Tatapan sendu terpancar dari bola matanya. Tidak ada rona kebahagiaan yang berpendar dari dalam sana. Ada kesedihan yang begitu mendalam. Menggerogoti setiap sendi dalam jiwanya, mengusik ketenangan hati kecilnya.
Jemari yang mulai keriput masih menengadah ke atas, seolah menantang sang hujan agar turun lebih deras menghantam tubuhnya. Tak peduli dengan bibir pucat yang menghiasi wajah manisnya, tak peduli dengan tatapan orang lain terhadapnya. Karena jiwanya sendiri pun sudah tak terkendali.
“Ayo, hantam terus aku! Biarkan aku mati!” teriaknya, masih menengadah menatap langit kelabu yang menitikkan begitu banyak tetesan air. Bibirnya menyeringai sinis, dengan sekejap berubah menjadi tawa, tawa yang membuat siapa saja akan memiliki satu pikiran yang sama dan sejalan. Dia adalah wanita gila.
“Aku sendiri? Kenapa?!” Kini, raut wajahnya kembali murung. Tangan putih dan keriput menjambak rambut panjangnya dengan kasar. Terduduk lemas di atas genangan air. Ya, wanita itu terpasung dalam kesedihan yang tak bertepi.
“Marisa! Ayo pulang.” Datang sesosok wanita dengan perbedaan usia yang cukup jauh memanggil sebuah nama yang sudah pasti adalah nama dari wanita penantang hujan tadi, dia menarik paksa tangan dingin Marisa. Pasrah, tatapan dari mata coklatnya terlihat kosong tanpa makna, wanita yang dipanggilnya Marisa mengikuti langkah cepat dari Wanita itu. Sesekali senyum sinis kembali terukir di bibir pucatnya sambil terus bergumam, “Aku tak pantas untuk hidup.”
Dikurungnya Marisa di dalam kamar yang sudah tak tertata dengan rapih. “Jangan pernah keluyuran tak jelas seperti tadi. Dengan kondisimu yang seperti ini saja kamu sudah membuat malu keluarga!”
Gebrakan pintu terdengar begitu nyaring di telinga Marisa. Dia berteriak histeris sambil menangis sejadi jadinya. Pikirannya seolah berontak ketika kenangan kelam berhembus, mengitari otaknya. Tubuhnya meringkuk di permukaan lantai yang kusam. Wanita itu bahkan belum mengganti pakaiannya yang basah karena bermain dengan hujan. Hanya satu piring nasi dengan lauk ikan asin, tempe, dan tahu serta satu gelas air putih yang masih belum tersentuh sama sekali di samping Marisa.
“Kenapa? Kenapa kau pergi seperti mereka?!!” teriaknya sekali lagi, masih meringkuk dan memeluk tubuh mungilnya dengan kedua tangannya sendiri.
—
“Dia berbuat ulah lagi.” Dengan nada bicaranya yang terdengar sarkas, wanita itu merebahkan tubuhnya di atas sofa indah seharga puluhan juta di ruang tamu yang juga terkesan begitu mewah. “Biarkan saja dia terkurung di kamar itu. Lagi-lagi jangan sampai dia keluar dan mempermalukan keluarga kita dengan ulahnya yang bodoh itu!” tukas laki-laki ber-jas hitam di sofa sebrang.
—
Matanya yang redup dan berembun perlahan mengerjap. Ada pendar cahaya di sana. “Kamu disini?” tanya Marisa pada sosok pria dengan pakaian serba putih yang ada di hadapannya.
Pria itu menganggukkan kepala seraya tersenyum begitu manis ke arahnya. Wajah teduhnya membuat hati marisa menghangat, detak jantung Marisa bekerja dengan sedikit lebih cepat. Jiwa sendu Marisa dalam sekejap berubah menjadi bersemi.
“Aku ingin ikut pergi bersamamu,” lirih Marisa diiringi dengan cairan asin yang merambai-ambai dari kelopak matanya, merambas di kedua pipinya, kemudian terjatuh di atas permukaan ubin berwarna putih yang telah usang di bawah.
Tidak ada respon dari sang pria, dia tetap berdiri tegak dengan senyum merekah yang masih terukir jelas di bibirnya. Anak rambutnya seolah diterpa oleh hembusan angin, bergerak perlahan. Punggung tegapnya masih sekokoh dulu. Bedanya, dia terlihat begitu pucat.
“Jawab aku! Kenapa kamu diam saja? Apakah kamu sama sekali tidak merindukanku?” Pria itu masih tetap dalam posisinya. Diam dan tersenyum sambil menatap teduh ke arah Marisa.
“Aku ingin ikut bersamamu, tolong aku,” lirih wanita itu terdengar akan sarat kesakitan yang menyergap. “Tolong bawa aku pergi!!” teriaknya sekali lagi sambil menutup kedua matanya yang berembun. Bibirnya bergetar menahan segala rasa sakit yang seketika menusuk dalam dadanya.
