“Lasmi.. Lasmi!”, teriakan Mak Ijom seraya mengetuk pintu rumah Lasmi. Suaranya ini terdengar hingga dua rumah di sampingnya. Pemilik rumah depan rumah Lasmi pun keluar, pasti dia mengira ada kejadian memuakkan itu lagi. Lasmi tak kunjung membukakan pintu, sepertinya dia tidak ada di rumah. Mak Ijom tetap bersikukuh menggedor-gedor pintu rumah. “Lasmi… Lasmi, keluar kamu!”, Mak Ijom mengeraskan suara dan gedoran pintunya. Mak Ijom selalu seperti itu, datang ke rumah orang lain dengan cara yang tidak baik, jujur saja aku pun jika didatangi Mak Ijom pasti tak akan keluar, begitu pun Lasmi. Bising mendengar suara Mak Ijom, Lasmi dengan enggan membukakan pintu. “Ada apa, mak?”, suara lirih Lasmi disela teriakan Mak Ijom. “Kamu semalam sama siapa lagi, itu si Parman kamu apakan?”, tanya Mak Ijom dengan nada marah. “Semalam? Semalam saya di rumah mak, ada apa memangnya mak?”, jawaban santun dari Lasmi.
Memang sejauh waktu berjalan, di gang itu hanya Lasmi yang belum menikah, gadis yang masih berusia 23 tahun itu sering menjadi cemoohan warga. Dia dituduh menggauli, mengajak kencan, bahkan meniduri bersama para suami orang. Pantas saja, jika ada suami yang pulang hingga larut malam, semisal sampai jam 12 lewat, esoknya langsung ada yang datang ke rumahnya. Namun, kali ini Mak Ijom yang datang, dan membuat Lasmi tak kuasa menahan amarah Mak Ijom. “Kamu masih mau menggoda suami orang, hingga tengah malam?”, tanya Mak Ijom dengan suara agak menyakitkan hati. Padahal Mak Ijom sudah tak punya suami, dia ditinggal suaminya 2 tahun lalu, entah mengapa, tak ada yang tahu kenapa suaminya meninggalkan Mak Ijom, yang warga tahu, suami Mak Ijom orangnya baik bahkan sholeh, hanya pada suatu malam suaminya tak kunjung pulang hingga saat ini, beruntung waktu itu belum ada Lasmi, kalau tidak, Lasmi akan dihujat habis-habisan oleh Mak Ijom.
Seseorang menghampiri keduanya, nampaknya dia tokoh terpandang di gang itu. “Ada apa tho mak? Jangan ribut-ribut mulu, setiap hari selalu begini, ributnya itu-itu juga. Saya tadi malam ronda, Lasmi tidak keluar rumah kok. Tenang saja,” Pak Heru mencoba menenangkan. “Tidak bisa begitu, itu Eis sampai malam nunggu suaminya, eh ternyata malah enak-enakan berduaan sama orang ini…!”, berujar dengan marah Mak Ijom sembil menunjuk-nunjuk Lasmi. “Saya tidak macam-macam mak, sumpah mak.” Jawaban Lasmi dengan menundukan kepala. “Sudahlah mak, jangan marah-marah terus, bising dengarnya. Pulang sana!”, Pak Heru menimpali dan menggiring Mak Ijom pergi dari rumah Lasmi. “Awas kamu ya!” Mak Ijom masih saja mengancam Lasmi, dan dengan terpaksa meninggalkannya.
Selepas kejadian itu, Lasmi mulai hati-hati, dia tak akan pulang malam lagi. Walau sebenarnya tak ada orang yang tahu pekerjaannya. Lasmi bekerja di Caffe yang letakkannya lumayan jauh dari gang tempat tinggalnya, sekitar satu kilometer. Lasmi harus naik angkot untuk kesana. Atau kalau tak ada kendaraan, Lasmi terpaksa berjalan kaki menuju tempat kerjanya. Beginilah nasib Lasmi, ditinggal orangtuanya setahun yang lalu, tak tahu apa sebabnya, bukan meninggal, atau orangtuanya bercerai, tapi itu seolah-olah terjadi bak sulap, sekali kejap hilang dan meninggalkan Lasmi di kontrakan yang letaknya jauh dari kota. Gajinya hanya cukup untuk membayar kontrakan dan makan seharian saja, untuk pakaian, Lasmi tidak pernah membeli baju baru, lebaran kemarin saja baju barunya itu diberi oleh bosnya tempat dia bekerja.
