Libur akhir semester Icong Pulang ke kampung, membantu Ayah dan Ibunya. Banyak tetangga-tetangganya yang tidak suka dengan kepulangan Icong. Ia orang yang cukup peka dengan keadaan. Namun, ia mengabaikannya dan membalas Ibu-Ibu itu dengan senyum dan menunduk.
Menombak ikan menjadi pekerjaan sehari-hari Ayah Icong. Dalam menombak ikan, kadang beruntung, kadang tidak. Sering juga kaki ayahnya digigit banyak lintah jika menombak di lubuk sungai yang agak dalam, pulang-pulang kaki Ayahnya sudah berdarah karena lintah-lintah itu kenyang dan melepaskan diri.
“Kenapa Cong?” tanya Ayahnya di hilir sungai. “Digigit Lintah yah,” ringis Icong. “Ya sudah, pindah kesini jangan kau menombak di air yang tenang itu,” ujar Ayah. Icong pindah menombak ke dekat Ayahnya. Kelincahan dan kecepatan Ayahnya menombak memang tak sebanding dengannya. Dulu kata Ibu, Ayahnya penombak handal di kampung, hasil ikan tombakannya pun sangat banyak kala itu. Bisa-bisa dia sekeluarga, makan di rumah makan yang agak elit hasil uang dari menombak ikan. Namun sekarang, ikan-ikan sulit sekali ditemui, sungai tercemar, dan banyak orang yang menangkap ikan menggunakan racun.
Hari pun sudah sore, ikan yang didapatkan hanya lima ekor saja. Cukup untuk makan malam dan esok pagi. Di perjalanan pulang, melewati ilalang-ilalang tinggi, Icong penasaran dengan tombak yang selalu dipakai Ayahnya. “Ayah, kanapa tombakmu mempunyai motif aneh seperti itu?” sang Ayah menoleh dan tersenyum. “Ini motif bukan sembarangan nak, dan tombak ini adalah tombak turun-temurun dari kakek buyutmu, suatu saat kamu akan mengerti.”
—
Icong makan dengan lahap gulai ikan buatan Ibunya. Kesempatan mana lagi, ketika ia kuliah ia hanya sering memakan indomie di akhir bulan dan yang paling miris jika hanya ada nasi dan garam saja. “Cong, malam nanti Ayah mau menombak ikan, kamu mau ikut?” ucap ayah sambil memilih tombak yang paling bagus. “Ikut yah,” ucap Icong. “Kalau begitu tombak ini untukmu, aku turunkan padamu.” Ayahnya berkata dengan sungguh-sungguh. Icong menerima tombak tersebut, terkesima dengan ukirannya. “Kenapa Ayah berikan ini padaku?” Icong bertanya dengan mata berkaca-kaca. “Yah, siapa lagi yang akan memakainya kalau bukan kau Cong, kau kan anakku satu-satunya,” balas Ayah. Icong sangat senang, sejak kecil ia memang mengangumi tombak tersebut.
Malam hari Icong dan sang Ayah berangkat ke sungai dengan membawa tombak dan senter kening. Mereka manaiki rakit. Mengayuhnya menyusuri area sungai yang berawah-rawah. Dinginnya malam tak menyurutkan semangat Icong untuk menombak. Icong melihat ke arah langit. Bintang-bintang bersinar dengan terang, indah.
“Ayah tahu bintangku apa?” tanya Icong memecah keheningan. “Bintang apa? Bintang kecil?” balas Ayahnya diselingi tawa. “Bukan yah, bukan yang itu. Bintangku itu adalah Bintang kembar atau Gemini, katanya aku orang yang pintar,” ucap Icong tertawa. “Ada-ada saja kau Cong, kau itu pintar karena aku sekolahkan, bukan karena Gemini Geminomu, apalah itu. Kau lihat aku, seumur hidup hanya menjadi Penombak Ikan, tidak bisa membaca dan menulis,” ucap Ayah. Mata Icong berkaca-kaca haru. Ia pun mengetahui fakta itu.
“Aku tahu Cong, mimpimu begitu besar, jangan kau berpikir untuk menjadi seperti aku. Sebagai anak yang dilahirkan di dekat sungai, kau tentu tahu dengan pepatah; berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian Cong,” ucap Ayah “Sampai sekarang prinsip itu masih kuterapkan yah,” gumam Icong dan menyandang tombaknya di bahu. Menikmati suara binatang malam, dan desir sungai yang menenangkan. Memandangi sejenak raut muka ayahnya yang makin keriput.
Ditengah percakapan mereka, Icong merasakan pusing yang amat sangat, matanya berkunang-kunang. Namun ia masih bisa melihat sedikit jika tombak yang diberikan sang Ayah kepadanya bercahaya. Rupa tombak tersebut berubah wujud menjadi seekor naga, dan hal terakhir yang ia lihat Ayahnya sibuk berkomat-kamit mengucapkan mantra.
