Langkah demi langkah dilaluinya, setapak demi setapak. Dengan gadis manis yang di sisinya, Ratna.
Entah sejak kapan mereka menjalin tali kasih, tapi rasanya dia sudah seperti lama sekali mengenal gadis itu. Tangan mungilnya menggelayut lengan Abi dengan manja. Senyumnya selalu membuat luluh hati lelaki itu. Cahaya bulan temaram menerangi jalan mereka.
Gadis itu memperhatikan cincin titanium yang melingkar di jemari lentiknya. Cincin pemberiannya beberapa waktu yang lalu. “Ini untuk sementara, sampai nanti lamaran kita. Aku akan mengganti dengan yang jauh lebih bagus.”
Dan berbeda dengan wanita lain yang mudah merajuk, gadis ini sudah berkaca-kaca melihatnya. Adegan selanjutnya bisa ditebak, mereka saling berpelukan sambil memandang ke langit malam.
Bagi dia yang sudah biasa dengan kesendirian, kehadiran gadis itu seperti oase di tengah kehampaan hatinya yang seperti gurun pasir. Abi hanya tenggelam dalam dunia pekerjaannya, dan melupakan kehidupan sosialnya sampai cahaya itu datang. Sekarang padang pasirnya mendadak berubah menjadi kebun yang penuh dengan bunga. Wajahnya pun sekarang penuh senyum, tidak seperti dulu. Dingin dan kaku.
Sedingin dan segetir hatinya yang terkungkung dalam kesendirian selama puluhan tahun yang lalu. Mulai dari saat seragamnya masih merah putih dan kesukaannya bermain mobil-mobilan.
“Abi, barusan pamanmu telepon. Pulanglah, ibumu kecelakaan dan sekarang sedang dirawat di rumah sakit.” kata ibu guru, wali kelasnya pada suatu waktu di mana hari masih siang. Di tengah jam pelajaran. Dia diantar oleh office boy sekolahnya dengan naik motor, langsung ke rumah sakit. Abi berlari-lari menuju ruangan ibunya… tapi…
“Kak…” suara Ratna menyadarkannya dari lamunan masa lalu. “Apa yang kakak pikirkan?” Dia menatap dengan mata bulatnya yang bening. Bulu matanya lentik di bawah naungan alisnya yang tertata rapi.
Entah kenapa bola mata Ratna yang berwarna coklat muda mengingatkannya pada seseorang, jauh di masa lampau. Dan seperti bola mata Abi juga yang berwarna sama. Jodoh, kata Ratna waktu itu… Sebab jarang orang Asia yang bola matanya berwarna coklat muda seperti dirinya dan Ratna.
“Kakak tiba-tiba terpikir masa lalu kakak, yang tidak ada ayah dan ibu. Berjuang sendirian. Dan walaupun setelah itu diasuh di keluarga paman, tapi kakak tidak tahan. Sepupu kakak jahat. Kakak suka difitnah sama dia.” Abi menggumam dengan suara rendahnya, setengah hati menceritakan kisahnya. Khawatir dianggap terlalu melankolis… dia terdiam sejenak. “Adek beruntung bisa mempunyai ayah ibu lengkap ya… Hormati mereka.” lanjut Abi lagi sambil menatap bunga hatinya dengan mesra. “Nanti ayah ibuku kan jadi orangtua kak Abi juga…” Dia menggelayut lagi semakin erat. Harum rambutnya semerbak bunga dan segar sekali. Lelaki itu tersenyum senang. Teringat lagi akan harum rambut wanita yang sangat dicintainya berpuluh tahun lampau.
“Ibu…” Abi kecil menangis di samping makam yang penuh dengan bunga segar. Air matanya terus menetes, jatuh ke bawah dan meresap di tanah. Semua saudara dan teman yang banyak dia tidak kenal sudah mulai pulang satu persatu. Hidung dan matanya merah bekas air mata. Sudah tidak tahu lagi berapa banyak tamu yang memeluk dan mencium pipinya. Beberapa sekedar memberi kata penghiburan dan yang lain ikut menangis bersamanya.
“Abi, sudah sore. Ayo ke rumah mengambil barang-barangmu… mulai sekarang kamu tinggal bersama paman ya.” Dia mengikuti langkah besar sang paman, menunduk dengan berbagai macam emosi. Ayah Abi sudah menghilang lama sekali, beberapa tahun tidak pulang setelah pamit berlayar ke benua seberang. Ibunya dulu sering terlihat melamun di pinggir jendela. Matanya melayang jauh ke sepanjang pesisir pantai.
