Aku baru saja terlelap ketika tiba-tiba pintu kamarku diketuk bertubi-tubi. Aku kaget dan ketakutan setengah mati. Siapa gerangan larut malam begini mengganggu tidurku? Pasti bukan Bryan karena dia masih di Guangzhou dan rencananya baru tiba lusa.
Pintu kembali ditekuk keras berkali-kali. “Mir, ini aku, Wida. Tolong buka pintunya,” katanya yang terdengar iba.
Aku segera beranjak dari tempat tidur dengan benak penuh tanya. Mau apa dia mencariku tengah malam begini? Kubuka pintu. Serta-merta aku terkejut melihat wajah Wida lebam disertai darah segar meleleh di bibirnya. Serta merta pula Wida menghambur cepat dalam pelukanku dan menumpahkan tangisnya. Aku mencoba menenangkan.
“Minum dulu, Wid,” gamitku sambil menyodorkan segelas air putih saat tangisnya mulai reda. Wida minum beberapa teguk. “Kali ini kenapa lagi kamu?” tanyaku tanpa basa basi. “Bedebah itu membawa pel*cur itu ke kamar,” dengusnya sepenuh geram. “Dasar laki laki brengsek! gumamku. Lalu ..?” “Dia menghajarku di depan perempuan itu ketika aku menolak keluar kamar.” Wida menghapus air matanya.
“Apa perempuan itu diam saja melihat kamu dihajar?” tanyaku berang. “Pelacur itu malahan ikut memakiku.” Wida terisak lagi. Aku iba melihatnya. Ini bukan kali perama dia disiksa lelaki bajingan itu.
“Sekarang kamu tidur di sini saja, elusku. “Thanks, Mir. Sorry aku bikin repot kamu lagi.” “Tidurlah, hari hampir pagi,” kutepuk-tepuk bahunya untuk menenangkan. Wida mengangguk lemah. Wida merebahkan diri. Kumatikan lampu, lalu kubaringkan tubuhku di sebelah Wida.
Setengah jam berlalu, namun aku belum juga mampu terpejam. Kudengar dengkur halus Wida pertanda dia sudah terlelap. Kasihan sekali, dia adalah salah satu dari sekian banyak tenaga kerja Indonesia yang tak punya ijin tinggal lagi di sini. Dia kabur dari rumah majikannya karena tergiur kehidupan luar yang bebas tanpa memikirkan akibatnya.
Sudah lebih dari 2 tahun dia tinggal di Chung King Mansion bersama lelaki Afrika yang juga tak punya ijin tinggal di Hongkong. Aku tak habis fikir bagaimana mereka bisa menjalani hidup seperti itu, harus selalu waspada kalau tiba-tiba ada razia. Jika ada teman yang melaporkan mereka kepada pihak yang berwajib, mereka akan merasakan tidur dalam terali besi sebelum dideportasi.
“Mendingan kamu menyerahkan diri saja biar cepat dipulangkan ke Indonesia daripada terlunta-lunta begini,” usulku suatu hari ketika kami sedang menikmati senja di Starferry Tsim Sha Tsui. “Aku malu sama keluargaku. Mereka tahunya aku di sini kerja baik-baik. Mereka tidak pernah tahu kalau uang yang setiap bulan kukirim untuk biaya sekolah anak-anakku adalah hasil dari menjual diri dari satu lelaki ke lelaki lain,” jawabnya dengan mata menerawang jauh. Aku terdiam. Wida tidak hanya menjual tubuhnya. Dia lakukan pekerjaan apa saja agar bisa bertahan hidup. Dia bahkan pernah menjadi kurir narkoba.
“Kamu pasti bercanda. Mana mungkin kamu berani menjadi kurir narkoba karena vonis hukumannya sangat berat”. Wida hanya tersenyum melihat ekspresi wajahku yang mungkin terlihat sangat bodoh.
Aku mengenal Wida belum genap 3 minggu. Dia tetangga kamar losmen yang aku sewa. Karena seringnya bertemu kami menjadi akrab, apalagi kami sama sama dari indonesia.
