Di penghujung jalan sana, tepat diujung simpang empat arah barat, setiap pagi dapat kulihat, seorang nenek menyokong nampan berisi kue-kue basah yang ia bawa ke Desa kami untuk dijajakan, dan bagusnya kue-kuenya laris manis lantaran rasanya yang menggiurkan, itu menurutku dan sebagian warga Desa yang pernah mencicipinya.
Aku biasanya menunggu setiap jam 05:30 pagi di bawah pohon jambu dekat simpang empat tersebut, aku harus cepat lantaran biasanya dagangan nenek itu akan habis sebelum tengah hari. Saat nenek itu muncul segera aku berlari menghampirinya, ia pun hanya tersenyum dan menurunkan nampan agar aku dapat memilih yang mana yang ingin aku pilih, dan seperti biasa aku mengambil sepuluh buah nanggesare-makanan yang terbuat dari tepung beras dengan isian pisang didalamnya- makanan favoritku.
Dari dia aku tahu bahwa ia baru pindah dari Desa yang jauh ke Desa sebelah. Suaminya telah lama meninggal dan anak-anaknya tinggal di Kota bersama cucu-cucunya. “Biasanya anak-anak dengan cucu-cucu nenek akan berkunjung setiap libur panjang tiba, bukannya mereka lupa nenek mengerti mereka tengah sibuk disana”. Ujarnya di lain waktu.
Waktu terus berputar, musim hujan serta musim semi datang silih berganti, tak terasa sudah setahun lebih nenek berdagang di Desa kami sejak kedatangannya yang pertama, aku selalu setia menjadi pelanggan pertamanya sehingga saking seringnya, nenek mulai menganggapku laiknya cucunya sendiri, begitu pula sebaliknya. Pernah suatu hari kutanyakan padanya sesuatu yang selalu mengganjal di pikiranku selama ini.
“Nek, nenek kan berasal dari Desa sebelah, tetapi jualan kuenya kok disini, bukannya jarak dari Desa ini dan disana agak jauh ya, apakah nenek tidak lelah?” Tanyaku. Nenek hanya tersenyum lalu berkata “Bukannya nenek tidak mau jualan disana, tetapi sebelum nenek mencoba jualan kue, ternyata sudah ada kios yang menjual kue-kue basah disana, sejak nenek pertama kali menjajakan kue basah buatan nenek sudah banyak pelanggan dari kalangan penduduk yang langsung menyukainya. Namun, tidak sampai seminggu usaha nenek ternyata sudah mendapat banyak pandangan tidak suka dari para saingan”. “Jadi karena itulah nenek jualan ke sini, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,” jawabku.
Nenek kembali tersenyum mendengar omonganku, sembari ia melanjutkan ceritanya, “Awalnya nenek cukup lelah menempuh perjalanan antar desa yang lumayan jauh, mengingat nenek sudah tua. Namun, melihat senyum warga desa saat mencicipi dan menanti kue-kue buatan nenek, nenek jadi menemukan alasan yang berarti untuk kembali menemukan senyum-senyum itu disini”.
Mendengar cerita nenek, akupun ikut merasa sedih, “Andai nenek adalah nenekku tak akan kubiarkan ia sendirian, karena aku pasti akan selalu menemani kemanapun ia pergi,” batinku. Tetapi aku tidak mempunyai kemampuan untuk itu, karena ia bukanlah nenekku.
Di suatu pagi, yang mana hujan lebat mengguyur desa kami disertai petir yang menggelegar, berkedip-kedip seolah meloncat dari awan satu ke awan lainnya, angin kencang pun ikut mengacaukan suasana pagi yang biasanya cerah. Tak lama setelahnya badai mereda dan cuaca kembali cerah, namun entah kenapa hari itu aku teringat nenek, bagaimana keadaannya di desa seberang sana sekarang?
Pagi berikutnya aku kembali menunggu nenek di tempat biasa dengan resah, lantaran nenek belum juga tampak seperti biasanya. Ketika aku mulai khawatir, akhirnya nenek pun datang di penghujung jalan sana, perasaan yang sempat diselimuti kekhawatiranpun lenyap seketika. Akupun lekas menghampirinya, namun terhenti tatkala melihat wajah nenek yang begitu pucat serta langkahnya yang gontai, bahkan nenek hampir terjatuh jika saja tak kupapah tubuh kurusnya.