—
Icong terbangun sendirian di atas rakit ketika kicauan burung pagi hari terdengar. Ia lihat Ayahnya sudah tidak ada. Disampingnya tergeletak tombak pemberian Ayahnya yang telah berdarah. Icong tercengang, ia sungguh tidak mengerti dengan keadaan yang sedang ia alami. “Icong…, segeralah ke sini,” teriak Ibunya sambil menangis meraung-raung. “Buanglah tombak itu Cong, buang!” Ibu Icong semakin menjadi-jadi lantas Icong menyandang tombak tersebut. Icong segera melepasnya. “Kenapa bu? Apa yang terjadi? Dimana Ayah?” deretan pertanyaan yang dilontarkan oleh Icong tidak mampu dijawab oleh sang Ibu yang semakin menangis sejadi-jadinya.
Kemudian datanglah datuk Maparmo yang terkenal sebagai tetua di kampung, lantas ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sudah pergi Ayahmu Cong,” ucap Datuk tersebut. Ia melirik tombak yang diletakkan oleh Icong tadi. Ia membacakan mantra dengan mulutnya yang berkomat-kamit. Cukup lama, sampai-sampai sang datuk berkeringat. Ia melihat ke arah Icong dengan heran. Kemudian mengambil tombak tersebut dan mengusapnya perlahan.
“Ada apa sebenarnya datuk?” desak Icong dengan wajah yang pucat. Sedangkan Ibunya sudah dibawah oleh beberapa warga ke rumah. Wajah datuk Maparmo memerah kemudian ia mendorong Icong ke belakang. “Kau serahkanlah tombak ikan ini kepadaku Cong,” ucap sang datuk. Namun Icong segera mengambil tombaknya dan memegangnya kuat-kuat. “Tombak itu telah membunuh Ayahmu sendiri, roh naga yang ada disana tidak bisa dikendalikan oleh sembarangan orang Cong, Ayahmu telah dimakan oleh naga tersebut.” Sang datuk mendekati Iong pelan-pelan, namun Icong semakin mundur, ia sama sekali tidak mempercayai ucapan sang datuk. “Pembohong! Bilang saja kau mengincar tombak ini dari lama,” teriak Icong kepada datuk Maparmo. Sang datuk menyeringai dengan seram. Sebagai tetua di kampung, datuk Maparmo dikenal sebagai orang yang misterius, dan kesaktiannya pun sudah menjadi buah bibir ke seluruh penjuru kampung.
“Jangan-jangan kau yang telah mengerjai Ayahku, karena kau lah satu-satunya orang di kampung ini yang begitu tertarik dengan tombak ini, tombak turun-temurun keluargaku,” geram Icong sambil mengacungkan tombaknya. Secara otomatis, sang datuk mundur kebelakang. Wajahnya kelabakan, seperti orang yang terciduk akan sesuatu. Ia terdiam lama, kemudian mendekati Icong kembali, kali ini mata datuk terlihat merah.
“Sebelum kau pingsan di atas rakit, apa yang kau lihat Cong?” tanya datuk disertai seringainya. Icong mencoba mengingat-ingat kembali, dan saat ia sadar, Icong terduduk lemah di atas rumput. Semalam ia melihat tombaknya berubah menjadi seekor naga dan Ayahnya yang komat-kamit membaca mantra. Lantas Icong menangis keras dan meraung-raung. Tombak ikan berukiran aneh ini telah memakan Ayahnya.
Sang Datuk menenangkan Icong, dan menyarankan jika tombak itu disimpan olehnya saja. Icong menyetujui hal tersebut dan memberikannya kepada sang datuk dengan berat hati. Padahal itu adalah tombak yang telah diwariskan oleh Ayahnya. Sang datuk tentu saja sangat berbahagia, barang yang selama ini dia incar akhirnya jatuh ditangannya.
Keesokan harinya, warga heboh karena datuk Maparmo ditemukan tidak bernyawa di gubuknya. Disamping datuk terdapat tombak ikan yang berlumuran darah, namun sang datuk tidak terluka sama sekali. Icong yang mengetahui hal tersebut langsung menuju kesana dan mengambil kembali tombaknya untuk dibuang saja.
Pada pagi-pagi yang masih gelap, Icong pergi ke sungai dan melempar tombak ikan tersebut ke dalam air. Ibunya pun telah setuju jika tombak itu dibuang saja. Selama seminggu Icong dan warga kampung berduka kehilangan Ayahnya dan datuk Maparmo.
Icong segera pergi dari kampung karena hari liburnya telah usai, Icong membawa beberapa makanan khas yang dibuatkan oleh Ibunya di dalam sebuah tas. Tidak lupa sebelum itu, Icong kembali ke sungai dan berdo’a untuk Ayahnya. Ibunya melepas kepergian Icong dengan haru, dan mengingatkan Icong untuk melupakan kejadian-kejadian buruk sebelumnya yang menimpa keluarga mereka.
Cerpen Karangan: Reni Putri Yanti Blog / Facebook: callmerenai.blogspot.com / Reni Putri Yanti Penulis adalah seorang mahasiswi. Ia menyukai aroma setelah hujan