Bryan pernah melarangku bergaul dengan Wida. “Semua orang di Chung King Mansion tahu dia pel*cur. Kalau ada yang melihatmu jalan bersamanya, pasti mengira kamu pel*cur juga,” dalih Bryan dengan nada marah begitu aku ceritakan kedekatanku dengan Wida. Aku tetap berteman dengan Wida tanpa sepengetahuan Bryan. Aku tak pernah pilih-pilih dalam berteman. Pel*cur atau perampok pun asal mereka baik aku pun akan berlaku baik.
Aku tahu Chung King Mansion dari Bryan yang sering menginap di sini. Tarifnya murah, bersih, dan dijamin aman, begitu dia berpromosi sehingga menarik minatku. Di gedung ini memang pusat motel kelas melati untuk turis atau pedagang dari berbagai negara yang ingin menghemat pengeluaran. Harga kamarnya memang relatif lebih murah. Di sini juga banyak restoran yang menjual makanan khas dari India hingga Afrika. Satu lagi, bukan rahasia lagi kalau di gedung ini banyak imigran gelap yang tak punya ijin tinggal seperti Wida.
Wida tak berdaya untuk meminta perlindungan hukum ketika menerima kekerasan fisik dari laki-laki pacarnya karena jika itu dilakukan sama saja dengan menyerahkan diri ke pihak berwajib.
“Kenapa kamu masih tinggal sama dia sih? Sudah tahu dia memperlakukanmu seperti ini,” protesku seminggu setelah perkenalanku dengan maksud menyadarkannya. “Aku tak punya pilihan Mir. Aku akan tinggal di mana lagi? Kalau cuma digampar, itu sih sudah biasa, Mir. Aku bahkan pernah dihajar sampai hampir mati. Dia tendang perutku yang sedang hamil muda sampai aku keguguran karena aku menolak melayani pedagang dari Nigeria yang juga temannya.”
Aku bersyukur mengenal Wida. Banyak pelajaran hidup yang bisa kupetik dari kisah hidupya yang kelam. Aku terus berharap Wida segera sadar dan menyerahkan diri kepada yang berwajib agar bisa segera pulang ke Indonesia berkumpul dengan keluarganya. Demikian pula dengan Wida Wida yang lain.
Kupandangi Wida yang terlihat gelisah. Mimpi burukkah dia? Kasihan sekali, bahkan dalam tidur pun dia tidak tenang.
Hari sudah beranjak siang namun aku masih juga bermalas-malasan bergelung di balik selimut. Kubiarkan Bryan yang sejak tadi sibuk bersiap hendak menemui seorang kliennya.
“Jacket biruku kamu letakkan di mana sayang?” tanya Bryan. Seketika aku tersentak. Aku lupa cerita jacket itu kupinjamkan ke Wida kemaren malam dan belum dikembalikan. “Maaf sayang aku nggak bilang sama kamu. Jacketmu kemaren malam aku pinjamkan ke Wida karena bajunya sobek setelah dihajar pacarnya.” “Apa? Jadi kamu masih juga bergaul dengan pel*cur itu?” bentaknya. Dia marah besar. Sudah berulang kali Bryan melarang aku berteman dengan Wida namun rasa solidaritas sesama perempuan sebangsa membuatku tidak sampai hati memasabodohkan Wida begitu saja.
“Mira, ini Hong Kong, bukan Indonesia. Di sini kamu harus hati-hati dalam berteman, hardiknya. Aku menunduk. “Maaf sayang,” kataku lirih. “Ambil jacket itu dan langsung bawa ke laundry,” kata Bryan sambil menyambar jas dan syalnya, kemudian keluar kamar sambil membanting pintu. Aku menghela nafas panjang. Segera kurapikan tempat tidur, lalu melangkah gontai ke kamar mandi.
