Kelopak-kelopak tangis masih erat memeluk bersama mimpi buruk yang sama sekali tak diharapkan. Sosok hitam samar-samar dibalut kabut, tinggi perkasa menjulang langit. Menara Eifell laksana nyonya besar. Tegak kekar. Puncaknya mencakar ketinggian yang tak terkatakan. Ia pongah dengan kepala mendongak dan hanya mau bercakap dengan awan. Sungai seine berbalut jembatan berbagai arah. Damai dan tenang seperti air yang pelan-pelan dicurahkan. Jalan dipenuhi orang-orang dengan tujuan dan kesibukannya masing-masing. Kedai kopi pun tak luput memberi salam, selalu ramah siap menyapa siapapun yang melewatinya. Musik mengalun setiap senyum yang mengembang, harmonis, manis dan fantastis pada jantung kota Prancis ini.
Tapi tidak untuk saat ini. Paris tak lagi sama. Sang nyonya besar redup, kekekaran dan kepongahan hanya formalitas belaka. Sungai seine menangis. Mencurahkan segala rasa duka dan mengalirkan airmata puluhan jiwa. Now, Paris is not the same. Segalanya terasa berubah gelap. Yang tercipta hanya mencekam, ngeri dan rasa tak aman.
Suara sirine bertebaran. Puluhan mobil polisi dan ambulan dikerahkan. Mereka lalu-lalang, kesana kemari dalam keadaan panik. Panik, semua orang takut. Hiruk pikuk tangisan melanda Paris dalam hitungan detik.
“Kringgggg…ngng!!” Dengan tubuh yang gemetar aku mengangkat telepon itu. “Halo”, ucap suara nan jauh di seberang sana “Halo” “Kamu seharian nggak ngabarin kemana aja?!”, bentaknya “Aku…” aku masih tak sanggup Bibirku gemetar, lidahku kelu dengan perasaan yang amat lara. “Hey..! Aku ngomong sama kamu! Kamu pikir seharian nggak ngasih kabar orang rumah nggak khawatir apa?!” Aku hanya bisa diam. Aku tak dapat berkata-kata. Kata-kata yang kumiliki rasanya hilang. Tak dapat menjelaskan apapun tentang hal yang terjadi. “Kok nggak jawab? Bagaimana dengan Ayu, dia baik kan?” Tanpa sadar kata-kata yang terlontar dari telepon itu membuatku menangis. Airmataku jatuh bersama perasaan pedih bak tersayat benda yang teramat tajam. Aku masih tak berani menceritakan hal itu, hal buruk yang menimpa Ayu, saudara kandungku.
Aku saja masih tak percaya dengan Paris saat ini. Aku masih tak percaya dengan keadaan Ayu saat ini. Saat kami memutuskan pergi liburan ke tanah Eropa, kami memilih Paris karena kami sangat ingin menginjakkan kaki di tanah romantis penuh cinta di seluruh dunia itu. Kota Paris yang penuh cahaya, penuh dengan mimpi, kota orang-orang pintar dan kota paling indah sedunia. Tapi, liburan yang kami harapkan tak berjalan sesuai yang direncanakan. Yang ada hanya tangis.
“Halo, kamu masih ada di situ kan? Kok diam? Kamu dan Ayu baik kan?” suara di telepon itu tampak khawatir “Sebenarnya…” nafasku tertahan, kerongkonganku tercekat, aku takut, aku panik, seluruh perasaan campur aduk. “Sebenarnya Paris tengah diteror dan Ayu jadi korban” akhirnya kata itu keluar dari bibir kecilku ini
Bumi rasanya berhenti berputar. Sejenak nadiku tak berdenyut, jantungku tak berdetak. Aliran darahku terhenti dengan nafas yang kuhembus menghilang. Diam. Sunyi, sepi. Aku sangat takut hingga merasakan hal demikian. Aku belum bisa menerima kenyataan.
“Diteror? Ya ampun gimana keadaannya? Kamu gimana baik kan?” Rentetan pertanyaan mengepungku. Aku tak kuat menceritakan kejadian kejam itu. Terlalu sadis. Ketika aku dan Ayu telah menghabiskan siang itu, lalu kami pergi ke Bastille di Rue Bichatat. Kami berencana mencari penginapan di sana. Tapi karena rasa lapar yang tak tertahankan, kami memutuskan mampir ke restoran Kamboja, Le Petit Cambodge, di kawasan Bastille. Sangat ramai. Penuh dengan orang. Kami mencoba mencari meja yang kosong. Tiba-tiba… ‘Doorrrrr’ terdengar suara ledakan. Kami kira hanya suara petasan, kami tak menghiraukannya. Tapi ledakan kembali muncul. Seorang wanita di ujung menjerit. Semua mata tertuju padanya, akupun demikian. Selang beberapa detik, seorang memuntahkan peluru ke arah para pengunjung restoran. Semua panik. Dalam sekejap semua orang tiarap saat peluru terus menerus dimuntahkan. Tapi sialnya, peluru mengenai Ayu. Ia terlihat kesakitan sambil memegang bahunya yang berdarah. Mataku berkaca-kaca, aku sungguh takut. Tapi tak lama kemudian terdengar bunyi sirine. Polisi dan ambulan datang. Terjadilah baku tembak antara polisi dengan si pelaku biadab itu. Terlihat dari sela-sela meja dan kursi restoran, polisi berhasil mengamankan si pelaku tak berperikemanusiaan itu. Tim medis segera mengevakuasi para korban, sedangkan aku segera membawa Ayu keluar untuk masuk dalam mobil ambulan. Di sisi restoran terlihat korban mati mengenaskan. Sebagian dari mereka dadanya berdarah, sebagian lain terlihat telah terbungkus. Aku ngilu melihat itu semua. Cepat-cepat aku menggandeng Ayu dan menuju rumah sakit. Dan akhirnya Ayu telah dirawat di sana.
“Halo, kamu kok diam?” suara di telepon itu memecah lamunanku “Teroris…” ucapku pelan “Iya teroris menembak Ayu? Bagaimana keadaannya sekarang?” ‘Doorrrrrrr’ peluru itu diarahkan kepadaku Telepon masih menyambung. Aku tak dapat mendengar lagi kata-kata yang diucapkan melalui telepon itu.
Nafasku hilang. Tiba-tiba pandanganku kabur, gelap dan pelan-pelan memutih. Aku tak merasakan tubuhku. Aku telah tertembak. Ada apa ini? Kenapa dengan diriku? Mungkinkah aku mati? Tidak! Jangan! Aku harus menunggui Ayu di rumah sakit. Aku sudah hampir sampai di sana. Tapi aku tak melihat apapun di sekelilingku. Senyatanya mataku terbuka, tapi semua yang kulihat putih. Putih luas, tak berujung. Aku telah mati. Di kota impianku. Paris.
Cerpen Karangan: Laela Wahyu R Blog / Facebook: Laela Wahyu R