Sudah dua tahun lalu sejak kematian perempuan suci yang menempati rumah di ujung gang buntu itu. Itu bukan rumah mewah dengan fasilitas lengkap, hanya sepetak tanah yang di atasnya berdiri bilik kecil yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Setiap angin badai berembus, rumah itu seakan terangkat dari tempatnya mengakar.
Di rumah yang kini kosong, pakaian perempuan dan beberapa alat sembahyang berserakan di lantai yang masih tanah. Tidak seorang pun yang berani masuk selain melihat dari celah dinding yang berlubang, walau mereka tahu rumah itu bukanlah tempat di mana sering terjadi hal menyeramkan.
Di pekarangan depan, tumbuh subur ilalang yang menutup jalan setapak menuju pintu utama. Di sampingnya, sebuah pohon mangga berdiri kokoh yang setiap musimnya selalu berbuah lebat. Tapi tetap saja, mangga masak itu selalu jatuh dari tangkainya dan kembali membusuk di tanah.
Yang ada di pikiranku adalah mengapa penduduk tidak mau membersihkan pekarangan rumah itu? Atau setidaknya, kalau mereka tidak mau melakukannya, robohkan saja rumah itu. Toh pemiliknya sudah meninggal. Dari pada harus terlihat tidak terawat dan menyeramkan.
Beberapa tetangga terdekat tidak mau menceritakan sebabnya, mereka terlalu takut ada hal buruk yang terjadi jika ada yang tahu tentang perempuan itu. Setelah beberapa kali aku memelas, seorang Kiai yang rumahnya di mulut gang mau menceritakan apa yang terjadi. Sebelumnya, Kiai itu memintaku untuk menutup mulut.
“Saya akan ceritakan semuanya, tapi apa kau sanggup menutup mulut setelah saya ceritakan?” Tanpa berpikir dua kali, aku menyanggupinya.
Kembali ke dua tahun lalu sebelum perempuan itu meninggal. Hari itu Sabtu sore hujan turun deras disertai kilat yang menyambar-nyambar. Perempuan itu duduk, menghitung hasil jerih payahnya membersihkan ladang jagung milik tetangga. Setelah memasukkannya kembali ke dompet, perempuan itu mengangkat telapak tangannya tinggi-tinggi. “Ya Allah, segala puji bagi Engkau Tuhan semesta alam. Hamba bersyukur atas rejeki yang Engkau berikan hari ini. Limpahkanlah nikmat-Mu sesuai janji-Mu. Aamiin Ya Rabbal Alamin.”
Sementara itu, air yang berhasil masuk melalui celah atap membasahi lantai tanah rumahnya. Seperti biasa, perempuan itu hanya membiarkan lantai rumah tergenang oleh air. Lagi pula, ia tidak memiliki harta benda apa pun untuk menampung tetesan air langit itu.
Kata Kiai itu, perempuan itu sepenuhnya menyerahkan kehidupannya kepada Gusti Allah. Ia menjauhkan diri dari kenikmatan dunia. Harta perempuan yang dimiliki perempuan itu hanya beberapa potong pakaian dan seperangkat alat ibadah yang jahitannya mulai longgar di sana sini.
“Kalau perempuan itu orang suci, lalu mengapa penduduk sekitar tidak mau membersihkan pekarangan almarhumah, pak Kiai?” tanyaku. Kiai itu menarik napas dalam-dalam sebelum mengembuskannya perlahan. Setelah menyeruput kopi yang sudah disiapkan istrinya, ia kembali menceritakan sambil mengingat potongan-potongan kejadian yang tidak seharusnya diingat.
Menjelang malam selepas sholat Isya, perempuan itu merebahkan dirinya di dipan beralaskan tikar dan bantal yang terbuat dari goni. Hari ini cukup melelahkan karena banyaknya belukar yang harus ia bersihkan. Baru saja matanya terpejam, sebuah suara mengusik istirahatnya.
