Pagi itu indah sekali. Mentari bersinar lembut menyapu kabut tipis yang masih menggelayut di bukit ujung desa. Bukit yang penuh sesak dengan pohon cemara dan semak berbunga. Di sisi kanan bukit itu terdapat air terjun kecil yang airnya sangat jernih, dan jika kalian mencelupkan kaki kalian untuk pertama kalinya, aku yakin kalian akan menggigil. Di kaki bukit terhampar padang bunga yang indah dengan aroma semi yang memikat. Dan disana terlihat perempuan paruh baya menggandeng gadis kecil yang berjalan riang. Perempuan itu masih muda, wajahnya lembut dan cantik, mata cokelatnya teduh, dan senyumnya teramat manis. Tingginya semampai, dan gaun putih ber-renda yang ia kenakan membuat dirinya terlihat seperti bidadari. Lihat, gadis kecil itu juga cantik, rambutnya ikal kecoklatan, matanya bulat hitam seperti biji leci, bibir tipisnya merah jambu dan pipinya tembam dengan sepasang lesung.
“Ibu, kita mau kemana?” Tanya gadis kecil “kita akan ke air terjun sayang” jawab perempuan cantik itu tersenyum “ini masih pagi sekali bu..” ujar gadis kecil itu sambil tangannya menyentuh bung bunga di sampingnya “tapi bu, aku selalu suka pergi kesana” lanjut gadis kecil menatap ibunya. Perempuan itu tak menjawab, matanya menerawang jauh. Gemericik air menyambut dua bidadari dengan lembut, tak ada dingin yang menusuk tulang ketika perempuan itu mencelupkan kakinya, tak ada arus yang yang seringkali membuat gadis kecil kewalahan. Mereka berdua menyeberang sungai dengan perlahan. “Ibu, sungainya tenang sekali ya? Seperti sedang tidur” gadis itu merasakannya. Ia menggenggam erat tangan ibunya dan mengangkat ujung gaunnya yang panjang. Perempuan yang ia panggil lagi lagi hanya tersenyum. “tidak nak, sungai ini tidak tidur, dia hanya sedang berusaha menenangkanku saja” batinnya.
Setelah berhasil menyeberang, mereka berjalan melewati jalan setapak. Gadis kecil itu tak lagi menggenggam jemari ibunya, kini ia berjalan di depannya. Ia berjalan dengan tangan sedikit direntangkan dan langkah yang kadang berjinjit kadang melompat kecil. Suara air terjun terdengar semakin jelas, mereka hampir sampai. Gadis kecil itu segera berlari meninggalkan ibunya di belakang, ia sudah hafal jalan mana yang harus dilewati. Ia sudah tidak sabar untuk bermain air dan mengejar kupu-kupu. Ketika perempuan mata cokelat itu sampai di air terjun, ia melihat putrinya tengah berkejaran dengan kupu-kupu kecil berwarna hijau transparan, dan gaunnya sudah basah setengah.
“Kyla, kemari sayang” panggil perempuan itu lembut. Yang dipanggil menengok, rautnya terlihat sedikit kecewa. “padahal aku hampir berhasil tadi” pikirnya. Gadis bernama Kyla itu menghampiri ibunya dengan bibir manyun. “Kyla, ibu ingin memberimu sesuatu, kemarilah nak duduk disini” kata perempuan itu, ia menepuk-nepuk akar pohon yang menyembul di atas tanah. Kyla segera menurut, ia menyukai hadiah. Perempuan itu mengusap kepala Kyla, kemudian menyibak rambutnya sendiri. Tangannya melepas simpul pada tali cokelat yang melingkar di lehernya lalu menariknya. Diberikannya kalung itu kepada putri semata wayangnya. Gadis kecil itu berbinar senang, ia menatap lekat kalung itu. Kalung bertali cokelat dengan sebuah tabung kecil berukir emas sebagai liontinnya. “terima kasih bu, aku menyukainya” seru Kyla girang “Kyla, masih ada yang ingin ibu tunjukan, sini ikuti ibu.” Perempuan itu mengulas senyum. Kyla segera mengikuti ibunya dengan gembira. Mereka menuju semak semak dengan bunga mungil. Kemudian perempuan itu menyibak semak tersebut, dan tampaklah serumpun tanaman dengan bunga putih yang cantik, putiknya berwarna kuning lembut. “Kyla, ini adalah bunga kesukaan ibu, bunga ini sangat langka dan seharusnya tidak tumbuh disini. Apa Kyla mau menjaga bunga ini untuk ibu?” Tanya perempuan itu pada putrinya. Kyla mengangguk antusias. “Kyla janji?” lanjutnya meyakinkan “ya, aku berjanji bu” jawab Kyla serius. Perempuan itu menatap putri kecilnya dan kembali tersenyum. Kyla memperhatikan senyum ibunya, ia tahu ada yang aneh disana.
