly Raihan Blog / Facebook: Muhammad Rafly Raihan