Matahari mulai memunculkan cahaya terangnya, embun pagi masih hinggap di dedaunan, dan aku masih menatap foto keluargaku yang terletak di atas laci sebelah ranjangku.
Masih sangat jelas memory otakku merekam kejadian semalam yang menimpaku dan keluargaku.
“Apa yang harus aku lakukan?! bagaimana aku bisa bertahan hidup sendirian? Apa yang sudah kulakukan?!” benakku terus bertanya ini dan itu. membuatku semakin pusing.
“Ayah! Ibu! Hana!” jeritku, sedetik kemudian air mataku mengalir deras.
Mengapa hari lahirku tahun ini malah jadi malapetaka bagi keluargaku?
Flashback Di atas meja sudah ada kue ultah yang bertuliskan “Happy Birthday” juga lilin-lilin diatasnya.
“Ibu, aku makan kuenya nanti saja. aku mau lihat kembang api dulu bersama ayah” ujarku langsung kabur keluar menghampiri ayah. Ibuku pasti tak mendengarku, karena beliau sibuk menenangkan hana yang sedari tadi menangis karena kartun favoritenya sudah selesai tayang.
“Cepat nyalakan kembang apinya!” ujarku setiba di samping ayah. “Kamu sudah tidak sabar ya?” ayah segera memercikkan api ke sumbu kembang apinya dan mengarahkannya ke langit yang gelap tanpa bintang.
TAASS!! JEDER!! kembang apinya meledak di langit berhambur dan bekerlip-kerlip sangat indah. 1, 2, 3 petasan sudah kami nyalakan.
“Nih ayah, satu lagi” ujarku menyerahkan kembang api pada ayah lagi. “Sudah ya fany, besok lagi. sekarang kita makan kue ulang tahunnya dulu” ujar ayah menyimpan korek api disakunya. “Sekali lagi ayah, kumohon..” ujarku memelas pada ayah. “Ya sudah, sekali lagi ya” balas ayah kembali mengeluarkan koreknya. “YES!”
Setelah ayah membakar sumbunya dan mengarahkan ke atas, kembang apinya tidak keluar. “Loh kok kembang apinya gak keluar yah?” “Iya ya, kok gak meledak kaya tadi”
Ayah menggoyang-goyangkan kembang apinya sembarang
TAASS!! TAASS!! TAASS!!
Kembang api itu keluar sangat cepat saat ayah tak sengaja mengarahkannya ke jendela rumah kami yang terbuka lebar. aku terkejut melihatnya, sedangkan ayah langsung membuang kembang apinya lalu berlari masuk ke dalam rumah.
BOOMM!! Tak lama, terjadi sebuah ledakan hebat dari dalam rumahku. mataku menayangkan kobaran api yang sedang melalap rumahku. hal itu membuat tubuhku mendadak melemah sehingga aku jadi tak sadarkan diri.
Now
Aku… Aku menyesal tidak mendengarkan ayah saat itu. seandainya aku menuruti kata ayah untuk menunda menyalakan kembang api lagi. detik ini, mereka pasti masih hidup.
“kau sudah sadar, fany?” tanya seorang wanita yang masuk dari pintu dengan berpakaian jas putih panjang serta stetoskop yang setengah melingkar di leher. “Dokter? dokter, bagaimana jasad keluargaku? apa mereka masih di ruang mayat?” tanyaku buru-buru menghampirinya.
Tapi dia sudah tiba lebih dulu di dekatku. “Keluargamu sudah dimakamkan, petugas Palang Hitam baru saja membawa jasadnya untuk di kuburkan dengan layak” papar dokter. “kau harus cepat sembuh, ya. aku akan membawamu menemui mereka setelah kau sembuh” “Aku tidak sakit dokter! biarkan aku melihat keluargaku! kumohon…” Dokter itu memelukku sesekali membelai rambut hitam lebatku. “Kau harus sabar dan tabah menerima semua ini, fany”
Semakin lama, mataku semakin berat. tanpa kusadari, dokter itu menyuntikkan obat bius di selang infusku. Mataku terpejam sesaat, setelah itu terbuka lagi.
“Di mana aku? sepertinya ini lorong? apa di rumah sakit ada lorong seperti ini?” Aku menatap bingung keadaan sekitar.
Tak lama, aku mendengar suara ibu dan hana tertawa. “Ibu kaukah itu? kau bersama hana? ibu! hana!” aku sudah berteriak berkali-kali namun tak ada yang menjawabku atau menghampiriku.
“Fany, dimana kamu ka?” itu suara ayah memanggilku. “AYAH! AKU DI SINI!” Sahutku dengan suara sekeras-kerasnya.
“Ayah, dimana fany?” ibu, ibu juga mencariku. “IBU! AYAH! IBU! AKU DISINI!” Aku mencoba menyahuti mereka sekali lagi.
“Fany! Fany..!” ibu terus memanggil namaku. “Sudah bu, biar ayah yang mencarinya. Fany..!!” “Ayah! Ayah! Ayah!”
Mataku benar-benar terbuka kali ini, aku menengok ke kanan dan ke kiri. aku masih di rumah sakit yang sama dan di kamar yang sama.
“Fany! di mana kamu ka?” aku sudah sadar tapi suara ayah masih terdengar di telingaku. Suaranya berasal dari balkon.
“Fany! Fany!” aku berjalan ke luar kamar menuju balkon. “Itu ayah! ayah masih hidup!” ayahku berada di balkon bersama ibu dan hana. “Ibu! Hana! Ayah! Kaliankah itu?!” sahutku. mereka menoleh kearahku. “Kau di sana rupanya, kemarilah nak! Ayo kita turun bersama-sama” ujar ayahku sebelah tangannya merangkul ibu dan hana, sebelahnya lagi mengulurkan tangannya padaku. Entah ini mimpi atau nyata. tapi, aku merasa bahagia melihat mereka kembali.
Aku menghampiri ayah, dan dia langsung merangkulku juga. kami turun melompati balkon bersama-sama.
Aku melihat tubuhku sendiri sudah tergeletak tak berdaya di tanah dengan darah segar yang masih mengalir.
Ayah, aku, ibu dan hana saling melempar tatapan dan senyuman.
Aku rela berpindah ke dunia lain, asalkan kami bisa bahagia bersama-sama.
END
Cerpen Karangan: Rizka Blog / Facebook: Xixis Oktora