“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan kematian. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” Begitulah arti bunyi ayat al-Qur’an surat Al Imron ayat 3, sejenak makna ayat itu menenangkan hatiku yang tengah kalut. Meranahkan jiwaku yang dirundung oleh mendung hitam yang pekat. Tidak selamanya orang akan terus sehat. Begitu pula sebaliknya, maka semua makhluk di bumi ini akan dipanggil melalui sakit. Entahlah, ini pelik untuk disangka.
Seperti yang pernah kuseratkan di lembar sebelumnya, bahwa kehidupan ialah sebuah rangkaian kisah peristiwa yang panjang. Dimana kehidupan menyuguhkan berbagai hidangan tawa dan luka. Dan kini, sekenario kehidupan tengah memainkan lelakon sesak lara. Aku tahu, aku mengerti bahkan aku faham. Setiap makhluk di bumi ini pasti akan menemui ajalnya masing-masing dan tentu dengan jalannya masing-masing pula. Ya, semua makhluk akan mengalami kematian. Kematian, sebuah akhir dari lelakon skenario kehidupan di dunia ini.
Begitulah, kemarin tawa itu masih bersimpul erat bersamaku. Menemani setiap luka hari-hariku. Mengapa waktu terlalu kejam? Waktu bergulir dengan gesitnya hingga semua beringas ditelannya. Kini, pagi ini, kulihat senja mengulurkan tangannya untuk menyambutmu dengan dekap keabadian. Bersama kepulangan rembulan ajalmu kian melambai menjemput kehadiranmu. Suara adzan subuh, seakan pertanda bahwa kau telah berpulang menemui sang pencipta.
Aku termenung dalam sepi. Berjuta tanya mendatangi fikiranku. Bapak, ini sangat sulit untuk bisa kupercayai. Mengapa kau harus pergi secepat ini? Kau tahu? Runtutan perjalanan skenario kehidupan yang ingin kujalani masih terlalu panjang, masih beribu-ribu lelakon kehidupan yang ingin kucapai. Dan, kupalar kau menyaksikan akhir dari runtutan segala skenario panjangku. Namun mengapa, kini kau ingkar akan janji itu? Sebuah janji yang ucapkan beberapa minggu yang lalu, sumpah yang kau ucap bahwa kau akan mengawal kesuksesanku. Menanti aku merangkum cita-cita yang kutekuni.
Bapak Abdul Manaf, nama itu akan kusimpan rapat-rapat dalam lelakon skenario kehidupanku. Akan kuberi tinta merah sebagai penanda pentingnya namamu dalam runtutan kisah perjuanganku dalam meraih kesuksesan. Kau ialah sosok guru panutanku dalam nenuntut ilmu di Madrasah itu. Bagiku, kau sosok yang baik, pendiam, perhatian dan penyabar.
Aku ingat, selama 3 tahun si Madrasah Aliyah dulu aku hanyalah seorang anak perempuan yang sangat nakal, suka usil dan keras kepala. Semua yang kuinginkan harus terjalankan dengan baik. Ya, mungkin aku sudah terbiasa dipanggil oleh guru BK atas kesalahanku. entahlah, saat itu aku benar-benar tidak ada rasa takut kepada siapapun kecuali pada Allah swt. Bahkan sampai sekarang kebanyakan teman ataupun adik kelasku takut dengan kelakuan anehku yang hadir dengan spontan.
Rasanya aku juga pernah dibenci dan diasingkan sendiri. Namun senyuman bapak terus menyinari. Aku tak pernah dibenci oleh bapak, dengan segala tindak nakalku selama di Madrasah itu. Fikirku gila. Bapak begitu sabar. Seiring aku bertanya pada diriku sendiri; di waktu mengapa bapak tak pernah memarahiku? Mengapa ia malah menatapku dengan senyuman? Adakah rasa sayang yang terbesit di hatinya? Ataukah ia menyimpan kebencian padaku? Lantas, ada makna senyuman bapak?
Kulihat diluar sana, banyak tangan-tangan panas meronta ingin menampar wajahku. Ingin menyuruhku untuk membungkam mulutku. Akan tetapi, berbeda rasanya. Bapak sama sekali tak murka. Dan, ia melempar senyuman yang hangat. Aku tersenyum tipis, kala puing-puing kenangan itu bernostalgia.
—
“Sekarang kau telah dewasa, tumbuh menjadi gadis yang jelita bukan lagi anak Madrasah Aliyyah yang suka usil. Kini saatnya, kau menikmati masa perjuanganmu untuk masa depan. Berjalanlah diatas bebatuan luka, tundukkan segala amarahmu dan raihlah mimpimu untuk menjadi seorang guru”
Sejenak aku duduk dalam diam, mulutku kaku membisu. Segala imajinasi ini seakan melayang terbang tinggi. Fikiranku benar-benar kalut. Aku bernostalgia pada semua kisah itu, bisik mesra petuah itu selalu terngiang dalam telinggaku. Awan tampak mencair di pipiku dengan deras, aku tak kuasa kumembendungnya. Kuingat di hari terakhir perjumpaan kita, kau menyampaikan petuah itu.
