Aku termenung sendirian. Ruangan remang-remang membuatku terus terfikir atas apa yang kualami hari ini. Suara azan berkumandang seiring mega yang berwarna jingga. Sisa-sisa rasa gugupku sayup-sayup masih kurasakan.
Satu-persatu peserta yang lain menunjukkan kemampuannya. Aku mendengar namaku dipanggil. Perlahan aku naik ke atas panggung. Ingin rasanya aku berlari menjauh dari tempat itu. Tapi sudah terlambat. Bagaimanapun aku harus mengikuti lomba ini. Setelah aku menampilkan yang terbaik, juri mulai mengomentariku. Intinya mereka mengatakan bahwa suaraku lumayan bagus.
Aku beranjak. Menyalakan lampu kemudian berganti pakaian dan sehelai kain sebagai penutup kepalaku. Aku keluar dari rumah. Gerimis langsung menyambutku. Untung saja aku memakai jaket. Dengan motor butut ayahku, aku mulai menyusuri jalan yang ramai oleh pengendara roda empat dan roda dua. Aku sampai di depan sebuah rumah sakit. Aku mulai menyusuri koridor menaiki tangga dan kemudian aku sampai di depan sebuah kamar. Kamar tempat adikku dirawat. Dia terbaring lemas. Rambut hitamnya terlihat kusam dengan selang infus terpasang di tangannya. Badannya kurus. Begitu melihatku dia langsung tersenyum.
“kakak!…” katanya. Dia terlihat gembira. “kau sudah makan?” tanyaku. Dia menggeleng pelan. Aku mengeluarkan sebungkus nasi yang kubeli di pedagang kaki lima di sepanjang trotoar tadi. Aku mulai menyuapinya.
“kak, bagaimana lombanya?” ia bertanya. “lombanya lancar. Mungkin besok kita sudah mengetahui hasilnya.” Dia menghela nafas. “seandainya aku tidak sakit. Mungkin, kakak tidak serepot ini. Atau seandainya aku ikut ayah dan ibu…” aku menghentikan kata-katanya. “jangan berfikir seperti itu. Kau tahu? Jika kau tidak ada maka aku akan sendirian. Aku akan melakukan apa saja untukmu jadi kau tidak usah khawatir.” Aku menghiburnya.
Dua tahun sebelum adikku masuk rumah sakit, ayah dan ibuku meninggal akibat mobil yang mereka tumpangi jatuh ke jurang. Hari itu adalah hari ulang tahunku. Mereka pergi ke kota untuk membelikanku hadiah. Aku sangat terkejut ketika sebuah mobil ambulans berhenti tepat di depan rumahku. Aku merasa khawatir dan penasaran dengan siapa yang berada di dalam mobil itu. Aku gelisah lalu tak sadarkan diri. Semua itu masih segar di ingatanku.
Sebelum pergi ke tempat lomba aku menemui adikku terlebih dahulu. Dia terlihat menyembunyikan sesuatu. “apa itu?” selidikku. “bukan apa-apa.” Jawabnya.
Aku meletakkan beberapa buah jeruk yang kubeli tadi. Akhir-akhir ini adikku sedikit aneh. Aku sering memergokinya menatapku dengan tatapan yang tak bisa kumengerti. “hari ini pengumuman. Jadi kakak harus ke sana dalam 15 menit.” Kataku. Dia diam seperti memikirkan sesuatu.
“ada apa?” tanyaku. “tidak ada apa-apa”.
Aku melangkah mendekati pintu. “kak!” “iya?” “hati-hati di jalan” dia berpesan padaku. Aku mengangguk
Demi adikku, aku mengikuti lomba ini. Sudah 3 bulan adikku dirawat. Kata dokter, dia mengidap penyakit kanker tulang. Hanya kesembuhannya yang kuinginkan saat ini.
Tempat ini mulai ramai. Juri mulai mengumumkan juara 3 dan 4. Aku memenangkan lomba ini. Aku sangat senang. Terbayang senyum adikku setelah sembuh nanti. Aku ingin segera menemui adikku dan memberitahukan kabar ini kepadanya.
Tepat setelah aku sampai di tempat parkir ponselku berdering. Ternyata dari rumah sakit. Mereka mengatakan adikku tak sadarkan diri. Aku memacu motorku lebih cepat lagi. Aku tak henti-hentinya berdo’a. Berharap adikku baik-baik saja.
Aku terduduk. Dokter tak bisa berbuat apa-apa. Luka dua tahun lalu menganga lagi. Bahkan lebih perih. Aku tak percaya ini. Aku terus mengguncang tubuh adikku. Wajah yang tadinya tersenyum. Mata yang tadinya berbinar saat melihatku. Kini tertutup rapat dengan wajah yang menggambarkan ketenangan. Aku menemukan sesuatu di saku baju adikku. Sebuah lembaran kertas.
“kak, aku minta maaf kalau selama ini aku banyak salah sama kakak. Menjadi beban di hidup kakak. Lagipula aku sudah lelah. Penyakit ini memang lebih kuat dariku. Aku harap kakak tidak terlalu sedih dengan kepergianku. Kakak harus kuat dan menjalani hidup ini dengan baik. Makasih ya kak, udah jadi kakak yang terbaik buat aku”
Aku menangis. Menangis sejadi-jadinya.
Sekian
Cerpen Karangan: Marsiah R Blog / Facebook: Marsiah