“Nenek tidak apa-apa?” Tanyaku dengan kekhawatiran yang kembali menyeruak. “Ah…, tidak apa-apa. Nenek cuma agak sedikit pusing, karena terlalu banyak membuat kue kemarin, sengaja nenek buat banyak karena kemarin nenek tak sempat menjual karena hujan,” ujarnya mencoba tersenyum.
Aku terkejut, tak habis pikir sebab ternyata hujan lebat kemarin seolah tak memupuskan semangat nenek untuk tetap menjual kue, hingga mengabaikan kondisi tubuhnya sendiri. Tak terasa kelopak mataku menghangat memikirkan kehidupan nenek yang ia lalui setiap hari, peganganku padanya kian mengerat, aku tak ingin melihat nenek jatuh lagi pikirku. Nenek seakan menyadari keterharuanku sehingga ia tersenyum dan berkata, “Tidak apa-apa, lagipula nenek sudah renta, di umur segini nenek hanya ingin memanfaatkan waktu untuk hal-hal yang berguna meski tak terlalu. Umur nenek udah mendekati, jadi harus mencari sesuatu untuk dibawa mati, yah…, minimal dagangan kue nenek membawa manfaat untuk sesama dan pula nenek”.
Hingga kalimat terakhir, nenek mampu membuat aku kagum dengan ketegaran dan kesabaran yang ia miliki lewat rangkaian kata-kata bijak yang ia lontarkan, yang langsung kupahat di dalam dinding memoriku.
“Sudah-sudah, nenek mau jualan kue nanti keburu kesiangan”, aku pun tersadar dan segera melepas peganganku pada tubuh ringkih nenek tapi sebelum itu aku menatap nenek seakan meminta konfirmasi bahwa nenek sudah benar-benar baik-baik saja, sebagai gantinya ia mengangguk sambil tersenyum seolah paham dengan tatapanku. Kemudian aku membantu nenek menjajakan dagangannya dan seperti biasa kue-kue itu habis sebelum tengah hari, nenek tampak puas begitu pula aku. Setelahnya aku menyempatkan diri mengantarkannya hingga di simpang empat arah barat, jalan yang biasa ia lalui baik saat datang maupun pulang. Di penghujung jalan sana dapat kulihat nenek melambai padaku dengan senyum khasnya, anehnya perasaanku diliputi kekhawatiran namun, hal itu kutepis dari pikiran sebab senyum itu seolah memberi isyarat bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Esoknya kekhawatiranku terbukti, aku menerima kabar yang sangat mengejutkan, nenek telah meninggal. Ia ditemukan oleh salah satu warga yang ingin membeli kuenya di dapurnya semalam dengan kondisi tubuh yang sangat panas dan wajah yang pucat. Seluruh penduduk desa berduka tak terkecuali aku, aku bersama ibu bapakku yang-bagaimanapun juga merupakan pelanggan setia kue-kue nenek-bersama pergi ke desa sebelah untuk menemani nenek melakukan persiapan sebelum masuk ke liang lihat, disana dapat kulihat sekumpulan orang, ah…, tepatnya sebuah keluarga tengah menangis, mungkin merekalah anak serta cucu-cucu nenek yang sering nenek bicarakan.
Setelah pemakaman aku tepekur di samping tepat tempat peristirahatan terakhir nenek, tak terasa bulir-bulir bening yang sejak tadi menghangat di kelopak mataku akhirnya terjun melampiaskan kesedihan yang mendalam, aku masih belum percaya pada peristiwa hari ini, juga kemarin sebagai saat-saat terakhir kami bersama dan terakhir kalinya aku merasakan nikmatnya nanggesare buatan nenek. Dan aku juga baru menyadari bahwa rangkain kata-kata bijak nenek hari itu adalah merupakan pesan terakhirnya.
Dan tak terasa pula, senja tengah mempesona di balik cakrawala sana, dan akupun tersenyum memikirkan bahwa sehangat dan semempesona itulah senyum nenek.
Annuqayah, 20/02/20 (Tanggal Bagus) AZ_KGN
Cerpen Karangan: M. Lursanami Blog: arashimitsuhi123.blogspot.com orang kangean yang bergiat di SNT.