Tok… tok… tok!! Tiga ketukan cepat terdengar nyaring masuk ke telinganya. Ia segera bangkit ke arah pintu anyaman bambu dan membukanya. Bola matanya membulat sempurna melihat sosok di balik pintu yang ia buka. Seorang laki-laki tidak lebih tua darinya merapatkan tangan di depan dada. Seluruh tubuhnya basah kuyup tersiram hujan yang tidak menunjukkan tanda akan berhenti sedari sore. Sekilas, umur mereka tidak terpaut jauh. Kiai itu bilang, perempuan itu masih muda dan berparas cantik. Ditambah dengan pembawaannya yang sopan dan lemah lembut, membuat laki-laki seusianya jatuh cinta. Penduduk sekitar sering menyebutnya kembang desa tersembunyi. Bagaimana tidak, perempuan seperti ia seharusnya hidup di kota dengan kemewahan sedangkan ia harus hidup sebatang kara di desa dengan penuh kekurangan.
“Siapa kau? Dan ada keperluan apa kemari?” “Aku hanya laki-laki yang menghindari hujan dan memerlukan bantuan. Apa kau memiliki beberapa potong pakaian hangat untukku?” “Aku seorang perempuan, tentu aku tidak memiliki pakaian untukmu. Sekarang pergilah! Aku tidak ingin mendengar kabar buruk kalau sampai ada laki-laki di rumahku,” ucap perempuan itu kemudian menutup pintunya.
Belum sempat ia melangkah, ketukan itu kembali terdengar. Kali ini lebih pelan dan lambat dari sebelumnya. Pikirannya campur aduk, ia harus memilih antara membukakan pintu atau membiarkan laki-laki itu kedinginan. Setelah cukup lama berdebat dengan dirinya sendiri, ia memutuskan untuk membuka pintu.
Laki-laki itu tersenyum sambil masih menahan dinginnya udara. “Kau perempuan baik, terima kasih.” “Tidak! Aku tidak mengatakan kau boleh masuk, tunggulah sebentar, aku akan mengambilkan sepotong pakaian untukmu.” Tidak seberapa lama perempuan itu kembali. “Ini pakaian untukmu! Segeralah berganti pakaian!” Perempuan itu kembali menutup pintu, membiarkan laki-laki itu tetap berada di luar rumahnya. Ia benar-benar takut kalau timbul fitnah yang membuatnya buruk di penduduk sekitar. Apalagi, hanya ada mereka berdua malam ini.
Esoknya, pagi sebelum matahari merangkak naik, perempuan itu bangun untuk menunaikan sholat subuh. Seperti biasa, setelahnya perempuan itu selalu membersihkan pekarang rumahnya sebelum berangkat ke ladang untuk bekerja. Baru saja pintu dibuka, betapa terkejutnya ia melihat laki-laki itu tidur di depan pintunya. Dengan takut-takut, ia mengambil sapu lidi untuk membangunkan laki-laki itu. “Hei, bangun! Segeralah pergi sebelum penduduk melihat keberadaanmu.” “Biarkan matahari menghangatkanku dulu, ini masih terlalu dingin untukku yang menggigil,” ucap laki-laki itu memelas. “Tidak! Pergilah sekarang!”
Tapi diam-diam, dibalik dinding yang membatasi pekarangan rumahnya dan milik tetangga, seseorang mengintip, memperhatikan apa yang sedang mereka berdua perdebatkan. Tanpa pikir panjang, orang itu berbalik pergi untuk mengumpulkan penduduk sekitar sebelum sempat perempuan itu mengusir laki-laki itu.
Kiai itu berhenti cukup lama, ia terlihat berat untuk meceritakan apa yang terjadi pada perempuan itu. Karena tidak sabar, aku melemparkan pertanyaan untuk memancing pak Kiai segera melanjutkan ceritanya. “Apa yang terjadi setelahnya pak Kiai?”
Dari kejauhan, samar terdengar kegaduhan yang semakin jelas terdengar. Perempuan itu mengalihkan pandangan dari laki-laki yang saat ini berdiri berhadapan dengannya. Sekarang, tepat di depan matanya, puluhan penduduk menyorakinya dengan kata-kata yang tak mewakili perikemanusiaan. “Dasar pelacur!!” “Wanita murahan!!!” “Wanita penggoda!!” “Neraka adalah tempatmu!!” Sahut-sahutan yang dilontarkan penduduk dan lemparan batu yang diarahkan ke padanya benar-benar mengiris hatinya. Air mata mengalir deras membasahi pipinya. Ia tak kuasa menahan rasa sakit karena ucapan penduduk. Tapi tidak ada yang bisa ia lakukan, tidak ada yang bisa membantah apa yang mereka lihat.
