Pohon ini terlihat begitu renta. Sudah nampak keriput-keriput yang tertanggal di kulitnya. Namun, daunnya kian rimbun, batangnya kian kokoh, dan buah yang dihasilkannya begitu nikmat. Oksigen yang berhembus dari pohon ini membuat siapa saja yang duduk di naungannya merasakan kesejukan yang luar biasa. Aku merasakannya. Sejuk sekali. Memori beberapa tahun silam kini terbesit lagi di benakku.
—
“Aliza? Sedang apa kamu disini?” Aku menghampiri gadis berusia sepuluh tahun itu. Dia terlihat begitu fokus menggoreskan kulit pohon dengan sebuah paku berkarat yang kemungkinan ditemukannya di sekitar sini. “Aku mau ukir nama, Mbak juga boleh loh ukir nama Mbak di samping nama Aku,” katanya, tanpa menengok ke arahku. “Buat apa?” “Buat kenangan Mbak.” Aku tertawa kecil. Gadis ini memang selalu mendokumentasikan segala hal. Dia selalu bilang ‘Buat kenangan Mbak’ entah dalam bentuk visual maupun audio visual di kamera miliknya.
Aku mencari paku lainnya, namun keadaan tidak berpihak padaku. Aku tidak menemukannya. “Mbak, mau ukir nama Mbak juga? Nih pakai aja paku punya aku,” ucap Aliza ketika melihatku sibuk mencari paku bekas atau benda apapun itu yang bisa digunakan untuk mengukir di permukaan kulit pohon, namun tak juga berhasil aku temukan. Aku tersenyum menerimanya kemudian menggoreskan kulit pohon dengan benda itu. Setelah selesai aku dan Aliza tersenyum bersama melihat ukiran nama kita berdua.
Aku dan Aliza duduk di sebuah kursi kayu. Tidak jauh dari letak pohon ini berada. “Aliza, kenapa kamu suka sekali mendokumentasikan hal-hal semacam ini? Mengumpulkan banyak-banyak kenangan. Untuk apa?” tanyaku pada gadis mungil itu. “Nggak tau Mbak, itu hobby-ku. Mmm menurut aku, setiap waktu punya kenangannya masing-masing, aku nggak mau melupakannya. Aku ingin memeluk semua kenangan itu Mbak.” Dengan siapa sebenarnya aku berbicara sekarang? Apakah dengan gadis mungil yang masih berusia sepuluh tahun atau dengan seseorang yang telah beranjak dewasa? Aku terkagum mendengar alasan yang dituturkan Aliza. “Itu alasannya?” Dia mengangguk antusias. Namun tak lama setelah itu, Aliza terlihat begitu pucat dan meringis, nampak jelas jika dia merasakan sakit. Aku yang menyadarinya lantas memegang kedua pipi tembemnya. “Aliza? Kamu kenapa sayang?” tanyaku panik. “Mm, Aliza enggak apa-apa Mbak. Aliza mau istirahat dulu ya?” Aku menganggukkan kepala kemudian mengantarnya masuk ke dalam sebuah rumah yang terpampang jelas poster besar di terasnya bertuliskan ‘Pondok Harapan’ sebuah rumah yang menampung anak-anak jalanan yang terlantar dan memiliki tingkat kesejahteraan rendah. Pondok ini merangkul mereka.
“Mbak Kasih, Aliza kenapa?” tanya seorang pria yang usianya tak jauh berbeda denganku. “Katanya dia mau istirahat. Mungkin kelelahan.” Pria itu menganggukkan kepala. Dia yang mendirikan pondok ini, tentunya dengan beberapa kawan lain yang juga ikut serta dalam setiap kegiatannya. Aku tidak termasuk dalam anggota tersebut, hanya sesekali aku mampir ke tempat ini untuk memberi beberapa buku, hadiah ataupun hanya sekedar bermain dengan anak-anak. Aliza segera dipapah masuk olehnya kemudian aku memutuskan untuk pulang.
Keesokan harinya aku mendapat kabar dari pihak pondok harapan, terutama dari Fatih, pendiri pondok itu sendiri. Dadaku terasa sesak setelah mendengar perkataan Fatih dari sebrang sana. Aku bergegas mengganti pakaianku dan pergi ke pondok itu.
Aku sampai di pelataran ‘Pondok Harapan’ bendera kuning menyapa indra penglihatanku. Ada banyak orang di sini. Air mataku tak bisa lagi terbendung, akhirnya satu tetes butiran bening terjatuh. Fatih menyambutku. “Ayo Mbak masuk, sebentar lagi Aliza akan dibawa,” katanya dengan nada sendu. Matanya masih terlihat merah. Aku tau ini menyakitkan.
Semuanya berjalan dengan lancar, langit cerah mengiringi kepulangan Aliza ke tempat persemayaman terakhir. Kutatap lamat-lamat gundukan tanah yang sudah dipenuhi dengan warna-warni bunga. “Kenapa bisa seperti ini,” kataku datar, tanpa menoleh ke arah Fatih. Tatapanku masih terpaku pada pusara Aliza. “Dia sudah berjuang Mbak, Aliza anak yang cukup kuat. Tapi, mungkin Allah lebih sayang Aliza. Dia sudah pulang ke tempat yang indah. Tidak ada lagi rasa sakit.” Air mataku bertambah deras mendengar ucapan Fatih.
“Aku nemuin sesuatu di lemari Aliza, sepertinya untuk Mbak.” Fatih menyerahkan amplop love berwarna merah marun. Aku membukanya dan di dalam ada sepucuk kertas dengan tulisan tangan Aliza, aku membacanya.
Mbak, makasih ya. Selama ini Mbak udah baik banget sama Aku. Mbak jangan lupain aku ya? Aku mau kasih ini untuk kenang-kenangan. Salam Sayang Aliza Nithyahasna.
Aku melengkungkan senyuman di bibirku ketika membaca surat itu. Aliza adalah anak yang pintar. Mataku beralih menatap beberapa potret yang telah dicuci. Semuanya tentang kebersamaanku dengan Aliza. “Makasih Mbak, Aliza jauh lebih bahagia karena bertemu dengan Mbak.” “Aku yang seharusnya bertemakasih sama kamu. Makasih udah jaga Aliza. Aku kagum sama kamu Fatih. Niat kamu begitu mulia.” “Aku cuma mau mengisi setiap lembar dalam hidupku agar bisa bermanfaat untuk orang lain Mbak.” Aku tersenyum menatap pria di hadapanku.
—
Semilir angin seolah membawaku kembali pada kenyataan, aku yang kini berdiri di hadapan pohon mangga dengan ukiran namaku dan Aliza di kulitnya. Aku tersenyum mengingat kenangan itu terlintas di benakku.
“Kasih, ternyata kamu disini?” Fatih menghampiriku kemudian merangkul bahuku. Aku tersenyum ke arahnya. “Inget Aliza,” ucapku parau. Fatih tidak merespon ucapanku. Dia hanya tersenyum.
“Anak-anak belum makan, kita beli makanan dulu. Antar aku ya?” Aku menganggukkan kepala kemudian dia membawaku pergi dari tempat terakhir kali Aliza merajut kenangannya bersamaku. Genggaman tangan Fatih begitu erat. Aku melangkah bersama pasangan hidupku.
Majalengka, 30 Maret 2021
Cerpen Karangan: Hapsari Purwanti Rahayu