“Jangan ganggu aku,” ucapku.
Kalimat itu sudah sangat sering aku ucapkan. Tapi, mereka masih saja menggangguku tanpa habis-habisnya. Mereka sangat keterlaluan, aku diam pun diganggu. Mereka juga suka menghina dan mengolok-olokku sampai hatiku terasa perih dan pedih. Mengapa mereka sangat jahat terhadapku? Semakin mereka mengganggu, aku semakin resah.
Tiba-tiba, tanpa sadar aku menggenggam sebuah tongkat baseball yang tergeletak di samping lemariku. Tanpa sadar aku memukul tongkat itu dengan keras ke lemari orang lain, dan lemari kaca itu kacanya pecah, semuanya berserakan. Aku berteriak dan berteriak sekencang-kencangnya demi melegakan hatiku. Tapi itu semua sia-sia. Hatiku malah lebih sakit daripada sebelumnya.
Perlahan, aku menitikkan air mataku karena sudah pedihnya hatiku mendengar celaan mereka. Nafasku naik turun tidak karuan. Sesak dadaku menahan. Semakin kutahan, semakin ku ingin memecah tangisku lebih kencang lagi.
—
Aku tak tau mengapa semuanya bisa terjadi. Ini sudah sangat sering terjadi kepadaku. Aku masih tidak bisa menahan diri untuk menghancurkan sesuatu di sekitarku.
Dan mereka sudah sangat keterlaluan, sampai-sampai aku ingin membunuh mereka. Aku tak tau mengapa aku berpikiran seperti itu. Aku hanya ingin melegakan hatiku yang sudah sangat pedih karena ulah mereka semua.
Aku butuh sandaran dan dekapan untuk menenangkan hatiku yang pedih. Tapi, itu semua tidak ada. Aku jauh dari orangtuaku demi mengejar pendidikan. Aku pun tak mengharapkan ini semua terjadi. Hatiku yang pedih, perih dan sedih
—
Aku berdiri di atas pecahan kaca yang berserakan dengan tangisan yang rasanya akan pecah seperti sebuah Tsunami. Aku menatap mereka. Mereka hanya menatapku sama sekali tidak peduli. Kemudian, mereka memarahiku karena sudah memecahkan lemari kaca yang kupecahkan.
“Dasar bodoh, coba kau lihat. Ini semua pecah karena ulahmu dan sekarang kau hanya bisa menangis?” Ucap salah satu dari mereka. “Kita hajar saja dia biar dia kapok. Dia membuat kita jengkel terus menerus,” kata salah satu dari mereka juga. Mereka semakin marah dan semakin kencanglah tendangan demi tendangan menghujam tubuhku. Aku mengaduh kesakitan dan berusaha melindungi diriku sendiri.
Tiba-tiba dengan berani aku menjawab mereka, “Apakah kalian tak menyadari apa yang sudah kalian perbuat ke aku? Kalian tidak sadar kah kalian semua sangat sama seperti binatang? Mengapa kalian selalu merundungku, menggangguku dan mengucilkanku? Apa aku sehina itu dimata kalian? Apakah aku tidak pantas mendapatkan kebahagiaan? Aku sudah muak dan lelah, bahkan aku sudah depresi maksimal. Bukan kalian yang merasakan, tapi aku yang merasakan. Kalian lebih bajingan daripada bajingan, sadar kalian sadar!” Ucapku dengan tangisan yang sudah begitu deras seperti air terjun. Aku mendekap tubuhku sendiri dengan bergetar hebat.
Kulihat, mereka semua hanya menatap nanar ke diriku. Mereka semua terdiam seribu bahasa, tak bisa lagi berkata-kata. Hanya keheningan setelah itu yang menyelimuti.
Entah mengapa, terbersit di pikiranku bahwa aku lebih baik bunuh diri saja. Aku tak tau mengapa aku tiba-tiba berpikiran seperti itu. Bagai tergoda pikiranku, aku segera mendorong mereka untuk menjauh dariku dan jangan menghalangiku.
Aku berjalan dengan pandangan yang kosong. Wajahku sangat lusuh dan kotor. Darah bercucuran dari kedua tangan dan kakiku. Dada masih sesak, aku semakin tidak kuat menahan pedih. Mereka malah semakin mengolok-olokku. Mereka semakin memaki-makiku. Mereka semakin memarahiku.
Aku tak peduli lagi, aku segera berjalan dengan cepat ke pintu depan asramaku. Asramaku ada di lantai dua dan itulah yang kupikirkan sekarang. Kesempatan bagus untuk melegakan hatiku.
Aku berbalik dan menatap mereka dengan senyum kecut. Mereka hanya menatapku dengan pandangan bingung dan segera salah satu dari mereka langsung sadar apa yang akan aku perbuat dan berniat mencegahku.
“Hey, jangan lakukan itu. Kumohon, jangan. Baiklah, aku ingin meminta maaf atas semuanya. Aku minta maaf,” ucap orang itu dengan wajah tertunduk. “Sudah terlambat. Kalian semua sudah sangat keterlaluan. Coba kalian sendiri yang merasakan, bagaimana rasanya jadi korban bully, bagaimana kondisi orang yang dibully. Kalian hanya bisa membully tanpa merasakan apa yang korban kalian rasakan,” aku berkata dengan lirih, aku sudah lelah dengan semuanya. Aku sungguh sangat ingin mengakhiri hidupku.
Aku berkata dengan lirih, “Sekarang semuanya sudah terlambat, hatiku .. sangat .. pedih …” Aku mundur ke belakang dan segera aku terjatuh dengan cepat. Aku sempat melihat mereka semua berteriak dan mereka berlari ke lantai bawah agar bisa menyelamatkan ku.
Tapi, mereka sudah terlambat. Setelahnya, semua pandanganku gelap, hidupku sekarat dan aku tak sadarkan diri dengan air mata yang mengalir dan darah yang masih bercucuran.
Bersambung.
Cerpen Karangan: Gusti Khair Rahman Wattpad: @owgheywon
Holaa~ Hai, Annyeong haseyo, Sawaddi khrap tukhon (hai semuanya). Kenalin, aku TiWon (Nama internet aku, xixixi:)). Terima kasih bagi kalian yang sudah membaca cerpen karyaku sendiri, banyak-banyak terima kasih. Kalian bisa juga membaca di akun wattpad aku ya, @owgheywon. Terima kasih. Juga, bisa follow atau like ig aku, @kippiwon. Terima kasih banyak