Lasmi yang dinilai pel*cur oleh warga tempat dia tinggal ini tak sepenuhnya benar, juga tak sepenuhnya salah. Karena mungkin pekerjaannya di Caffe. Sebenarnya, Lasmi bukan gadis seperti apa yang disangkakan mereka, dia bukan pel*cur, hanya gadis biasa yang ditinggal orangtuanya. Lasmi, juga sering datang ke masjid untuk sekedar sholat berjamaah, namun sesekali dirinya tak kuasa untuk pergi kesana, karena warga disana sudah siap untuk mempergunjingkannya. Juga kala malam hari, dia tak berani keluar rumah walau hanya sekedar untuk sholat Isya’ berjamaah di masjid. Alasannya jelas, tak mau jadi bahan ejekan warga sekitar.
Suatu malam, entah kenapa Lasmi harus pulang malam, sekitar pukul 22.00 malam, karena kebetulan dia disuruh lembur oleh bosnya hari itu. Suasana malam memang sunyi, tapi saat keluar Caffe tak terasa kalau ini sudah malam, riuhnya kondisi kota tak gubahnya seperti pasar hiburan malam, kendaraan silih berganti selang-seling wara-wiri di jalan. Lasmi berjalan menepi, di sebuah trotoar yang ukurannya tak bisa dikira-kira. Rasa haus mulai menggerogoti leher Lasmi, jelas saja, siapa orang yang tidak kehausan jika harus berjalan sekitar satu kilometer. Dilihatnya pedagang kopi seduh keliling bersepeda sedang ngetem, tepat di depan toko elektronik yang lima menit lalu sudah tutup. Tak banyak pikir, Lasmi segera membelinya tuk sekedar menghilangkan dahaga. Suasana kota memang cukup ramai, sampai Lasmi sudah sampai ke sudut kota yang keramaian dan kilauan cahayanya kota sudah mulai redup perlahan.
Mendekati gang tempat kontrakannya, terlintas di pikiran Lasmi, kalau dia pulang malam-malam begini dia akan ketahuan oleh orang-orang disana. Dia bergumam dalam hati, kalau warga akan mencemoohnya, belum lagi kalau Mak Ijom sedang duduk di emperan rumah, menunggu menantunya yang jam segini pun biasanya belum pulang. Terbersit di pikirannya untuk mencari jalan keluar. Tak tahu mengapa Lasmi berpikiran harus lewat gang sempit itu, jaraknya sekitar 5 meter dari tempatnya berdiri sekarang. Tempat itu memang sempit, bahkan tak pantas dinamakan gang. Hanya ada lorong kecil yang ukurannya sekira satu meter, terhimpit diantara dua gedung, yang satu sebuah toko kelontong, dan yang lainnya Lasmi tak tahu apa, hanya saja sebuah gedung tapi pintunya berada di samping, di lorong sempit itu. Pintunya tak seperti toko-toko di sampingnya, bentuknya tak terlalu besar, untuk membukanya pun dengan menggeser, karena mungkin pemiliknya tahu kalau dipasang pintu yang dibuka seperti pintu toko biasa, akan menghalangi pejalan kaki yang lewat disana.
Dia berpikir terlalu lama, sampai dia mulai mengintip jam tangannya yang menunjukan pukul 22.30 malam. Lasmi terkejut, mau bagaimanapun dia harus segera masuk rumah, takutnya tak sempat masuk rumah, warga keburu memergokinya pulang malam, juga dengan kondisi yang mulai mengantuk sudah cukup alasan untuk dia segera sampai di rumah. Lasmi mulai berjalan memasuki gang sempit itu, selangkah, dua langkah, hingga beberapa langkah memasuki gang. Dia sampai pada pintu gedung yang dimaksud, warnanya biru tapi agak pudar seperti dimakan oleh waktu, berkarat, dan nampak tidak ada gagang pintunya diluar, mungkin hanya di dalam saja gagang pintunya, yang ada di depan pintu hanya sebuah besi kecil yang menempel di pintu itu. Lasmi bingung bagaimana cara masuknya.
