Segelas kopi hitam tersaji di atas meja Makan. Rasanya pahit, toples gulanya malam ini sudah terkikis sampai ke dasarnya. Sebenarnya aku ini siapa? Tamu atau bagian darimu? Aku menghela napas. Rasanya seperti tidak ada lagi sisa oksigen dalam kamar itu. Mungkin semuanya sudah berkemas. Bermigrasi ke ruang tamu dan menepi menghabiskan waktu di temani layar handphonenya yang lebih menarik dari pada mengobrol denganku.
Orang bilang aku mungkin depresi. Tatapan mataku mulai kosong, wajahku sendu, perasaanku tidak menentu. Aku menolak itu, meski terkadang aku meng-iyakan. Saat itu aku lebih berharap seketika ‘lenyap’ tanpa jejak. Saat menangis meringkuk di ujung ruang tidak menyelesaikan semuanya. Alih-alih ditanya sarapan, saat ini aku lebih suka ditanya, “kamu kenapa?”
Nyatanya, tidak ada yang seperti itu. Tidak ada yang mengusap air mataku. Tidak ada yang menggenggam tanganku walau sekedar menguatkan. Tidak pula memeluk tubuhku untuk menenangkan. Kita terlalu sibuk dengan masalah masing-masing.
Sejenak aku terdiam, terpaku mendengar langit yang tak henti-hentinya merintik. Seakan tak ada jeda bagiku sedikitpun untuk bernapas, relung-relung dadaku penuh sesak, jantungku berdetak tak beraturan. Aku menutup mataku, berharap segala yang tak kuinginkan hanya mimpi saja. Tak perlu lagi ada tangisan kutahan, tak ada lagi sesegukan yang harus kututupi dengan ujung-ujung selimutku, dan tak perlu ada lagi gerakan bodoh yang harus kulakukan untuk menutupi segala derita dengan menarik sudut-sudut bibirku. Sudah terlalu lama aku menderita, cukup bagiku. Semua orang mengira aku memiliki banyak teman, aku memiliki bakat yang aku banggakan, dan aku dianugerahi kecerdasan dari-Nya. Namun sering kali pikiran-pikiran tak jelas merasuki indra-indraku. Membuat lidahku kelu dan badanku dingin. Kegelisahan sudah menjadi sahabat baikku, dan rasa sakit sudah menjadi bayanganku. Sepi, gelap, angin dan hujan sudah menjadi bagian dalam hidupku.
Wahai masa-masa indah, dimanakah engkau? Tak kah kau lihat kantung mata yang mulai membengkak? tak bisakah kau menebak melalui sikap-sikapku? tak bisakah kau lihat kedalam isi hatiku? atau mungkinkah aku terlalu pandai bersandiwara?. Ingin sekali aku tertawa, tertawa melihat diriku sendiri. Ketika aku melihat kedalam kejujuran, yang terlihat hanyalah ego seorang anak perempuan, menangis dalam penyesalan. Ia bernyanyi pada dunia, namun dunia seakan berjalan terlalu cepat untuk mendengar jerit kesakitannya seorang insan manusia. Dunia seakan terlalu besar untuk seorang anak perempuan tak berbekal apapun.
Aku ingin sekali tertawa lepas, meski air mataku mengalir di pipi. Aku harus segera sadar dan bangkit lagi bukan?. Setiap malam aku menuliskan bait-bait kesedihan, yang mungkin terlihat biasa dan tak berarti. Setiap malam aku berdoa, meminta kekuatan untuk melalui hari demi hari. Setiap malam pula aku bersembunyi, aku takut bila Yang Kuasa datang dan menghukumku.
Kembali aku menatap langit, air mata mengucur deras di pipiku kemudian tertawa. Berapa lama lagi? Berapa lama lagi yang ku perlu untuk menangisi ini? Akankah aku pergi ke tempat penghukuman secepat ini? Ah, biarlah. Biar kunikmati segala kesakitan yang memang layak kutanggung entah karena dosaku atau ego ku, aku tak peduli.
“Hei.. Bentang sajadahmu, bawa sujud tangismu. Maka pertolongan akan datang padamu” Ucapnya melalui mimpiku Aku tersenyum, lalu ku tinggalkan ruang gelapku.
Hening.
Cerpen Karangan: Oktaviani Facebook: Oktaviani Ig: oktaviani_ar If you can’t be intrlligent, be a good person October 24, 1995 Bengkulu, Indonesia