“Ibu, ini bunga apa?” Tanya Kyla penasaran. Lagi-lagi ibunya tersenyum “Camelia” ujarnya seraya memetik setangkai bunganya “ini Camelia putih” ia member Kyla bunga camellia itu. Kyla menerimanya dengan senang. “Ibu, apa ada camellia yang lain? Maksudku, warna lainya” Tanya Kyla lagi “entahlah, ibu belum pernah menemukannya” “kalau begitu, Kyla yang akan mencarinya!” “boleh, tapi berjanjilah kau akan tetap menjaga camelia putih ini untuk ibu” perempuan itu mengecup kening putrinya penuh kasih sayang “Camelia putih adalah ibu, sayang…” ucapnya lembut Kyla memeluk ibunya erat, ia merasa ibunya sedang menembunyikan masalah darinya.
Tiba-tiba suara keributan mengganggu mereka berdua. Kyla menatap ibunya bingung, ia seperti mendengar suara orang orang yang berteriak. “mereka kesini” batin perempuan itu cemas. “Kyla, kau tetap disini, ingat apapun yang terjadi jangan pernah keluar dari sini! Kau mengerti? Ibu akan keluar, tidak akan lama” perintah perempuan itu “tapi, Ibu mau kemana? Aku ikut, aku tidak mau sendirian!” Ky;a panic “tidak sayang, kau tetap disini, dan jangan keluar! Bersembunyi dan berlindunglah disini, kau anak pintar Kyla, turuti ibu nak” “ta.. tapi bu..” “Kyla.. dengarkan ibu, kau sudah berjanji untuk menjaga Camelia putih kan?” Kyla mengangguk, matanya berkaca-kaca “nah kalau begitu, Kyla tetap disini dan jaga bunga itu, jagalah.. demi ibu..” Kyla mengangguk, membiarkan ibunya pergi “apa yang terjadi?” batinnya menangis.
Suara keributan itu semakin jelas terdengar. Kyla mengintip dari balik semak. Kerumunan itu ternyata warga desa, mereka berteriak memanggil nama ibunya, bahkan ada yang berteriak kasar. Kyla melihat ibunya menghampiri mereka dan berusaha menenangkannya. Tapi warga desa terlihat sangat marah, mereka menuduh ibu Kyla adalah seorang penyihir, mereka mencaci, memaki dan menghujat habis habisan. Ibu Kyla sangat kebingungan menghadapi mereka, ia sudah berusaha untuk menjelaskan bahwa ia bukan penyihir tapi tak ada seorangpun yang percaya.
“ibu…” Kyla khawatir, dia ingin berlari membantu ibunya tapi ia tak berdaya.
Kini warga desa memaksa ibu Kyla, mereka menyeretnya dan membawa paksa ke atas bukit. Kyla memutuskan keluar dari persembunyiannya dan mengikuti mereka diam diam. Kerumunan itu telah sampai di sisi bukit di titik tertinggi dan di depan mereka terlihat jurang menganga, tidak terlalu dalam memang, tapi cukup terjal batuannya. “hukum dia!” “hukum penyihir itu!” “bunuh saja dia! Atau kita akan menjadi korbannya!” “ya.. ya!” “buang dia! Dia berbahaya!”. sungguh, hati Kyla teramat pedih mendengar teriakan warga desa yang tidak berhati itu. “ibuku bukan penyihir!” jerit Kyla dalam hati. Warga desa semakin terbakar emosi, dua orang dari mereka akhirnya maju dan menyeret ibu Kyla mendekati bibir tebing. Sementar ibu Kyla terus meronta dan berusaha untuk menjelaskan, tapi tetap saja tak ada yang percaya. Tapi kemudian seorang nenek tua maju dan memohon warga desa untuk mengampuninya, dia berkata bahwa ibu Kyla bukan seorang penyihir. Tapi apa yang terjadi? Nenek tua itu diseret mundur bahkan dimarahi warga desa. Dua orang itu terus mendesak ibu Kyla mendekati tebing.