Dinding-dinding madrasah itu seakan menjadi saksi atas awal perjumpaan kita, yang sebelumnya sama sekali tak mengenal hingga kita sedekat ini. Seperti ada hubungan kekeluargaan yang menyatu diantara kita, tak hanya sebatas hubungan guru dan murid. Hmm, panjang jika kuceritakan perihal namamu. Aksara tak akan mampu mewakilkannya, lembar kertas tak akan cukup mengantarkannya.
Aku meronta, jeritan hatiku sangatlah keras. Bukan hanya itu, kemarin aku merencanakan prospek terindahku. Sebuah rencana terbesar dan sakral dalam kehidupanku, yakni sebuah pernikahan. Keinginanku sederhana, aku ingin kau hadir dan menyaksikanku dikala aku duduk di pelaminan kelak bersama belahan jiwaku. Kuingin kau hadir untuk memanjatkan sebilah doa untukku. Sungguh banyak runtutan rencanaku bersamamu, bapak. Akan tetapi, rencanaku tak seindah rencana Allah swt. Allah swt tak mengijinkanku memenuhi rencana itu, skenario kehidupan-Nya bercakap lain. Rencanaku hambur seiring kepulangan rembulan malam. Allah swt lebih menyayangimu dibandingkan aku, dibandingkan keluargamu. Dan, dibandingkan ribuan anak didikmu di luar sana.
Kini, bukan hanya kepalaku yang pening. Hatiku kian hancur berkeping-keping. Rasanya ingin kubenturkan kepala ini pada dinding masa lalu. Aku ingin semua kisah di Madrasah itu terulang kembali.
Namun, aku tiada daya untuk melawan kenyataan. Aku menjerit, kini hanya sebatas lembaran foto yang dapat kudekap. Mungkin jika mampu, rasanya kuingin sejenak memutar waktu untuk sekedar mengucap salam kepulangan kepadamu. Apa dayaku, sungguh aku tak mampu akan hal itu. Kutatap tiap lembar foto ini dalam-dalam, air mataku mengalir begitu deras. Lembar foto ini akan menjadi saksi atas segalanya.
Maafkan aku, Bapak, jika selama ini banyak kesalahan yang kuperbuat kepadamu. Aku pasrah. Kuikhlaskan kepergianmu. Kutuliskan aksara perpisahan ini untukmu dengan bertintakan air mata keikhlasan dan kerinduan, bapak. Semoga kepergianmu membawa sakitmu menjadi redup, melanting bebanmu menjadi reda. Sudahlah, hanya untaian doa yang mampu kupanjatkan untukmu. Selintas kuusap air mataku, kutenangkan hatiku yang lapuk. Garis skenario kehidupan Allah swt untuk bapak telah usai. Maaf, aku tak dapat menemani di detik terakhirmu.
“Ya Allah, ampunilah dan rahmatilah, bebaskanlah dan lepaskanlah bapak. Dan muliakanlah tempat tinggalnya, luaskan lah bapak. Cucilah bapak dengan air yang jernih lagi sejuk, dan bersihkanlah bapak dari segala kesalahan bagaikan baju putih yang bersih dari kotoran, dan gantilan rumahnya dengan rumah yang lebih baik daripada yang ditinggalkannya, dan keluarga yang lebih baik, dari yang ditinggalkan, serta istri dan anak yang lebih baik dari yang ditinggalkannya pula. Masukkanlah bapak kedalam surga, dan lindungilah bapak dari siksa kubur serta fitnahnya, dan dari siksa api neraka”
Begitulah, hanya doa yang mampu kupanjatkan untukmu. Selamat jalan, bapak. Selamat menuju nirwana keabadian. Kuucapkan terimakasih untuk segalanya. Sungguh, tak akan kulupakan semua petuah-petuahmu, semua ilmu kehidupan yang kaubagi kepadaku. Dari sini, kuantar kepulanganmu lewat iringan doa. Dan, biarkan aku terus merindumu bersama rembulan dalam keheningan malam. Walau hanya sekedar menikmati senyummu dalam angan. Selamat jalan dari anakmu yang nakal, bapak.
Sugeng Tindak 24 April 1964 – 04 Februari 2021
Cerpen Karangan: Sega Dwi Ayu Pradista Blog / Facebook: Sega D.A Pradista
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 25 Juli 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com