Petang membuana, mengarah pada pijakan jingga di ujung kota. Nafasnya bergelung remuk pada ramainya motor tua yang melewati aspal kasar. Sesosok istimewa di kota istimewa, eloknya suasana serta candunya suara gamelan yang dialunkan- demikian dibawah teriknya cahaya adiwarna milik sang baswara. Tubuh kecilnya yang ringkih akhirnya menerawang jauh kedepan sembari menarik ujung bibir munggilnya lamat-lamat. Telinganya bergeming tatkala segala denting sepeda tua beserta ruah-ruah ricuhan burung berlalu melewatinnya dengan ramah, terbentuklah lengkung kurva pada bibirnya ketika ia sadar akan kehadiran gurat awan yang hiasi langit buana. Minta ditenangkan dengan ribuan afeksi yang melengarkan. Rumah ini adalah tangkisannya ketika mengadah. Tembok keraton putih saat muram berubah jadi senang. Atma pun enggan menjelaskan. Deskripsi berat tentang setumpuk antun tentang kenangan. Berbisik pelan dengan nyaman, “Tak pernah berubah, ya?” sembari mendengus. Gadis ayu yang berani menarik fuad; ia adalah Laras Ayu Listyaningrum. Mengajarkan anak bulan mengerti gemerlap iris mata miliknya. Senyum manis saja mengalahkan hal terfavorit milik Tuan saat mengarungi angkringan pada dekat alun-alun. Sayap-sayap kebahagiaan yang tak ingin ketinggalan untuk berkebat. Mengukur panjang perjalanan urip. Terkadang Tuhan menaruh banyak bumbu-bumbu pelajaran setiap sadar kita tergores halus oleh terai. Bapak becak yang menghantarkannya pada stasiun pernah mengomel pelan, saat tangis Laras turun di dekat tugu Jogja, “Kota ini seperti sekolahmu dulu, Mbak Laras. Kamu tidak minta untuk diajar, tapi merekalah yang mengajarmu caranya mengerti.”
Sirah menuntun sepasang kaki menyusuri Stasiun Tugu pada Jogja kala itu. Sesosok gadis manis berbekalkan gulana; menyapa dan singgah di kota penuh kenangan. Bahkan dirinya tak ingat, bagaimana ia menjajaki tanah ini dan menemukan dekapan pertama miliknya. Mengikis malam dengan hal baru dalam maraknya.. yang dirasa seperti lembaran buku baru perpustakaan yang ia hirup jelak. Melukis segala peristiwa dengan indahnya solekan masa depan. Laras menertawai pelan keadaan, begitu renyah, “Aku rasa Jogjakarta tak pernah ketinggalan menuangkan keajaibannya.” Tak dirasa salah juga. Mantra terkuat berada pada daerah mengagumkan ini. Tak mengerti; bahkan ribuan sel-sel pada otaknya menyerah untuk mendeskripsikan semua ini. Tuhan setuju bahwa ribuan kilometer jejaknya menampak adalah mujur. Dunia tak perlu menunggu peristiwa buruk datang, yang dunia tahu hanyalah, cinta datang pergi seperti biasanya. Bila bermalam menikmati secangkir jahe panas pada Malioboro pun, kebiasaan rutin tak akan berguling kembali. Menikmati segala suratan membuatku mengerti; pengajaran baru.
Bertenang pada diri sendiri; rupanya Laras telah berdamai dengan roman. Menelisik gita lama milik salah satu tuan, Antares Adiputra Wiloka, ia telah bertutur banyak untuk kota ini. Entah apa yang istimewa tetapi langkah Laras selalu mengarah padanya. Tempat dimana mencari jawaban jelas soal gundah hati. Kini Laras sudah mengerti bagaimana ia berkata tentang puing yang tertinggal. Tak perlu susah-susah menggapai ribuan angan. Jawabannya sudah sangat jelas untuk di teguk. Tak heran bagaimana mereka berdua menemukan jalan masing-masing. Mampu untuk bertahan, lebih tepatnya menahan semua manisnya duniawi. Menetap dan tinggal, tanpa Tuan juga Jogjakarta tetap berlanjut. Alun-alun, Keraton, Kauman seakan pusat semesta cinta. Tetapi tak juga semua tentang; erang dan desah, geliat dan gelinjang sajak kasmaran. Ia nikmati lagi cinta yang riang. Dihayati lagi perasaan yang lepas.
Aksara panjang tentang bagaimana gadis seperti Laras mengintari jagat. Tiba-tiba, seperti hidup yang dicekik pekik kengerian. Meloloskan diri dari kerumunan gemuruh dunia. Dibawa tubuhnya, sendiri memasuki pelataran candi. Seperti memasuki sebuah hati. Tentu saja itu hatimu. Diam-diam ia sucikan sekujur rindu ini. Laras menyentuh bongkah-bongkah batu, reruntuhan. Ambruk disebabkan lindu cemburu. Gemulai astanya, debaran dalam setiap semangatnya, cantik suryanya. Dimata arah mata angin menjadi sebuah penjuru.
Tolong beritahu pada bulan, genggam runtuhnya angan, tak berpengaruh pada sang mimpi. Andong tua pada pinggir jalan menanti setia. Seperti kala malam menjemput gelanggang memori dengan paksa. Senyum mengembang, “100 tahun pun menjadi bagian uripmu sudah segalanya.” Tak akan berpulang kemana pun lagi. Di kota ini, kekasih, dan kata. Nyala merah kemesraan yang diketuk halus dalam bentala. Berulang-ulang disini ia temukan, pada puncak-puncak stupa. Memecahkan ilusi pun juga tak ada gunanya. Nafas tak berhenti karena udara, nadi tak berhenti karena jantung. Derai kota ini mengingatkan ku tentang bagaimana cara melepaskan. Tak kan membiarkan diri nya bernyanyi sendiri, puan tak butuh tuannya untuk menjalani atmosfer baru.
Cerpen Karangan: Elysia Purwastuti M.