“aku mohon! Jangan! Aku tidak bersalah! Aku bukan penyihir!!” teriak ibu Kyla meronta. Tapi warga desa tak peduli, dua orang tu akhirnya mendorong ibu Kyla dengan kasar. “aaaaaaaaaaa”
—
Hujan baru saja reda beberapa menit yang lalu, awan gelap masih menggelantung di langit, tanaman-tanaman masih segar bermandi hujan, genangan air belum mongering dan aroma tanah bercampur hujam tercium kuat. Seorang gadis remaja cantik berjalan membawa keranjang rotan, menuju bukit di ujung desa. Ia terus melangkah, tidak peduli angin masih menggelitik kulitnya.
Gadis itu sampai di air terjun, kemudian ia menuju semak berbunga dan menyibaknya. Terlihat seruumpun tanaman dengan bunga berwarna putih yang tengah mekar. Lalu gadis itu duduk dan meletakkan keranjang rotannya. Ia tersenyum, cantik sekali, sama cantiknya dengan bunga yang ada di hadapannya.
“sepuluh tahun lalu” gumamnya pelan. Ia memetik beberapa tangkai bunga putih dengan putik kuning tersebut dan menaruhnya ke dalam keranjang, kemudian ia melepas kalung di lehernya. Dibukanya tabung kecil yang menjadi liontin, lantas ia meneteskan air yang ada di dalamnya ke atas bunga itu, Camelia putih.
Desa tengah berpesta, mereka baru memilih tetua adat baru dan mereka kini sedang meraykannya. Seluruh warga desa berkumpul di lapangan untuk berpesta. Mereka menari, bernyanyi dan bersenang-senang. Seolah mereka tak punya masalah, seolah mereka tak ada beban sama sekali, dan seolah mereka tak punya dosa. Mereka sangat menikmati euforia kegembiraan, hingga tak menyadari ada masalah besar yang siap menerjang.
Gadis cantik itu berjalan menuju pesta, gaunnya putih selutut berhias rajutan di ujung lengannya. Ia membawa keranjang penuh bunga yang aromanya sangat wangi. Semua warga menoleh, mengikuti jejak aroma yang memikat, mereka menghirup dalam dalam, lalu kembali larut dalam hingar bingar pesta dan seolah tidak terjadi apapun. Gadis itu tersenyum melihat seorang nenek tua yang memperhatikannya. Nenek itu mendekatinya dan bertanya. “nak, sepertinya aku pernah mengenalmu, tetapi aku lupa” kata nenek itu “siapa namamu nak?” lanjutnya. Gadis itu tersenyum lagi “nek, pulanglah.. tidak baik disini, nenek terlihat lelah sekali..” “nak, siapa namamu? Sungguh aku pernah mengenalmu” “namaku Kyla. Sekarang pulanglah nek…” kata gadis itu lembut. Nenek itu menurut saja seperti anak kecil. Setelah nenek itu pergi, gadis itu menatap pesta di belakangnya “sekarang giliranku bersenang-senang” ujar gadis itu. Kemudian ia menggigit ibu jarinya hingga mengucurkan darah.
Clak! Darah pertama menetes tepat di putik camellia putih, dan setelah itu terdengar suara jeritan dari pesta. Gadis itu beranjak meninggalkan lingkungan pesta itu. “pesta yang sesungguhnya baru dimulai” batin gadis itu.
Pesta yang sebelumnya penuh canda tawa, riang dan gembira kini berubah mencekam, suara teriakan pilu terdengar dimana-mana. Mereka menjerit kesakitan, sesuatu yang misterius telah menyerang mereka. Orang orang mengerang, pesta berubah ricuh. Satu orang ingin menolong orang lain yang kesakitan, tapi dengan cepat hal sama terjadi pada dirinya, begitu seterusnya.
Gadis itu melangkah tenang, camellia camellia di keranjangnya yang semula putih perlahan berubah merah, seperti kertas yang diberi warna, menyebar dengan cepat.
“Ibu, aku berhasil menemukannya… aku menemukan Camelia yang lain bu. Dan aku rasa, aku lebih menyukai yang ini, Camelia merah” gadis itu berkata sendirian.
“Ibu, maafkan aku, aku tidak bisa menjaga Camelia putih lagi, maafkan aku..” air mata gadis itu mengalir perlahan. Kemudian ia mengambil satu-satunya bunga camelia putih yang tersisa dan menghirup wanginya pelan. Ia tersenyum dan perlahan mulai limbung lalu terjatuh.
“Ibu, aku datang, aku datang bersama Ibu.. bersama Camelia Putih”
Cerpen Karangan: Rin Aimee Blog / Facebook: fb: ririn rahma hanya seorang penyuka hujan, penikmat senja dan seorang otaku. akan senang jika kalian mau berteman denganku, dan terima kasih telah membaca cerpenku. dozo yoroshiku, minna!