Tiba-tiba seorang wanita paruh baya masuk ke dalam kamar Marisa dengan raut wajah yang sudah terlihat merah padam. “Marisa! Apakah mulutmu itu tidak bisa diam untuk sebentar saja hah? Teriak-teriak nggak jelas!” wanita itu menarik kasar Marisa lalu menjatuhkannya kembali ke atas lantai, tubuh Marisa terhuyung namun senyum sinis tak pernah lepas dari bibirnya. Setelah puas membuat Marisa terdiam, wanita itu keluar dari kamar. Lagi-lagi pintunya ditutup dengan kasar. Wanita itu, Marisa tidak pernah merasakan kelembutan darinya.
Mata sayu itu melirik ke segala penjuru. Dia sudah tidak ada, pria itu pergi dan dia tidak membawa Marisa untuk ikut bersamanya, sesuai permintaan yang diucapkan dari lisannya beberapa menit yang lalu. Pada akhirnya didapati sebuah benda kecil, tipis, dan tajam di atas meja kecil samping ranjang. Marisa meraihnya, kemudian dengan cekatan menggoreskan benda pipih itu ke permukaan tangan, di area detak nadinya. Masih dengan tawa renyah, tidak sama sekali menggambarkan kebahagiaan, luka yang tergores di hatinya tidak pernah disembuhkan. Tidak ada hal yang membuat hatinya senang.
Darah menetes di atas permukaan lantai, dengan sedikit keras wanita itu melukai bagian tubuhnya yang lain. Rasa sakit sudah hilang dalam dirinya. Tubuhnya kebal akan hal itu.
Wanita itu membuat lukisan abstrak di atas ubin berwarna putih dengan cat kental berwarna merah. Seringai tawa kembali muncul dari bibirnya setelah selesai membuat lukisan indah di ubin itu.
Beberapa saat kemudian, tubuhnya limbung. Matanya tertutup dengan seluruh bagian tubuh tergores oleh benda pipih itu, mengeluarkan darah segar dari lukanya. Tidak ada lagi rasa sakit yang tertinggal. Semuanya telah pupus.
Hanya tertinggal buku diary-nya di dalam lemari. Kisah di buku itu berakhir sebelum jiwanya terusik dan tak terkendali. Segala luka dia dapatkan dari kedua manusia yang seharusnya menjadi penyemangat hidup bagi Marisa, pergaulan yang diharapnya bisa mengobati luka hati ternyata adalah senjata ampuh yang juga mampu memporak-porandakan dinding pada hatinya, sehingga segalanya hancur dan tak bisa lagi ditata dengan baik.
Bak pangeran dengan kuda putihnya, seorang pria hadir dalam kehidupan Marisa. Memberi sedikit warna pada lukisan hidupnya, mengendalikan badai menjadi tenang, mengukir senyum di bibir Marisa. Lagi-lagi hanya sekejap dia hadir, sebuah kejadiaan tak terduga dialami oleh pria baik itu. Dia menghembuskan nafas terakhir di tempat dimana seharusnya dia keluar dengan senyuman dan kesembuhan. Kabar dari orang berpakaian serba hijau membuat semua orang menangis. Termasuk Marisa. Disanalah benteng pertahanannya hancur.
Detik terakhir dari usia wanita itu. Mata sendunya tertutup rapat dengan senyum di bibirnya, menandakan bahwa dia sudah tak lagi menginginkan kehidupan gelap yang selama ini dia jalani.
Beberapa hari setelahnya… “Jangan ganggu aku!!! Pergi!” teriak wanita itu menatap objek kosong di hadapannya sembari meringkuk di ujung kamar. “Hey, tidak ada siapa-siapa disini. Kamu yang tenang okay?” kata pria di sebelahnya menenangkan. Memapahnya kemudian menuntunnya ke atas ranjang.
Seketika angan pria itu berhembus membawanya pada kenangan bersama Marisa sebelum Marisa tewas mengenaskan seperti ini. Tidak ada satupun hal baik yang tersisa. Marisa, Papa menyesal melakukan hal bodoh seperti ini kepadamu, Papa telah gagal Nak dan kegagalan itu tidak bisa Papa perbaiki lagi. Rasanya, penyesalan Papa tidak lagi berguna untukmu. Berbahagialah kamu di sana. Kamu menjadi korban atas permasalahan orangtua kandungmu sendiri. Kamu yang menjadi imbas dari perbuatan tak terpuji yang dilakukan oleh Papa dan Ibumu. Semuanya adalah salah Papa, Ibumu adalah wanita baik Nak. Maafkan Papa sayang, tidurlah dengan tenang bersama Ibumu di sana. Batinnya dengan penuh rasa Iba dan menyesal. Menyesal? Ya, dia benci kata itu. Lebih baik terluka daripada menyesali, tapi mau bagaimana lagi? Dia yang memulai semuanya.
Selesai Majalengka, 16 Februari 2021. Pukul 22.00 WIB.
Cerpen Karangan: Hapsari Purwanti Rahayu