Sahutan mereka berhenti saat seseorang melangkah maju untuk meredam amarah. Seseorang yang akrab dipanggil bu Surti itu membuka dialog jarak jauh. “Marwah! Kami kira kau perempuan suci yang tidak bermain dengan laki-laki. Tapi yang baru saja kami lihat benar-benar memalukan. Siapa laki-laki yang selama ini kau sembunyikan itu?” Dengan suara seraknya, Marwah, perempuan itu membuka suara. “Sumpah demi Allah, aku bahkan baru bertemu dengannya malam tadi ketika ia meminta sepotong pakaian karena yang ia kenakan basah kuyup.” “Bohong!” teriak seseorang yang diikuti lainnya.
Keadaan kembali tidak kondusif, untuk kedua kalinya sahut-sahutan kata yang memaki dirinya semakin keras. Bu Surti mencoba untuk menenangkan penduduk yang marah karena menganggap ucapan Marwah adalah bualan semata. “Lalu mengapa laki-laki itu memilih rumahmu untuk berteduh, sedangkan rumahmu di ujung gang buntu ini? Bukankah terdapat pos di mulut gang yang bisa digunakan untuk berteduh.” Marwah tidak mau kalah dan disalahkan untuk sesuatu yang tidak sepenuhnya kesalahannya. Ia beralih ke laki-laki yang terus diam menunduk. “Kau!” ucap Marwah mengacungkan telunjuknya. “Jelaskan pada mereka semua dari mana asalmu dan mengapa memilih rumahku! Aku tidak mau menanggung akibat kehadiranmu yang tidak aku inginkan.” Tapi sayang, laki-laki itu tidak mau mengeluarkan suara sama sekali. Keadaan ini semakin membuat Marwah terpojok. Berbagai pertanyaan semakin banyak di lontarkan ke Marwah yang bahkan tidak bisa mendengar jelas tiap-tiap pertanyaan. Tangannya mengepal kuat-kuat menahan amarah yang tidak bisa ia lampiaskan.
“Alasan apa lagi yang kau punya Marwah untuk mempertahankan laki-laki simpananmu itu?” ucap seseorang di kerumunan. “Karena kau tidak bisa menjelaskan siapa laki-laki itu, ikut kami ke rumah pak Kiai untuk memutuskan hukuman apa yang pantas untukmu.”
Dengan paksa, kerumunan penduduk itu menyeret mereka berdua ke rumah pak Kiai di mulut gang. Dua orang itu tidak berkutik bahkan ketika mereka diperlakukan sangat tidak manusiawi selama di jalan. Bagaimana mereka diseret bahkan sempat dipukuli sampai darah segar mengalir deras dari pelipis Marwah.
Kiai itu terus menceritakan setiap detail kejadian yang terjadi dua tahun lalu. Matanya berkaca-kaca mengingat bagaimana jiwa kemanusiaan penduduk hilang dilahap amarahnya. Mereka bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi malam itu, yang mereka tahu hanya dua orang itu melakukan hal terlarang.
“Lalu, apa yang pak Kiai lakukan saat itu? Apakah pak Kiai sebelumnya sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi?” “Tidak, saya tidak tahu, tapi saya yakin Marwah bukanlah perempuan seperti itu.” ucap pak Kiai dengan napas berat.
Sebuah plester menempel di pelipis Marwah setelah istri pak Kiai mengobati lukanya. Di teras rumah pak Kiai hanya ada bu Surti, Marwah, laki-laki itu, dan pak Kiai yang menjadi perantara. Suasana hening sejenak sebelum pak Kiai membuka pembicaraan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
“Apa yang sebenarnya terjadi pada mereka bu Surti?” tanya pak Kiai. “Jadi begini lho pak, tadi pagi ada salah satu warga yang mendapati mereka berdua di depan rumah Marwah. Marwah memberi alasan kalau laki-laki itu berteduh di rumahnya karena hujan semalam. Tapi, logikanya pak Kiai, kenapa harus rumahnya Marwah yang di ujung gang, sedangkan ada pos di mulut gang. Gitu pak Kiai.” Pak Kiai mengangguk mendengar penjelasan bu Surti. “Nduk, apa kau kenal laki-laki ini?” “Sumpah demi Allah pak Kiai, saya benar-benar tidak tahu dia siapa. Semalam dia hanya berteduh dan meminta sepotong pakaian untuk menggantikan pakainnya yang basah, pak Kiai.” “Nak, apa benar yang diceritakan Marwah kalau kau cuma berteduh?” Laki-laki itu cuma mengangguk mengiyakan pertanyaan pak Kiai. Marwah menahan amarahnya karena sampai tadi pagi laki-laki itu masih bisa berbicara, tapi mengapa sekarang tidak mau membuka mulut.