Kamar Wida tampak sepi. Kuketuk berkali-kali pintunya, tapi tak ada seorang pun yang membukanya. Handponenya juga tidak aktif. Aku bingung mau mencarinya ke mana sedangkan aku tak mengenal satu pun teman Wida di sini.
“Permisi. Kamu lihat Wida yang tinggal di lantai 6?” tanyaku ke pengurus guesthouse. “Kemaren dia diusir pacarnya. Dasar pel*cur tidak tahu diuntung!” jawabnya cuek. Diusir? kenapa kemaren Wida tidak cerita kalau dia diusir pacarnya? Tanyaku dalam hati. “Kenapa diusir?” “Katanya sih dia kepergok tidur sama temen cowoknya,” jawabnya, masih cuek. Aku semakin bingung. Apa yang harus kukatakan kepada Bryan nanti? Dengan lesu aku meninggalkan tempat itu.
Suasana Starferry petang ini tak begitu ramai. Aku duduk termenung memandang lautan lepas. Aku tak lagi memikirkan jacket Bryan. Aku tengah memikirkan Wida yang misterius. Dia bilang mereka bertengkar karena laki-laki brengsek itu membawa perempuan ke kamar mereka. Tapi petugas guesthouse bilang Wida diusir karena kepergok tidur dengan teman cowoknya. Mungkinkah Wida berbohong dan untuk apa?
Kurapatkan jacketku sekedar menghalau rasa dingin yang kian menusuk kulit. Malam menjelang kuseret kakiku melangkah pulang “Dari mana saja sih? Telepon tidak diangkat. SMS tidak dibalas. Tahu tidak sekarang jam berapa?” bentak Bryan begitu aku membuka pintu kamar. “Aku mencari Wida tapi nggak ketemu. Dia diusir sama pacarnya. Jadi maaf aku tak bisa mengembalikan jacketmu. Tapi aku janji akan menggantinya.” jawabku. Tak kuduga Bryan memelukku erat. “Maafkan aku sayang. Lupakan soal jaket itu. Aku hanya menginginkan kamu mengerti aku tidak mau orang lain memandangmu rendah karena kamu bergaul dengan pel*cur itu.” Sebenarnya aku tak suka Bryan memanggil Wida dengan sebutan pel*cur, namun aku diam saja. Aku tak ingin merusak suasana yang baru saja membaik.
Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, aku berolah raga di tepi laut. Tapi ada yang tidak biasa. Orang-orang berkerombol di ujung dermaga yang serta-merta mengundang ingin tahuku.
“Ada apa, Mas?” tanyaku kepada seorang pria Indonesia yang sedang berbincang dengan rekannya yang berkulit putih. “Ada mayat terapung, Mbak. Seorang perempuan berambut panjang. Belum tau orang mana”. Aku hendak mendekati kerumunan itu namun kuurungkan.
“Emkoi cece emkoi cece” beberapa polisi berusaha berjalan menerobos kerumunan. Police line dipasang. Petugas ambulance berjalan tergesa. Seorang laki laki tua yang menemukan mayat itu pertama kali dibawa ke kantor polisi untuk di minta keterangannya. Sepanjang jalan menuju kos kosan aku berpikir tentang perempuan malang itu. Mereka bilang wanita itu bunuh diri. Aku tak mengerti mengapa orang dengan mudahnya mengakhiri hidup. Bukankah banyak hal bisa dilakukan untuk menyelesaikan masalah. Apa mereka tidak memikirkan kesedihan orang orang yang ditinggalkan. Entahlah.
Siang ini aku tengah bersiap untuk pergi ke satu tempat ketika pintu kamarku diketuk oleh seseorang. “Kita dari anggota kepolisian meminta anda untuk ikut ke kantor untuk dimintai keterangan soal wida”. “Ada apa dengan wida pak?” tanyaku. “Pagi ini Wida ditemukan meninggal dunia di pelabuhan, diduga dia mengakhiri hidupnya dengan melompat ke laut.” Seketika aku limbung, wanita malang itu ternyata Wida.
Cerpen Karangan: Deerizkie Blog: Deerizkie.blogspot.com