Di balik pintu itu tiba-tiba lelaki setengah baya keluar, perawakannya cukup tinggi, Lasmi mengira usianya sekitar 25 tahun keatas, dia memakai kaos polo, yang tak tahu dibeli dimana, karena disekitar sini tak ada toko baju. Lelaki itu keluar dengan kancing kaos polonya yang lepas. Mencoba menghampiri Lasmi, yang terhenti langkahnya sambil terkantuk-kantuk. Tubuhnya seakan sudah tak kuat lagi menahan kantuk, namun lelaki itu hanya memandanginya, sambil sesekali tersenyum tipis mengarah pada Lasmi. Namun Lasmi tidak menyadarinya, bahkan untuk melihat jelas sosok lelaki itu pun dia tak mampu, matanya sudah lelah dan butuh istirahat. Lelaki itu tetap menampilkan senyumnya, lagaknya seperti memerhatikan Lasmi, sambil bersender di bibir pintu, dan tangan kirinya merogoh saku celana yang bisa saja tak berisi itu. Lasmi semakin terkantuk-kantuk, kopi yang diminumnya tadi tak kuasa menjadi penawar kantuk, saat berjalannya pun sangat pelan. Lelaki itu melirik jam tangannya, sudah pukul 00.00 atau 12 malam. Tak dirasa perjalanan Lasmi melalui gang sempit itu cukup lama, mungkin ini karena dia sudah terkantuk-kantuk.
Tiba-tiba, rasa kantuknya tak terbendung, hingga akhirnya Lasmi jatuh tersungkur ke tanah seperti orang pingsan, tapi sebenarnya dia terlelap karena lelahnya. Rupanya lelaki itu menunggu momen ini, Lasmi yang tertidur tidak jauh dari pintu, membuat lelaki itu memudahkannya menghampiri Lasmi. Dia tak melakukan apapun, lelaki itu mendekati Lasmi yang tengah tertidur pulas, dia hanya memandangi kecantikan Lasmi, belum sempat terbersit pikiran m*sum olehnya, salah seorang lelaki lainnya yang perawakannya hampir sama dengan lelaki itu keluar dan ikut menghampiri Lasmi yang sedang tidur. “Bro, wih cewek nih, kok gak diajak masuk?” Lelaki yang baru keluar itu memukul pundak lelaki yang sedang nikmat memandangi Lasmi. “Eh.. elu Rom, sudah puas?”, sahut lelaki pertama dengan senyum menggoda. “Alah.. iya dong, hahaha, itu siapa? Pesanan kamu?”, Romi balik tertawa dan menimpali dengan pertanyaan konyol itu. “Bukan, kebetulan saja dia ketiduran disini,” jawaban santai dari lelaki pertama. “Sudahlah Rey, bawa masuk saja kasihan juga dia, dan kamu gak mau semalam ini bersamanya? Coba kamu perhatikan wajah gadis itu, mulus, kulitnya putih, dan cantiknya. Bagaimana menurutmu, cantik tidak?”, dengan tesenyum menggoda, Romi menawarkan. “Tunggu apalagi?” Belum sempat dijawab, Romi kembali menyodorkan pertanyaan. Rey melirik jam tangannya, “Iya ini gue bawa kedalam saja ya? Siapa tahu ini rejeki gue, sudah lewat tengah malam juga.” Rey menjawab pertanyaan itu. “Nah, gitu, ayo bawa ke dalam,” ujar Romi seraya masuk kedalam. Tidak lama setelah perbincangan m*sum itu, Rey pun membawa Lasmi masuk ke dalam dengan keadaan tak sadarkan diri.
Esoknya, Lasmi terbangun dari tidur pulasnya, dia menengok di sekelilingnya. Terkejut melihat bahwa kini dirinya tengah terbaring di sebuah kasur yang empuk di dalam kamar seseorang yang dia tak tahu siapa pemiliknya. Namun, kamar itu cukup menawan, dinding yang dicat dengan background modern, lampu yang terlihat mahal juga tergantung di atas kasur tempatnya berbaring. Lasmi baru sadar kalau dirinya sudah setengah tel*njang, celananya sudah tidak pada tempatnya, bajunya sudah terbuka, bahkan hampir seluruh tubuh indahnya terlihat, sejenak Lasmi menyempatkan melirik jam dinding yang kebetulan terpampang di samping lemari besar, waktu menunjukan pukul 10.00 pagi. Dia sama sekali tak tahu apa yang terjadi, kenapa tiba-tiba dia bisa ada disana dengan keadaan tel*njang. Yang dia ingat hanya sosok lelaki berkaos polo itu. Sadar akan kondisinya yang seperti habis memuaskan hasrat lelaki itu, Lasmi segera menuju lemari untuk mencari sembarang kain, atau bahkan berharap menemukan baju wanita di dalamnya.
