“Ayo, lompat saja! Tak apa, aku bersamamu” suara itu kembali muncul. Sejenak aku tertahan oleh hati nurani. Matahari mulai bersembunyi, langit berhenti menangis. Namun aku masih berdiri sendiri disini. Di atap sebuah gedung yang akupun tak tahu itu gedung apa.
—
“mbak ayo makan” orang berbaju putih itu lalu menyuapiku. Aku terdiam, tak bersuara. Lalu kupandang orang itu dengan tatapan kosong, akhirnya aku membuka mulut. “aku siapa?” namun orang itu hanya tersenyum lalu pergi keluar.
Iya. Aku siapa? bagaimana mungkin kalian mengenaliku, sementara aku sendiri tak tau siapa aku? Tak lama kemudian orang memakai jas putih memasuki ruanganku, wajahnya seperti tak asing bagiku. Ia bertanya, “bagaimana dek? Sudah mau bercerita ke saya” “jangan katakan apapun” “pukul dia” “bunuh dia” suara itu terus menggema di dalam kepalaku. lagi lagi aku hanya menatap orang itu tanpa bersuara
Orang itupun keluar namun tanpa sadar, aku melempar sebuah gelas tepat di kepalanya. dia meringis dan berbalik, lalu memelukku. Akupun menangis. Aku ingat. Orang itu adalah kakakku. Ya, dia adalah seorang dokter kejiwaan. Dan aku adalah seorang gadis yang didiagnosa terkena Skizofrenia, suatu penyakit kejiwaan. Diakibatkan oleh trauma masa kecil.
“tenanglah, jangan dengarkan suara suara itu. abaikan saja” Jadi menurutmu aku sengaja membuat suara itu? kata kata itu membuatku hilang kendali. lalu kurasa ada benda tajam yang menusuk lenganku, akupun tertidur. Jika ini semua adalah mimpi? Lalu yang manakah kenyataan? Mengapa sulit sekali bagiku membedakannya?
Aku hanya punya rara, temanku satu satunya. Tapi mengapa orang bilang dia hanyalah imajinasiku? oh tidak, tolonglah. dia nyata! aku melihatnya, aku bisa menyentuhnya, aku bisa mendengarnya. Rara lah pencipta suara yang menggema di otakku. Suara yang nenurutku nenenangkanku. tapi tidak bagi orang lain, menurut mereka suara itulah yang membuatku menjadi gila.
Aku terbangun dalam sadar. Beranjak pergi dari tempat tidur dan berjalan tanpa arah, seperti daging yang bisa bernafas. ternyata kakiku menuntunku ke sebuah taman. Banyak sekali anak kecil bermain di sana. Aku tersenyum. samar samar kenangan masa lalu terlintas di benakku. Aku rindu.
Kuhampiri anak anak kecil itu dan ikut bermain. Sejenak aku melupakan rasa sakitku. Namun anak itu dipanggil oleh seseorang yang mengajaknya pergi. ah mungkin itu ibunya. Ibu dan anak itu tersenyum kearahku sambil melambaikan tangan, kubalas senyum itu.
Tiba tiba hujan turun, tetapi aku tak beranjak sama sekali. mungkin kakakku dan perawat lain kebingungan mencariku. Tak lama iapun menemukanku, lalu cepat cepat membawaku kembali dan menyuruh seorang suster mengganti bajuku. Setelah itu aku berbaring, di samping ada kakakku. aku memegang tangannya “tolong aku” kataku “ada apa?” balas kakakku “aku takut, aku sendiri, banyak sekali suara suara itu” “dimana aku?” orang itu memelukku erat, dan aku tertidur. Mimpipun terasa sangat menyakitkan untukku.
Aku terbangun, menyisir rambut. Oh tidak, lagi dan lagi orang dalam cermin itu seolah mengejekku. Tolong aku! Bagaimana mungkin bayangan dalam cermin bisa bicara seolah dia nyata? apa benar yang dikatakan orang orang, kalau aku ini gila? Ibu, tolong aku! Aku tidak gila. Aku mulai menyakiti diri sendiri. Aku hilang kendali. Lalu orang berjas putih itu memegangku kuat sekali.
“sadarlah, tenanglah!” katanya “Tolong aku orang itu menertawakanku” hingga akhirnya orang itu berhasil membuatku tenang. “pasti berat sekali buatmu, kan?” katanya. Aku tau orang itu menangis Suara itu menyiksaku. Membuatku seperti orang gila, namun juga menenangkan. Seperti senja, memberi sejuta keindahan tetapi membawaku pada kegelapan. Suara itu bagai teman bagiku yang sepi ini, berbicara denganku, tertawa denganku.
Aku tak tahan lagi. Suara suara itu terus muncul tanpa henti, membuatku frustasi. Suara itu benar benar ada aku tidak bohong. tolong percayalah! Aku bingung, sebenarnya tubuhku ini milikku ataukah miliknya?
Aku berjalan menyusuri balkon rumah sakit, menaiki tangga. Sampailah aku disini. Gerimis mengguyur dan senja hampir lewat. Aku berjalan mendekati ujung puncak gedung ini. Kulihat ke bawah, “wah tinggi sekali” pikirku. Suara itu muncul, “Lompat saja tak apa!” “Maafkan aku!” Kupejamkan mataku, tubuhku serasa terhempas. Kemudian semua menjadi gelap.
—
Mataku terbuka. Jantungmu berdegup kencang, keringat dingin mengucur dari seluruh tubuhku. Delusi lagi. Mimpi buruk lagi. Kakak menghampiriku dan menenangkanku. Lalu memberiku obat obat penenang agar suara suara yang muncul di dalam kepalaku tidak menjadi-jadi. Lalu aku tertidur. Semoga saat aku bangun besok penyakit jiwaku tidak kambuh lagi.
Cerpen Karangan: Rhea Adya