“Tapi pak Kiai, apa yang mereka lakukan itu sudah melanggar norma-norma. Sepantasnya mereka mendapat akibat dari apa yang mereka lakukan.” “Saya tidak bisa memberi mereka hukuman. Kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka dan kalian hanya melihatnya. Ada baiknya, kita pulangkan laki-laki ini ke tempat asalnya dan jangan kucilkan Marwah. Kita semua tahu bukan kalau Marwah adalah perempuan baik-baik.” Bu Surti diam tidak merespon, dalam hatinya menyetujui ucapan pak Kiai. Ia juga tahu kalau Marwah memang bukan perempuan seperti itu. “Baiklah pak Kiai, saya akan jelaskan pada warga kalau ini hanya salah paham saja. Kalau begitu, saya pamit.” “Tidak apa-apa, nduk, semua cuma salah paham. Yang sabar ya, nduk.”
Malam harinya ketika Marwah pulang, ia mendapati rumahnya berantakan. Pakaian yang ia miliki dan alat sembahyangnya berantakan di lantai. Baru saja ia berjongkok memungut pakaiannya, seseorang menikamnya dengan pisau tajam. Darah mengalir deras dari punggungnya. Marwah tersungkur memeluk kitabnya. Perlahan, pandangannya semakin buram. Ia kesulitan bernapas untuk beberapa saat sebelum akhirnya hanya ada kegelapan. Marwah meninggal.
“Siapa pembunuh Marwah, pak Kiai? Apa alasannya membunuh perempuan sebaik Marwah?” “Pembunuhnya adalah perempuan yang tidak suka melihat Marwah bebas dari hukuman. Dia merasa Marwah harus mendapat hukuman atas apa yang sudah mereka perbuat malam itu.”
Pak Kiai menceritakannya dengan air mata yang mengalir membasahi pipi. Ia tidak sanggup untuk meneruskan ceritanya. Tapi dengan sangat memelas, aku terus meminat pak Kiai melanjutkan ceritanya supaya tidak menimbulkan spekulasi yang jauh dari kenyataan di dalam pikiranku.
“Pembunuhnya bu Surti. Pagi itu bu Surti memang mengiyakan ucapan saya, tapi di belakang ternyata masih menyimpan dendam. Saya menyesal, kalau saja saya memberikan hukuman, mungkin Marwah masih hidup.” Sekarang semua sudah jelas, siapa pembunuh Marwah dan alasan pembunuhannya. Pak Kiai memangis tersedu menceritakan kejadian dua tahun lalu yang menimpa perempuan bernama Marwah itu. Ia menganggap kematian Marwah karena kesalahannya.
“Sudahlah pak, bukan sepenuhnya kesalahan pak Kiai. Memang terkadang seseorang mempunyai alasan tersendiri sampai melakukan perbuatan keji seperti itu,” ucapku menenangkan pak Kiai. “Lalu, dengan rumah itu. Mengapa tidak ada yang berani untuk membersihkannya?” “Warga bilang, mereka takut arwah Marwah yang tidak tenang akan menghantui mereka kalau sampai mereka berani menyentuh rumahnya. Biar bagaimana pun, mereka juga merasa bersalah pernah memaki Marwah hari itu.” Marwah, perempuan suci yang difitnah telah berzina dengan seorang laki-laki yang entah muncul dari mana harus menanggung rasa benci dari bu Surti. Dengan keji, pisau tajam itu menancap dalam di punggung Marwah yang menewaskannya. Marwah dimakamkan di tempat yang seharusnya, sedangkan bu Surti terus dihantui perasaan bersalah di dalam penjara.
Cerpen Karangan: Muh Faddlan Blog / Facebook: Muhammad Faddlan Restu Setiawan