Ini, bukan pertama kalinya ia begini. Terpaku, diam, di ujung tebing gedung, sendirian. Ia merentangkan tangannya dan dengan senyum tipis ia membuat badannya melayang di udara.
Alarm berbunyi. Untuk yang sejuta kalinya ia memencet tombol untuk mematikan alarm tersebut, indranya mensinyalkan pukul 7 tepat, dimana ia mengulang aktivitas membosankan untuk keseribu kalinya. Pantulan buruk dirinya di kaca membuatnya mual dan bergegas ke kamar mandi. Mandi, sikat gigi, memakai baju ala kadarnya, selesai. Rambut pendeknya ia biarkan terurai berantakan tanpa sisir, ia siap untuk memulai hari.
Titik terendah. Ia mengusap air mukanya sembari menyusuri trotoar yang ramai orang dengan sifat andalan mereka, acuh. Berhenti sejenak dan melihat ke ujung kakinya, air matanya menetes begitu saja, ia, sendiri, di tengah keramaian itu ia harus menelan ludahnya sendiri.
Cemooh, hinaan, opini bodoh, kritik menjatuhkan, CUKUP. Ia terlalu lelah dan butuh istirahat, kamar petaknya bukan tempat aman karena di sanalah semuanya bermunculan dan menyelimutinya, dimana ia harus sembunyi?
Tungkai itu lalu membawanya lari, ia langsung masuk ke sembarang gedung dan menaiki lift lalu memencet lantai paling atas, berlari melalui tangga menuju atap gedung tersebut. Kerongkongan menyalurkan amarah dan emosinya, tawa campur marah mustahil insan lain mendengar dari 25 tingginya. Lalu semuanya terhenti, seakan waktu menyuruhnya untuk tenang, ia tersenyum dan dengan tawa kecilnya ia berjalan menuju tebing gedung tersebut.
Pada akhirnya, semua terlihat begitu kecil dan mudah. Kami insan, rapuh, bodoh, sombong, rakus oksigen juga lahan. Ia tertawa, bodoh, semuanya! Ia tidak pernah sesenang ini sebelumnya. Waktu kembali menyuruhnya berhenti.
Ini, bukan pertama kalinya ia begini. Terpaku, diam, di ujung tebing gedung, sendirian. Tapi kali ini ia yakin. Ia merentangkan tangannya dan dengan senyum tipis ia membuat badannya melayang di udara.
Sampai tangan itu menyentuh bahunya, mencengkramnya kuat, seakan sesuatu yang berharga akan hilang jika dilepas. Ia terus menarik sampai kedua tubuh mereka tertarik gravitasi bumi dan angin menjadi melodi samar yang mengaluni dramatis pagi itu.
Ini, yang pertama kalinya ia merasa seperti ini. Rangkul dan peluk kuat menyelimuti tubuh dinginnya, isak yang menjadi musik semakin mengalun mengiringi angin.
Aku tidak sendiri?
Cerpen Karangan: Bintang Kalandra Hai, namaku Bintang. Batas perkenalan kita hanya layar, itupun kalau karyaku singgah di beranda kalian. Di sinilah aku mencurahkan semuanya, dari isi hati sampai yang di luar kepala. Maaf jika masih banyak kesalahan, aku harap kalian menikmatinya.