“Mana ayahmu?” tanya sepupunya di suatu waktu. Pertanyaan bukan karena penasaran, tapi lebih ke mengejek. Dan Abi tahu itu, maka dia hanya terdiam. “Nggak ada ayah, ngga ada ibu… kasihan deh kamu.” Ejek sepupunya lagi. “Kamu nakal, makanya ditinggal ayahmu.” Dia mulai tertawa-tawa dengan gembira, menikmati setiap rona marah yang mulai keluar dari wajah Abi. Bukannya Abi yang salah, memang sepupunya itu anak yang sangat amat nakal. Tapi selalu dibela oleh mamanya. Apa daya punya paman yang sering pergi pagi dan pulang malam karena kerja? Dan paman selalu percaya dengan perkataan istri dan anaknya.
“Bukkkk!!!” Abi memukul sepupunya dengan telak di pipi sebelah kiri. “Awas kau, anak sial!!” balas sepupunya dengan pukulan balik yang berhasil dielakkan oleh Abi. Lalu terjadilah perkelahian itu, di dalam rumah. Dengan beberapa gelas pecah dan teriakan tantenya dari dapur. Hal itu sudah kali kedua dan ketiga. Sampai berapa kali pun, pasti Abi yang selalu disalahkan dan dihukum.
“Abiiii!!!” bentak pamannya di peristiwa yang kesekian kalinya. Abi terdiam menunduk di kursi pojok. Sementara sepupunya tersenyum diam-diam, selagi tak ada yang melihat.
“Sudah berapa kali kamu memancing keributan? Tantemu bilang kamu pukul Roy lagi?” Paman memandang tajam ke arahnya, dengan alis yang berkerut-kerut. “Tapi paman… Roy yang mulai duluan…” Abi kecil berusaha membela diri. Yang sebenarnya dia tahu kalau percuma. Karena Roy bersifat “tidak terjamah”. Anak tunggal kesayangan paman dan tantenya itu “tidak pernah salah”. “Ayah, dia yang salah. Mama lihat dia pukul duluan loh… Padahal Roy hanya duduk manis di kursi. Nggak ngapa-ngapain…” seloroh tante Rita sambil menikmati teh hangatnya. Manis tutur katanya di depan semua orang, kecuali Abi. Abi sendiri tahu tante Rita tidak menyukai keberadaannya di rumah mereka. Padahal Abi juga tidak pernah mengganggu tante Rita. Dia lebih suka diam di kamar sambil mengenang masa indah bersama ibu tercintanya dulu.
Plakkk!!! Paman menampar muka Abi! “Abi… pergi ke kamar sekarang!! Tidak ada makan malam dan instrospeksi dirimu! Paman lelah setiap hari begini terus… Paman itu pergi pagi dan pulang malam, bukan main-main loh! Kamu jadi anak jangan bandel!!” seru pamannya dengan suara menggelegar.
Abi kecil terperangah menatap pamannya. Sakit pipinya tidak berarti apa-apa dengan nyeri di hatinya. Siapa lagi yang bisa dia percaya? Dia beranjak dari tempat duduknya, lalu segera mengunci diri di kamar kecil yang terletak di pojokan.
“Dasar anak bandel… makanya pa, jangan terima dia di rumah ini. Jadi kacau sekarang kan…” Abi mendengar suara percakapan sayup-sayup dari ruang tamu. Suara om dan tantenya. “Habis bagaimana ma… satu-satunya saudara Siti hanya aku. Kami hanya dua bersaudara… di mana lagi anak itu harus tinggal?” “Aduh… itu kan bukan urusan kita pa. Bisa kan dititip di panti asuhan atau entah apalah…”
Abi terduduk diam di lantai… mau tinggal di mana pun sudah bukan masalah untuknya. Sebab ayah ibunya memang sudah tak ada lagi di muka bumi ini. Mereka sudah pergi meninggalkan dirinya untuk selamanya. Abi kecil yang selalu bisa memeluk ibunya di kala malam hari menjelang tidur, sekarang sendirian.
“Kakak? Aduhhhh melamun lagi!!” sentakan halus di pipinya menyadarkan Abi dari kilasan masa lalunya yang super singkat. Ratna mencubit pipinya dengan gemas, “Jangan sering melamun…” “Iya sayang…” Abi mengelus-elus rambut bunga hatinya itu dengan mesra. “Kakak lagi mengingat masa kecil kakak, soalnya lihat anak-anak di jalanan itu. Kakak akhirnya kan lari dari rumah paman kakak dulu. Soalnya mereka jahat sama kakak.” “Tapi kakak nggak menyesal dan nggak dendam, karena kakak tumbuh menjadi orang yang tangguh sekarang.” Langkah mereka seakan tanpa ujung. Menuju sebuah restoran yang tampak menyolok dengan kampu-lampunya di sudut restoran.
Bunyi handphone berdering, melantunkan lagu yang melankolis. “Iya ayah? Iya… aku sudah hampir sampai kok. Kami jalan kaki soalnya tanggung, udah deket dari tempat kerja pacarku, ayah… Iya iya, hahahahahhhh… ayah bisa aja…” Ratna mulai berceloteh sambil tertawa- tawa dengan ayahnya. Abi tersenyum simpul mendengarnya. Ada sedikit rasa khawatir juga bertemu dengan calon mertua. Ups? Calon mertua? Tunangan saja belum.
