Aku berlari menghampiri Ayah yang sedang bersantai di teras rumah. Sudah beberapa menit yang lalu Ayah berada di sana. Hari ini aku akan pergi menemui Ibu seperti hari-hari libur sebelumnya, untuk itu aku ingin berpamitan dulu pada Ayah. Ayah dan Ibu sudah berpisah kurang lebih satu tahun yang lalu, saat aku masih SMP. Namun hubungan antara kami bertiga tetap baik, walau kami tidak tinggal bersama.
“Ayah aku mau pamitan, hari ini aku mau pergi ke rumah Ibu.” Kataku setelah duduk di samping Ayah. Aku lihat Ayah hanya mengangguk, ini tidak sepeti biasanya. Hari ini aku tidak melihat senyuman dari bibirnya seperti hari-hari yang lalu. Aku mengikuti arah pandangan Ayah, ia menatap lurus ke depan. Tatapan kosongnya membuatku bertanya-tanya, apa yang sebenarnya ada di pikiran Ayah.
“Yah?” panggilku lembut, “Ayah ada masalah” “Kamu kenapa enggak berangkat? Nanti Ibumu menunggu.” Jawab Ayah, yang sama sekali tidak berkaitan dengan pertanyaanku sebelumnya. “Ayah kenapa sih? Kalau ada masalah cerita aja sama Ana,” “Ana,” Ayah memperbaiki duduknya menghadap ke arahku, “Ayah mau titip pesan buat kamu, tolong jaga Ibumu.” Aku terdiam mencerna setiap kata yang baru saja kudengar, entah kenapa seperti ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Seperti terdapat rasa sakit atas kehilangan sesuatu. Aku menatap Ayah lekat, memperhatikan wajahnya yang sudah mulai menua. Juga kerutan di kedua sudut matanya yang kian terlihat jelas. Entah kenapa tiba-tiba ada perasaan rindu yang menyeruak masuk. Aku harap ini hanya perasaan biasa yang akan segera hilang.
“Ayah, aku enggak suka kalau Ayah kayak gini. Ada apa sih sebenernya?” Aku mulai kesal dengan semua perkataan Ayah tadi. “Kalau ada masalah cerita dong, aku enggak akan tahu kalau Ayah enggak cerita.” Lanjutku. Ayah menatap kedua mataku, tatapan Ayah kali ini sulit diartikan. Aku benci dengan suasana seperti ini, seseorang yang ada di hadapanku ini seperti bukan Ayahku. Melainkan orang asing yang baru kukenal.
“Ana, percaya tidak percaya seseorang yang kamu sayangi pasti akan pergi. Entah kapan itu. Tapi yang jelas itu akan terjadi. Dan Ay…” “Maksud Ayah apa ngomong kayak gitu?” Potongku sebelum Ayah melanjutkan perkataannya. “Enggak akan ada yang pergi Ayah! Aku enggak akan pernah ninggalin Ayah, begitupun sebaliknya. Ayah pasti nggak akan ninggalin aku kan?” Tak terasa air mata menetes begitu saja, entah perasaan apa yang sekarang menyelimutiku. Yang jelas aku tidak menyukai perasaan aneh ini. Aku tidak suka dengan sifat Ayah yang mendadak berubah, sifat Ayah yang semula teduh, penyayang, dan selalu melindungi kini menghilang. Wajah yang dulu selalu terlihat ceria entah mengapa berubah murung secara tiba-tiba.
“Ayah aku mau siap-siap dulu, Ibu pasti udah nungguin aku.” Aku bangkit dan segera bersiap untuk pergi ke rumah Ibuku. Aku tidak mau terlalu memikirkan hal ini, aku tidak ingin merusak hariku dengan Ibu nanti.
Terlihat Ayah menatapku dengan tatapan lemah, seperti ada kesedihan yang tersimpan di pelupuk matanya. Aku segera memalingkan wajahku dan bersikap bak-baik saja. Hari ini tidak seperti minggu-minggu yang lalu. Biasanya aku gembira ketika akan pergi ke rumah Ibu, tapi sekarang tidak. Ada banyak pikiran di kepalaku dan juga perasaan yang campur aduk. Dalam perjalanan ke rumah Ibu aku lebih banyak melamun, bahkan saat sudah tiba di salah satu halte bus aku hampir saja kelewatan jalur. Untung saja ada salah satu penumpang yang mengingatkanku.
