“Untuk apa kamu masih berteman dengan orang gila seperti dia? Apa harus aku berkata padanya agar dia menjauhimu?” Plakk!!! Spontan saja tanganku mendarat di pipinya. Seperti tersambar, terguncang hebat. Ketika kudengar kalimat yang keluar dari mulutnya. Entah angin apa tiba-tiba saja mulutku terkunci. Sesak di dada. Terlalu menyakitkan.
“Oh, jadi ini, Git. Setelah apa yang kulakukan untukmu. Setelah semua yang telah kita pertahankan. Hanya karena wanita sok alim itu kamu jadi seenaknya ke aku? HAH? JAWAB AKU, GIT!” teriaknya yang terkejut karena ia tau aku ataupun dia tak pernah berperilaku kasar secara fisik selama kami berhubungan.
Susah payah aku mencoba tenang. Hingga akhirnya suatu kalimat keluar dari mulutku, “Seenaknya? SEENAKNYA KAMU BILANG? Semua yang kamu lakukan? Yang mana, An? YANG KAMU LAKUKAN HANYA MERUSAKKU, ANDI!” tangis dan amarahku semakin menjadi-jadi. Tak mudah membuat tenang diriku sendiri saat ini.
“Haha, merusak? Aku tak akan merusakmu kalau kamu menolaknya dulu. Kamu lupa, bahkan kamu melakukannya dengan suka rela. Aku pernah bertanya kan, Git. Apa kamu melakukannya karena terpaksa atau bagaimana? Dengan tenang kamu hanya mengatakan, “Tidak, aku memang mau”. Gita sudah lupa ya?”
Aku terdiam cukup lama. “Iya. Memang benar. Aku pernah mengatakannya. Betapa bodohnya aku waktu itu. Betapa bodohnya aku pernah begitu mencintaimu. Dan betapa bodohnya aku pernah mengenalmu, Andi.” Jawabku dengan tenang namun masih dengan air mata yang mengalir. “Dan mulai sekarang, sampai disini saja bodohku. Sampai disini saja hubungan ini. Aku sudah tak bisa mengukir dosa-dosa ini. Kita putus.” Kataku lirih sambil mengusap air mataku.
Dia terdiam sejenak. “OKE, FINE. Jangan pernah menyesal atas keputusanmu, Git.” Kata terakhirnya yang kudengar sambil ia melangkah pergi.
Aku berdiri mematung. Nafasku tersengal. “Sudah. Sudah selesai, Git. Tak apa.” Batinku berusaha menenangkan diriku sendiri.
Kulangkah kan kakiku yang terasa berat. Ingin sekali rasanya aku tidur saat itu juga. Terlelap lalu terbangun esok hari dengan hidup baru, hidup yang lebih baik tentunya. Sayangnya saat ini aku hanya berjalan tanpa tentu arah dan terus menangis. Menangisi semua dosa yang telah diperbuat. Juga berfikir, apakah Tuhan masih mau menerima tobat dari hamba-Nya yang hina ini.
Samar-samar kulihat seseorang dengan hijabnya, yang tersenyum sembari melambai. Menyejukkan mata siapa pun yang memandangnya. Aku tersenyum kecil dan melambainya kembali. Lalu ia berlari kecil menghampiriku.
Sesampainya ia di hadapanku, langsung bertanya dengan cemasnya, “Gita, kamu kenapa? Kenapa menangis? Apa yang terjadi?” dengan lembut ia memegang kedua lengan ku. Tak kuasa menahan air mata ku yang semakin meluap, aku pun memeluknya. “Dira, makasih ya. Makasih Tuhan telah menyadarkanku lewat kamu. Aku.. aku sudah memutuskan hubunganku dengan Andi. Aku hebat kan, Ra? Tapi, apakah Tuhan masih mau menerimaku, Ra? Aku sudah terlalu hina dihadapan-Nya.” Iya. Dia adalah Dira. Adira Pramesti. Dira adalah sahabat atau mungkin malaikat yang dikirimkan Tuhan untuk menyadarkanku. Sadar bahwa yang kulakukan selama ini salah.
“Gita..” balasnya melepas pelukanku lalu menatapku lekat. “Iya. Kamu hebat. Kamu memang sahabatku yang paling hebat. Mau lebih hebat lagi tidak? Kalau mau, kamu harus percaya kalau Tuhan jelas mau menerima tobatmu, karna Ia adalah Maha Baik.” Semua yang dia katakan selalu menenangkan. “Tapi kalau mau lebih lebih hebat lagi, sekarang kita harus makan. Karena aku tau pasti kamu sedang kelaparan.” Dira berbohong dan sialnya aku berhasil tersenyum setelah sekian lama berkutat dengan tangisku. Dan Dira lebih dulu menarik tanganku meninggalkan tempat itu. Kami berjalan bersama.
“Dir, sekali lagi makasih, ya.” “Iya sama-sama. Tapi terimakasihnya dilebihkan ke Tuhan ya. Jangan ke aku. Hehe.” dan kami tertawa bersama. Dira memanglah sahabat yang baik.
Cerpen Karangan: Azza Nandini Aulia Blog / Facebook: Andini