Jika kembali mengingat seberapa beruntungnya dia, ia akan menangis dan mengingat seberapa cengengnya ia dahulu.
Cahaya lampu jalanan menerangi sisi gang. Wen berjalan melewati cahaya lampu yang samar. Wajahnya kusut, di tangannya ia menggenggam sebuah roti yang baru termakan setengah. Jalannya tersandung sandung.
“Makanlah ini.” wen mengangsurkan roti itu kepada seorang anak yang laki laki yang lebih muda darinya. Umurnya baru 10 tahun “Bagaimana denganmu Wen? Ini terlalu banyak untukku, bagaimana jika kita bagi dua saja.” Wen merebahkan tubuhnya bersandar pada dinding apartemen. “Kau makanlah dulu, sisakan saja untukku jika kau sudah kenyang.”
“Terima kasih Wen.” “Untuk apa?” Wen mengernyit. “Membantuku tadi. Setidaknya mereka tidak melukaiku.” “Mereka tidak akan menyakitimu.” potong Wen, nadanya agak tinggi. “Maksudku, mereka tidak akan menyakitimu jika kau berani pada mereka.” “Tapi kau telah membantuku 3 kali dan aku belum bisa membalasnya Wen.” “Tak perlu kau membalasnya, balaslah jika kau telah sanggup membalasnya.” kata Wen.
“Kau orang baru disini yaa? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya. Sebelum 3 kali pertemuan kita.” “Aku korban penculikan dan aku berhasil kabur ke wilayah ini. Orang pertama yang kukenal adalah kau. Wen.” “Pantas.” Pekik Wen. “Makanya aku selalu berusaha bersembunyi dari mereka.” “Mungkin aku dapat membantumu. Mulai sekarang kita adalah teman baik.” Wen tersenyum. “Teman baik? Aku telah menggapmu kakakku sendiri.” mereka berdua tertawa.
Wen menatap langit. Menatap bintang bintang diantara gedung dan apartemen yang mengapit gang. Tak lama sebuah mobil berhenti tepat di depan gang. Seorang pria dengan setelan rapi keluar dari dalam mobil.
Zoo mengenalnya. Ia mengenalnya dari luka di pipi kanannya yang ia gores dengan pecahan beling. Luka itu membaret dari pelipis hingga pipi. Pria itu menyeringai marah sembari berjalan mendekat. Pria itu merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah pisau kecil. Kilauan pisau itu sangat terlihat jelas jika terpantul cahaya lampu jalanan.
Wen sangat tau Zoo dalam keadaan yang tidak baik. Ia menyuruhnya untuk bersembunyi diantara tempat sampah dan tiang listrik yang berdekatan. Zoo mengangguk lalu berlari.
Pria itu berlari mengejar Zoo, namun Wen telah membentangkan tangannya. Melarang pria itu agar membatalkan niatnya. “Ini bukan urusanmu anak kecil!” Bentak pria itu dengan kesal. Wen menyeringai tajam kemudian berteriak. “Aku adalah anak berusia 15 tahun yang mencoba melindungi adikku.” “Brarti ini urusan kita bertiga.” Pria itu lalu menghujamkan pisaunya tepat di perut Wen. Suara erangan Wen sempat terdengar oleh Zoo.
Wen masih berdiri ketika pisau itu tertancap di perutnya. Tangannya memegang gagang pisau. Mencoba mengeluarkannya tapi dorongan pria itu lebih kuat. Tapi saat pria itu menarik pisau dan tau jika pria itu mulai lengah, saat itu pula kesempatan Wen. Dengan tenaga yang tersisa ia memutar pisau di tangan pria itu lalu mendorongnya hingga mata pisau itu tertancap di perut pria itu. Wen tetap terus mendorongnya hingga menabrakannya dengan tubuhnya hingga mereka berdua tersungkur di tanah.
Wen menatap pria itu, mata pria itu melotot dan mulutnya menganga tidak berdaya. Wen sudah tidak merasakan apa apa lagi. Hanya telapak tangannya saja yang merasa basah karena memeggangi perutnya. Wen sudah mati rasa. Ia masih sadar ketika ada suara memanggil namanya dan menggoyangkan tubuhnya. “Wen.”
Zoo datang dengan air mata yang terus mengalir. Tangisannya benar benar semakin pecah ketika ia duduk di sebelah Wen. “Kenapa kamu menangis?” ujar Wen menenangkan. Zoo hanya menggeleng dan berulang kali meminta maaf. Ia merasa bersalah atas apa yang dilakukannya. “Dunia jalanan memang keras bukan? Seenggaknya kau jangan mati di jalanan. Ingat kata kataku.” ujarnya. “Kau akan mati konyol.” Tangisan Zoo semakin pecah. Wen mengusap air mata Zoo dengan punggung telunjuknya. “Kau harus kuat Zoo. Apa yang kau lihat di jalanan ini bisa menjadi pembelajaran.” Zoo mengangguk. “Aku tidak mau kehilangan Wen. Wen itu kakak Zoo.”
Beberapa kali Wen harus menghapus air mata Zoo. Berusaha menenangkannya. Semakin lama Wen merasa semakin lemas. Matanya seperti ingin terpejam tapi ia tetap memaksakannya untuk terbuka. Ia kembali menatap mayat pria di sebelahnya yang bersimbah darah.. “Aku ngerasa semakin lama semakin damai. Semoga Tuhan mengampuni kesalahanku. Kesalahan kita.” ujarnya sembari memejamkan mata perlahan, air mata keluar dari sudut sudut matanya. Wen merasakan kebahagiaan. Zoo mengangguk. “Wen kau menanggis.” Zoo menghapus air mata Wen sama seperti yang wen lakukan. “Wen?” “Wennn!!”
Cerpen Karangan: Dante Pratama Facebook: Danteprtm Ig: dnteprtm_ Gmail: dante.pratama06[-at-]gmail.com