Saat sampai di rumah Ibu aku juga lebih banyak diam, beberapa kali Ibu bertanya padaku tapi aku enggan menjawabnya. “Ana, Ibu lihat dari tadi kamu lebih banyak diam. Kamu lagi ada masalah sama Ayah kamu?” Tanya Ibu padaku. Aku menggelengkan kepala sebagai jawaban, sepertinya kata-kata dalam mulutku tidak mau keluar. Ibu hanya menghela napas setelah menerima jawabanku. Setelah itu Ibu bergegas pergi ke dapur untuk menyiapkan makan siang.
Kring… kring… Tak lama kemudian terdengar dering telepon rumah yang berhasil mengusik ketenanganku. “Ana, tolong angkat teleponnya Ibu lagi sibuk!” Suara Ibu terdengar samar-samar dari dalam dapur. Tanpa memberi jawaban aku segera bangkit dan mengangkat telepon itu. “Hallo?” Ucapku memulai percakapan dengan seseorang di seberang sana. Pertama yang aku dengar adalah suara riuh, sampai suara seseorang yang sedang menghubungiku tidak terdengar dengan jelas. Aku mencoba menyuruhnya untuk mengulangi perkataanya dan dia pun menurutinya. Sekarang aku dapat mendengar dengan jelas suara seseorang itu. Aku tahu dia siapa, dia adalah tetangga Ayahku. Aku menyuruhnya untuk mengulangi perkataannya lagi sampai tiga kali, dan yang aku dengar tetap sama.
Aku melepaskan genggamanku pada gagang telepon, aku merasakan kini detak jantungku berpacu tak sewajarnya. Ada rasa sakit di dalam sana, lebih sakit dari luka yang timbul akibat goresan pisau. Tangisku semakin menjadi ketika aku mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Kejadian terakhir yang tak dapat terulang. Hari ini, pada jam ini, aku telah mendengar kabar yang tak pernah aku ingin dengar sebelumnya. Kabar yang telah membuat remuk hatiku.
Senja ini aku berdiri di suatu rumah, rumah terakhir bagi Ayahku. Pandanganku tertuju pada sebuah nama yang diukir di atas batu nisan. Nama itu yang dulu sering aku tulis saat aku masih belajar merangkai sebuah huruf menjadi sebuah kata yang indah. Nama itu yang dulu selalu tertulis di dalam raportku. Nama itu juga yang selalu aku sebut dalam setiap doaku setelah Ibuku. Dan kini pemilik nama itu tak lagi bisa menuliskan namanya pada raporku lagi. Pemilik nama itu juga tak akan berada di sampingku lagi. Pemilik nama itu telah pergi. Seseorang yang selama ini aku panggil Ayah telah berpulang, meninggalkan aku dan Ibu.
“Tolong jaga Ibumu,” kata-kata itu menggema di indra pendengaranku, terus terulang dan enggan menghilang.
Beberapa jam yang lalu seseorang yang ada di balik batu nisan itu masih menatap kedua mataku. Dan sekarang aku sadar setiap kata-kata yang dia ucapkan tadi adalah sebuah pesan terakhir. Tuhan memang memiliki berjuta rahasia yang tak diketahui mahluknya. Salah satu rahasianya telah diperlihatkan padaku saat ini.
Aku mengalihkan pandanganku ke arah barat, dimana langit senja membentang di sana. Dulu aku menyukainya, namun perasaan itu kini bermetamorfosis. Aku tidak membencinya, hanya saja perasaanku kini tak lagi sama. Ada yang berbeda, dan perbedaan itu muncul ketika senja ini aku lewati tanpa kehadiran seseorang yang selalu kupanggil Ayah.
Cerpen Karangan: Fitria Ningsih Susilowati Blog / Facebook: Fitrians Saya Fitria asal Blitar, suka menulis, bikin puisi, dan juga menggambar. Suka nulis dari SD. Umur saya sekarang 16 tahun. Saya masih SMA, kelas 2. Itu saja terima kasih ^_^