Dia terkejut, lemari itu penuh dengan baju wanita, bak sudah disiapkan oleh pemiliknya. Lasmi tak sempat memikirkan itu, dia segera mengambil, celana, baju, dan segala keperluan untuk menutupi tubuhnya itu. Lasmi terburu-buru masuk ke kamar mandi yang sudah ada di dalam kamar itu, dia langsung masuk saja, kebetulan tak ada orang di dalamnya. Kamar itu cukup luas, bisa dibilang hampir sama dengan kamar-kamar yang ada di hotel-hotel mewah di kota, kasurnya empuk, ada kamar mandi, lemari besar, lampu mewah, bahkan televisi pun ada. Sulit dipercaya kalau ternyata kamar itu adalah isi dari gedung yang pintunya di gang sempit tadi. Selang lima belas menit, Lasmi keluar sudah berpakaian rapi. Dia mulai memberanikan diri untuk mengintip keluar kamar. Pintunya agak sulit dibuka, tapi Lasmi berhasil membukanya. Dilihatnya orang-orang sedang berkumpul, ada yang muda, ada pula yang tua. Semua sibuk dengan urusan mereka masing-masing, tempat itu tak gubahnya seperti Caffe tempat Lasmi bekerja.
Lasmi mengintip dari dalam kamar, dia kaget melihat Pak Heru ada diantara para pemabuk itu, sepertinya dia juga sudah memesan segelas bir besar. Lasmi pun heran, tempat seperti ini buka di pagi hari, memang ada Caffe yang buka pagi hingga malam, serupa Caffe tempat dia bekerja, tapi itu di kota. Dia juga tak tahu, ada tempat seperti ini di sekitar tempat tinggalnya. Sedang asik-asiknya mengintip, sosok lelaki yang seperti semalam datang dan hendak menuju kamar itu. Lasmi segera masuk ke kamar mandi, entah untuk apa. Lelaki itu masuk ke dalam, dan Lasmi pun keluar dari kamar mandi. “Loh, kamu sudah bangun, kamu tidur lama sekali, perkenalkan namaku Rey,” lelaki itu mulai mengawali pembicaraan dengan menyodorkan tangannya. Lasmi terkejut, dan hampir saja teriak. “Ushh.. diam jangan teriak-teriak, nanti aku disangka yang tidak-tidak oleh orang diluar sana!” lelaki itu menyela teriakan Lasmi, dengan menutup mulutnya. “Namaku Lasmi,” dengan pelan Lasmi menjawabnya. “Oh..”, jawaban singkat dari Rey, dan meninggalkan Lasmi begitu saja.
Rey keluar kamar untuk menemui seseorang. Lasmi tak mau ketinggalan, dia melanjutkan mengintip dari kamar. Lasmi terkejut melihat Pak Heru lah yang ditemui Rey. Keduanya seperti sedang bercakap-cakap sesuatu, tapi tak terdengar oleh Lasmi karena riuhnya suasana tempat itu. Tak lama, Lasmi terkejut melihat Rey dan Pak Heru berjabat tangan. Sepertinya dua lelaki itu tengah menyepakati sesuatu, namun tak diketahui Lasmi. Tak tahan dengan rasa penasarannya, Lasmi memutuskan untuk menghampirinya. Baru membuka pintu kamar secara lebar, Pak Heru rupanya sudah mengetahui keadaan Lasmi disini. “Mau kemana? Jangan keluar dari tempat ini, kalau kamu nekat keluar, tahu sendiri kan tetangga-tetanggamu itu? Pasti kamu akau dikeroyok warga, karena tahu kalau kamu semalaman tak ada di rumah,” tiba-tiba saja Pak Heru menoleh ke arahnya, sedikit berkata lantang. Mendengar apa yang diungkapkan Pak Heru, Lasmi kembali terdiam, dia sesungguhnya muak dengan tempat ini dan ingin segera masuk ke rumahnya, namun disisi lain, kalau warga tahu dia semalaman belum pulang, nanti dituduh macam-macam. Terpaksa Lasmi harus menetap disini untuk sementara.
Lasmi kembali masuk ke kamar itu lagi, dia terbengong, bingung bak makan buah simalakama. Tapi apa boleh buat, yang sanggup dia lakukan sekarang hanya pasrah dan bersabar. Sementara itu, warga gang tempat tinggal Lasmi sudah banyak orang berkumpul di depan rumahnya. Para warga seperti gerombolan aksi demo, menunggu Lasmi yang belum juga keluar. Mak Ijom juga ada ditengah-tengah mereka, teriakannya terdengar hingga tempat Lasmi berdiam saat ini, karena kebetulan jaraknya dekat. “Lasmi! Keluar Kamu! Jangan berbuat m*sum!” Teriakan warga di depan rumah Lasmi. “Siapa lagi yang kamu ajak kencan semalaman?!” Mak Ijom ikut berteriak. Tak ada jawaban dari dalam. Pak Heru pun tak kunjung datang, karena memang dia sedang berada di tempat yang sama dengan Lasmi.