Apa dia bisa menerima lelaki seperti ini mendampingi anaknya? Kalau dari bebet dan bobot, Abi cukup percaya diri dengan penampilan dan karirnya. Usaha bengkelnya sekarang sudah berkembang pesat, yang bahkan dia bisa menyicil rumah untuk masa depannya nanti bersama anak istrinya kelak. Tabungannya pun sudah lebih dari cukup untuk biaya pernikahan.
“Kakak gugup?” Ratna menatap sekali lagi dengan mata bulatnya. Abi menggelengkan kepalanya. “Nggak lah, masak kakak gugup mau ketemu ayah kamu.” Ratna menatapnya lagi dengan penuh selidik.
“Okelah aku sedikit gugup.” Abi merapikan kerah dan bajunya sebelum melangkah masuk ke restoran. Lampu-lampu di taman terlihat kontras dengan gelapnya malam. Sama seperti waktu itu, kala tangannya menggenggam gadis lain. Cinta pertamanya di kala dia masih dalam perjuangan. Rembulan yang menerangi kegelapan malamnya.
“Abi… aku minta hubungan kita berakhir sampai di sini saja.” Rembulan itu memalingkan wajahnya. Abi menatapnya dengan putus asa. Hening sejenak… “Aku masih mencintaimu, aku tidak mau sampai di sini saja. Apa alasannya?… Kenapa?” “Ayah dan ibu menentang kita. Katanya jangan berhubungan dengan lelaki yang berlatarbelakang tidak jelas.” Rembulan itu menatap matanya dengan sedih, lalu dia berlalu dengan cepat. Menyisakan keheningan malam yang gelap dan pekat. “Selamat tinggal, Abi…”
Memori masa lalu yang melekat erat di ingatan Abi. Dia menatap ke pintu kaca restoran yang memantulkan bayangan dirinya dan Ratna. Sekarang dia sudah menjadi sosok yang berbeda. Celana kumel dan kaus oblong itu sudah berganti dengan kemeja dan celana yang sudah disetrika licin. Keluaran desainer ternama. Rambutnya yang dulu panjang awut-awutan sudah dipangkas pendek, walaupun memang kumis dan janggut masih dipertahankan olehnya. Biar tetap sangar di depan anak buah, alasan Abi.
Kalau memang sekarang sudah berbeda kenapa masih terasa khawatir ya? Dia melangkah ke dalam restoran bersama sang pujaan hatinya. Langkahnya terasa pelan dan tiap detik terasa berjalan lambat sembari Ratna terus berceloteh, sambil bersenandung riang. Gadis manis yang polos itu tidak tahu tentang kesulitan hidup. Dunianya hanya berbalutkan dengan warna warni pelangi nan mempesona. Tapi mungkin itulah yang membuat hati Abi tertambat.
“Nah, itu ayah…” Ratna menarik-narik lengan Abi ke ujung restoran. Sesosok pria berambut hitam keabu-abuan tampak duduk membelakangi mereka. Di samping pria itu, tampak sang pelayan berdasi kupu kupu sedang mencatat pesanan makanannya.
“Halo ayahhhhh…!” Ratna terus menggandeng tangan Abi, sambil mendekati meja itu. Abi mengikuti langkah Ratna dengan perlahan. “Selamat malam, om…” Matanya dan mata bapak tua itu berpandangan. Bola mata yang sama. Coklat muda… Wajah dengan rahang muka yang kokoh, persis seperti dirinya. Hidung yang mancung sama seperti dirinya. Kulit yang putih, dan tahi lalat di bawah mata sebelah kiri.
“Kak Abi… ini ayahku. Ganteng kan? Sama seperti kakak. Ayah, ini pacarku Abi yang sering kuceritakan ke ayah. Nama lengkapnya Abimanyu…” Ratna terus berceloteh dengan riangnya.
Kilatan masa lalu berkelebat. Semakin terpampang nyata dan jelas di depan matanya. Wajah yang tidak pernah berubah, perawakan pun tetap gagah sedari dulu sampai sekarang. Hanya rambut yang memutih dan sedikit kerutan di bawah mata. Abimanyu terperangah… sama seperti bapak tua itu. Maka tahulah dia, dari mana warna mata coklat muda itu berasal.
Cerpen Karangan: Laura MTP Blog / Facebook: laurapohan.blogspot.co.id / Laura Pohan Laura MTP, penulis kelahiran Jakarta 6 Oktober 1985. Hanya menyalurkan rasa cintanya untuk menulis cerpen dan novel. Novelnya bisa dilihat di Wattpad : @lamate06 dan Novelme : Laura MTP