Perlahan, kristal-kristal bening mengucur tenang di pelipis gadis itu. Wajahnya tetap memeancarkan keteduhan, walau sinar terik matahari menyiram seluruh inci bagian wajahnya. Cerahnya biru terang terlukis di petala langit. Gumpalan-gumpalan kapas putih sibuk mengarungi cakrawala, ditemani sinar mentari yang kian memanas. Memanggang bumi serta seluruh isinya.
Gadis berumur Sembilan belas tahun ini terus berjalan menjajakan jualannya. Walau kakinya sudah lelah berjalan, ia tetap memaksakan diri. Ia tak berhenti sejenak untuk beristirahat, mengingat ia sangat-sangat membutuhkan sepeser uang untuk dirinya dan keluarganya.
Jika dilihat dari sisi ekonominya, miris memang. Rumah sang gadis itu hanyalah sebuah gubuk reyot yang seperti tertimpa angin. Ayahnya telah tiada semenjak dirinya masih berumur sepuluh dan Ibunya sudah dua tahun ke belakang digerogoti penyakit keras.
“Jamu, jamu…,” Mulut mungil sang gadis itu tidak henti-hentinya mebgumandangkan kata ‘jamu’. Kendati ia telah meneriakkan kata jamu berkali-kali serta sekuat tenaga, namun sayang. Orang-orang di sekitarnya hanya menganggap ia sebagai angin lewat. Gadis itu masih terus berjalan, menyusuri jalanan kota yang makin lama kian dipadati kendaraan.
Namanya Fisika Larasati, biasa dipanggil Fi. Hari-harinya disibukkan untuk bekerja banting tulang dalam ingar-bingarnya tembok beton. Kadang, ia cemburu pada orang-orang yang seusia dengannya. Mereka pastilah sedang menikmati masa mudanya. Bermain bersama teman, bercanda-ria, atau sedang menuntut ilmu demi menyongsong masa depan. Tapi dirinya? Fi hanya bisa berjualan jamu. Ingin melamar pekerjaan yang lebih menjanjikan pun tak bisa, sebab dirinya hanya sekolah hingga kelas 6 SD. Fi tak mengenal aljabar, tak mengenal hokum khirchoff. Ia hanya mengenal angka, huruf, perkalian, dan berbagai ilmu dasar yang ia pelajari di SD.
Kini, sudah pukul 12 siang. Fi berangkat dari rumah pukul 5 pagi, tapi hingga sekarang baru lima orang yang membeli jamu-nya. Botol-botol yang berisi jamu itu masih terisi penuh. Dinding-dinding kalbunya pun seketika muram. Sudah siang bolong begini, tapi dirinya baru mendapatkan sedikit pelanggan. Bagaimana bisa ia dan Ibunya makan? Bagaimana bisa ia membeli obat untuk Ibunya?
Fi terus berjalan sembari meneriakkan kata jamu. Dalam benaknya, ia selalu berharap ada yang membeli dagangannya. Saat ia sedang berjalan, tiba-tiba sebuah motor berkekuatan tinggi melenggang kencang beberapa senti di dekatnya. Lantas wadah besar yang berisi botol-botol yang dibakul oleh Fi membuat Fi terempas ke belakang. Ia kehilangan keseimbangan. Praaang! Botol-botol jamu itu pecah. Fi menyapa tanah. Ia tergeletak lemah. Kepalanya terbentur aspal, begitu juga badannya. Sementara motor yang membuat Fi begitu, tak menghiraukan keadaan Fi. Ia terus melajukan motor dengan kekuatan tinggi. Kencang sekali. Terang saja, ia sedang mabuk-mabukan.
Kehidupan Fi kini semakin memburuk. Semakin gelap, gelap sangat pekat. Seperti kopi yang sejatinya berasa pahit. Beberapa saat setelah kejadian motor menyerempet Fi, ada warga yang mengetahuinya. Spontan, Fi diboyong warga ke rumah sakit terdekat. Darah mengucur tiada henti dari kepala Fi. Mata Fi tertutup, enggan untuk membuka. Ia sekarang tak sadarkan diri. Berbagai luka, hinggap di badannya. Sementara botol-botol jamu itu, masih berada di jalanan dalam keadaan hancur berkeping-keping.
