Suara rintik hujan masih terdengar. Aku membuka jendela kamarku, melihat sekeliling rumahku. Jalanan sangat sepi, tidak ada satu orangpun disana. Aku kembali duduk termenung, dan menunggu hujan berhenti. Dari dapur ibu memanggilku, memintaku membeli garam di warung. “oh.. ini kan masih hujan,” geramku dalam hati.
Dengan sedikit rasa malas aku menemui ibu, meminta uang dan mengambil payung. Aku membuka pintu depan lalu pergi ke warung, di perjalanan aku melihat sesosok wanita berambut panjang ia memakai jubah hitam yang basah karena terguyur hujan. Perlahan aku menghampirinya, ternyata orang itu stefy musuh besarku di sekolah.
Mengetahui hal itu, aku meneruskan perjalananku dan pura pura tidak melihat stefy. Aku tidak menghiraukan dia yang kehujanan, beberapa langkah aku berjalan aku mendengar suara orang jatuh. Aku menengok ke belakang, aku melihat stefy jatuh terbaring di jalan. Aku menuju ke arahnya, dengan setengah berlari. Aku memegang keningnya, ternyata ia demam. Aku berusaha meminta bantuan tetapi tidak ada orang yang berjalan kala itu. “Aduh, bagaimana ini?. Stef, stefy… bangun.”
Karena stefy pingsan aku terpaksa membopongnya sendiri, aku membawanya ke rumahnya. Karena rumah stefy tidak terlalu jauh dari jalan itu. Aku mengetuk pintu rumahnya, tapi sepertinya rumah itu kosong. Aku membuka pintu rumah dan tidak terkunci, “Ah… syukurlah…” ujarku sembari membawa stefy masuk.
Aku menidurkan stefy di ruang tamu, aku mencoba mencari handuk dan minyak angin. Beberapa menit setelah itu, stefy mulai membuka matanya. “Syukurlah kamu sadar, dengan begitu aku bisa cepat cepat pulang…” ujarku agar stefy tidak mengira aku sudah baik padanya. Saat aku akan melangkah keluar, stefy memegang tanganku dan memeluk diriku. Aku tidak mengerti apa yang terjadi padanya, tapi ia menangis dan ini pertama kalinya aku melihat ia menangis.
“Kamu kenapa stef…?” tanyaku sembari mengusap tangis stefy. “Ayah dan ibuku, mereka akan bercerai. Aku tidak mau hal itu terjadi…” jawab stefy. Aku kaget mendengar hal itu, aku merasa sedih seorang menjadi korban perceraian orangtuanya. “Jangan bersedih, mungkin ini yang terbaik…” ujarku sembari memegang tangan stefy mencoba menguatkannya.
Dua jam berlalu, jam menunjukkan pukul 15.30. Saat itu hujan juga sudah berhenti. “Stef, aku pulang dulu ya…” ujarku, stefy tidak mengatakan apapun dan kukira stefy memperbolehkanku untuk pulang. Sampai di depan pintu ia memanggil namaku, suaranya bergetar seperti orang ketakutan. Aku tidak tega meninggalkannya, akupun memutuskan untuk menginap menelepon ibu dan menjelaskan semua.
Malam itu, hujan turun dan lampu padam. Aku merasa sedikit takut akan kegelapan, aku mendekat pada stefy dan mengajaknya berbincang untuk mengalihkan ketakutanku. “Stef, lalu ibumu kemana?” tanyaku pada stefy, “Mereka pergi ke rumah pacarnya masing masing, mereka lupa bahwa mereka mempunyai seorang putri. Mungkin mereka menganggap aku sudah mati…” jawab stefy sembari membanting foto ayah dan ibunya. Mendengar kata kata stefy aku tidak menyangka, selama ini ia bisa menahan semua rasa sakitnya.
Keesokan paginya, aku dan stefy berangkat ke sekolah bersama. Karena sejak malam itu kami berdua menjadi teman, tidak ada permusuhan lagi diantara kami. Semua teman temanku yang dulu menjauhiku, karena aku berteman dengan stefy.
Keesokan harinya, aku menemui tika temanku sejak dulu. Ia pun juga marah kepadaku, lalu aku menjelaskan semua yang terjadi pada stefy. Di waktu yang sama, stefy mendengar percakapanku dan tika. Ia berpikir aku menjadi temannya karena aku kasihan padanya, aku mengejarnya yang berlari menjauh dariku. Aku mencoba menjelaskan semua padanya, tapi ia tidak pernah mau mendegarkanku sekali saja.
Tiga hari sejak saat itu, aku tidak melihat stefy masuk sekolah. Aku mengajak tika mengunjungi stefy, “Tik… kamu mau ikut aku menengok stefy?”. Tetapi tika hanya terdiam dan tidak menghiraukan pertanyaanku, “Ang, stefy itu musuh kita kenapa sih sekarang kamu baik sama dia? Sekarang kamu pilih, aku atau stefy…?” ujar tika sedikit culas. Mendengar jawaban tika aku terdiam, “tik, ini bukan masalah aku lebih memilih stefy atau kamu. Tapi aku ini makhluk sosial, aku akan tetap ke rumah stefy untuk memastikan apakah dia sakit atau tidak.” ujarku pada tika. “Oke, aku anggap kamu pilih stefy. Dan semua pertemanan ini cukup sampai disini” jawab tika sembari melangkah meninggalkanku.
Tanpa berfikir panjang aku berjalan pulang, dan berhenti di rumah stefy. Aku melihat halaman rumahnya berserak sampah, tidak disapu. Aku mengetuk pintu, tapi pintunya sedikit terbuka. Akupun memutuskan untuk masuk, di ruang tamu aku melihat stefy duduk melamun. Aku mendekat dan duduk di sampingnya, “stef, stef kamu sakit…” tanyaku sedikit cemas. Tapi stefy hanya menggelengkan kepalanya, satu jam berlalu tapi stefy tidak membuka mulutnya untuk bicara. Ia terus melamun, “stef, aku pulang ya…?” tanyaku. Stefy menganggukan kepalanya.
Aku keluar dari rumah stefy, aku pergi ke rumah tika. Tetapi ia tidak mau menemuiku, aku menitipkan sebuah surat untuk tika. Aku menyuruhnya ke rumah stefy, dan melihat keadaannya. Aku mengatakan aku ada di rumah stefy, sehari setelah aku mengirim surat pada tika ia datang ke rumah stefy. Ia mengetuk pintu dan masuk, ia kaget melihat keadaan stefy yang seperti itu.
Aku dan tika memutuskan untuk mencari ayah dan ibu stefy, aku mencoba menelepon ibu stefy yang kebetulan ibuku punya nomornya. Sepuluh kali aku menelepon ibunya tapi tidak diangkat, saat aku akan menelepon lagi tiba tiba ibu stefy yang lebih dulu menelepon. Akupun menceritakan semua yang terjadi pada ibu stefy, ibu stefy syok dan langsung datang ke rumah.
Ibunya membawa stefy ke rumah sakit, dokter hanya mengatakan bahwa stefy depresi berat. Sejak saat itu ibu stefy membawa stefy ke bogor, untuk mendapat ketenangan. Sejak hari itu pula aku tidak pernah melihat stefy lagi, aku mendapat banyak pelajaran dari semua kejadian stefy. Bahwa semua yang terlihat belum tentu keadaannya seperti itu, seperti stefy aku melihatnya seorang yang selalu tersenyum dan tegar tetapi ternyata ia menyimpan kesedihan dalam hatinya.
Cerpen Karangan: Laila Dwi Cahyanti Blog / Facebook: Laila dwi