Hari sudah mulai petang, petang pun berganti malam. Belum terlihat tanda-tanda aktor pemuas hasrat itu masuk kedalam kamar. Hingga pukul 22.00 malam, seorang pria berbadan kekar mengetuk pintu, kali ini Lasmi kaget, dia bukan Rey ataupun Pak Heru. Seseorang yang belum dia temui sebelumnya masuk ke kamar. Tidak ada perlakuan s*ks yang mencurigakan dari pria kekar itu, dia hanya mengajak Lasmi ke suatu tempat, tanpa kekerasan sedikit pun. Lasmi pun manut saja, dia ingin meronta sebenarnya, menolak dengan keras ajakan itu, tapi yang terjadi dia tak sanggup melakukannya. Lasmi pun hanya bisa pasrah. Sungguh terkejut, sekaligus tak menyangka, Lasmi diajak ke sebuah tempat makan mewah, ada Rey dan ketiga temannya disana, nampaknya mengajak makan malam bersama. Lasmi masih bingung, pikiran negatif yang selalu muncul dibenaknya seolah sirna, bahkan kejadian malam kemarin sejenak dilupakannya. Lasmi, Rey, dan ketiga teman Rey pun makan malam bersama.
Seusai makan malam, Rey dan teman-temannya mengajak Lasmi ikut dengan mereka. Memang disana tak ada tumpangan lain selain mobil Rey. Pria kekar yang tadi mengantar Lesmi juga tak terlihat. Lasmi agak bingung, sepintas dia kembali teringat kejadian malam kemarin, tapi setelah dia ingat itu, dia melihat kedua teman Rey yang lain seorang perempuan, jadi dalam benak Lasmi mungkin kejadian itu tak terjadi lagi. Tanpa basa-basi, Lasmi ikut dengan Rey bersama ketiga temannya. Dalam perjalanan di mobil, tanpa sadar, Lasmi tertidur pulas, entah apa sebabnya, mungkinkah ngantuk? Tapi tak ada yang tahu sebabnya, Lasmi sendiri pun tak sadar kalau dirinya terlelap di mobil Rey.
Tak disangka, Lasmi diantarkan ke sebuah tempat, nampak mewah tempat itu, seperti hotel, namun karena letaknya cukup jauh dari pusat kota, terlihat agak menyeramkan. Sesampainya disana, Lasmi belum juga bangun, kedua teman perempuan Rey tadi izin pamit pulang, mungkin rumahnya dekat sini. Lasmi dibopong, dibawa masuk ke sebuah kamar yang sama mewahnya dengan tempat sebelumnya, namun ini seperti milik pribadi. Sosok lelaki dengan kemeja putih sudah menunggu di dalam, Lasmi yang belum tersadar langsung dilemparkan ke kasur begitu saja oleh Rey. Rey meninggalkan Lasmi dengan lelaki itu berduaan di kamar.
Lelaki kemeja putih langsung melepas kemejanya, Lasmi belum juga tersadar. Lelaki itu langsung menel*njangi Lasmi yang tengah tak sadarkan diri, dan dengan terpaksa kejadian memuakkan itu terjadi lagi. Esoknya, pukul 08.00 pagi, Lasmi masih belum terbangun, mungkin tengah malam tadi dia sudah terbagun dan menikmati nafsu dengan lelaki itu, tapi dengan kondisi setengah sadar, kemungkinan lelaki itu memberinya minuman penidur lagi.
Rey datang menjemput Lasmi, tak tahu mau dibawa kemana lagi dia. Lelaki itu dengan cepat memasukkan Lasmi yang masih pulas ke dalam mobil Rey dan segera berangkat. Lasmi dibawa ke suatu tempat yang sangat jauh, jauh dari kota dan tempat kontrakannya, tempat itu nampak terpencil. Rey sudah menyiapkan tempat, gubuk sederhana yang agak sulit terjamah oleh warga sekitarnya, sekira seratus meter dari perkampungan dekat sini. Lasmi perlahan sadar dan terbangun, dia mendengar dan sempat melihat dua orang yang meninggalkannya, yang satu Rey dan lelaki itu, ya Lasmi merasa sudah pernah melihat lelaki itu, tapi dia hanya terdiam dan pura-pura tidak tau. Secepatnya, Rey dan lelaki itu meninggalkan Lasmi sendirian di gubuk itu dengan memakai beberapa helai kain saja.
Cerpen Karangan: Muhammad Arsyad Facebook: Arsyad Moeslimsejati’s TTL: Pekalongan, 9 Mei 1998 Hobi: Main Game Pekerjaan: Mahasiswa Sekarang nggak sibuk apa-apa selain kuliah