Sedangkan di lain tempat, di rumah Fi, Ibunya sedang berbatuk-batuk ria. Batuknya semakin parah. Ras alemas menyerbu dirinya. Semakin lama, semakin kencang batuk yang ia layangkan. Ibunya pun tertidur tanpa sadar saking lelahnya.
Beberapa hari kemudian, Fi dipulangkan dari rumah sakit. Ia pulang dengan keadaan kepalanya diperban, dan beberapa titik badannya dibaluti kain kassa. Ia sangat bersyukur, karena ia masih diberi kesempatan untuk hidup. Terlebih, ia bahagia karena ada yang mau membiayai dirinya di rumah sakit selama beberapa hari ini. Tapi kemudian, di tengah jalan Fi kembali bersedih. Ia baru ingat, botol-botol jamu itu sudah tidak ada lagi. Mungkin sudah terbuang dan menjadi sampah tak berguna. “Lalu, dengan apa aku bekerja?” suara parau Fi terdengar. Ia menunduk.
Tidak terasa, ia pun sampai di rumahnya. Dan alangkah kagetnya ia, kala mengetahui Ibunya sudah tidak bangun untuk selamanya.
Lembayung senja menghiasi langit kala Fi sedang berada di tempat peristirahatan terakhir Ibunya. Wangi bunga pemakaman menyerbak, menusuk hidung Fi. Tapi, yang Fi rasakan kini adalah kesedihan yang luar biasa mendalamnya. Kehidupannya kini betul-betul hancur. Satu harapannya, telah hilang dari dunia. Lalu, apa yang harus ia perbuat sekarang? Di bawah mentari yang sedang turun ke peraduannya, Fi memeluk erat batu nisan. Mengeluarkan semua tangisannya.
Saat sedang menumpahkan seluruh emosinya, seseorang menepuk pundak Fi dari belakang. Dalam keadaan masih menangis, Fi menoleh. Rupanya ada seorang lelaki berparas tampan tersenyum ke arahnya. “Halo Nona Muda, kaulah yang aku cari selama ini.” Lelaki itu tersenyum penuh arti. Menebarkan sebuah senyuman termanis yang pernah Fi lihat. Fi masih menangis. Ia tak tahu, siapa lelaki ini sebenarnya. “Siapa namamu? Kenalkan, aku Pratama,” ia mengulurkan sebuah mawar merah kepada Fi. “Sejak aku melihatmu di pasar beberapa bulan lalu, entah mengapa aku begitu terpukau melihatmu. Kau selalu hadir dalam mimpi-mimpiku, kau selalu ada dalam baying-bayangku. Lantas, mulai dari situ aku berusaha untuk mencarimu. Hingga kini, aku berhasil menemui dirimu..,”
Fi terdiam. Tangisannya mulai mereda, namun ia masih bingung dengan apa yang dibicarakan lelaki itu. “Akulah tulang rusukmu. Aku janji, akan selalu menjagamu walau badai meluluhlantahkan seisi bumi dan berusaha mengombang-ambingkan hubungan kita.” Lelaki bernama Pratama tu lagi-lagi tersenyum.
“Kamu tidak perlu lagi bingung mengapa aku berhasil menemuimu. Yang jelas, sekarang aku sangat bersyukur karena sudah menemukanmu. Seseorang yang kucari selama ini.” Pratama menarik napas dalam-dalam. “Dan jika kau bertanya, kenapa aku jatuh cinta padamu.. Aku akan bilang, memangnya cinta butuh alasan?”
Hening menjeda. Fi merasakan sebuah atmosfer kebahagiaan berkelindan dalam benaknya. “Jadi, maukah kamu menjadi pendamping hidupku?”
Cerpen Karangan: Creafids Creafids, seorang remaja yang mencintai aksara. Mimpinya adalah menjadi Akademia Remaja Kreatif Indonesia 2017. Jika ingin melihat potret kehidupannya, intip di akun instagramnya : @mrnr_18