Liana duduk di bangku kayu teras rumahnya, menatap lampu jalan yang mulai menyala. Malam turun pelan, seperti biasanya, sunyi namun sarat dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Hatinya penuh dengan luka-luka kecil, sayatan yang tak terlihat orang lain, tapi terasa jelas olehnya. Semua luka itu punya satu nama: Sammy.
Sudah entah berapa kali Liana dikecewakan oleh pria itu. Puluhan kali mungkin, dan setiap kali ia berkata pada dirinya sendiri bahwa itu adalah yang terakhir. Namun nyatanya, begitu wajah Sammy kembali hadir dengan senyumnya yang hangat, semua luka itu seperti tidak pernah ada. Liana kembali luluh, kembali tersenyum, kembali merasa dirinya berharga.
Padahal, kalau mau jujur, Liana sering merasa dirinya bukanlah prioritas. Pernah suatu kali, ketika mereka sudah berjanji untuk pergi menonton film bersama, Sammy tiba-tiba membatalkannya. “Teman-teman ngajak nongkrong, sayang. Maaf ya, lain kali kita nonton,” begitu alasannya.
Dan Liana, dengan suara lembut dan senyum yang dipaksakan, hanya menjawab, “Iya, nggak apa-apa. Hati-hati, ya.”
Malam itu, Liana menutup wajahnya dengan bantal dan menangis tanpa suara. Bukan karena film itu penting, tapi karena ia merasa diabaikan. Namun begitu Sammy mengirim pesan tengah malam dengan emotikon hati, tangisnya berhenti. Ia membalas dengan hangat, seolah tidak pernah ada kekecewaan yang singgah.
Luka yang Disimpan Sendiri
Malam tahun baru seharusnya menjadi momen yang indah. Liana menunggu di taman kota, memeluk jaket tipisnya karena udara dingin menusuk. Mereka berjanji akan menyambut pergantian tahun bersama. Detik demi detik berlalu, hingga akhirnya kembang api meledak di langit. Ribuan orang bersorak, saling berpelukan, tapi Liana sendirian.
Sammy tak pernah datang. Pesan-pesan Liana hanya centang satu. Teleponnya tak diangkat. Dan malam yang seharusnya penuh bahagia itu justru meninggalkan air mata yang membasahi pipinya.
Namun esok harinya, Sammy datang dengan senyum lebar. “Maaf, aku ketiduran habis main sama anak-anak. Kamu marah, ya?” tanyanya.
Liana menatapnya, ada ribuan kata yang ingin ia keluarkan. Ia ingin mengatakan betapa hancurnya hatinya semalam. Betapa ia merasa tak penting, tak berharga. Betapa ia menangis sendirian di antara kerumunan orang yang bersorak bahagia.
Tapi bibirnya hanya mengucapkan, “Nggak apa-apa.”
Dan saat Sammy memeluknya, semua sakit itu kembali hilang. Ia kembali tertawa kecil ketika Sammy mulai bercanda, seolah-olah tidak pernah ada luka semalam.
Liana tahu, dirinya aneh. Ia tahu banyak orang akan berkata ia bodoh, mempertahankan seseorang yang berkali-kali mengecewakannya. Namun apa yang bisa ia lakukan? Cintanya pada Sammy terlalu besar, dan hatinya terlalu sabar untuk membenci.
Luka yang Dilihat, Tapi Dimaklumi
Teman-teman Liana sering menasihatinya.
“Li, kamu tuh harus bisa tegas. Jangan mau terus-terusan diabaikan begitu,” kata Dina, sahabat terdekatnya.
“Kalau Sammy sayang beneran, dia nggak bakal bikin kamu nunggu sendirian,” tambah Rara, yang tak tahan melihat sahabatnya berkali-kali menangis diam-diam.
Tapi Liana selalu membela Sammy. “Dia bukan nggak sayang, kok. Dia cuma… punya banyak temen, dan kadang lupa waktu. Tapi kalau sama aku, dia baik banget. Kamu nggak lihat aja.”
Dan memang benar. Setiap kali Sammy bersama Liana, ia berubah menjadi sosok yang begitu hangat. Ia menggenggam tangan Liana dengan lembut, menatap matanya dengan penuh perhatian, bahkan tak segan-segan membuat Liana tertawa dengan lawakan konyolnya.
Di momen-momen seperti itu, Liana merasa dirinya adalah satu-satunya wanita di dunia yang dicintai dengan tulus. Sammy memperlakukannya dengan penuh hormat, penuh kasih sayang. Luka-luka masa lalu seolah menguap begitu saja, lenyap tanpa bekas.
Namun luka itu tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya tertutup sementara, menunggu terbuka kembali ketika Sammy memilih pergi dengan teman-temannya, atau lebih menyibukkan diri dengan orang lain.
Malam yang Paling Menyakitkan
Ada satu malam yang Liana tak akan pernah lupa. Malam ketika ia menghadiri sebuah acara pesta kecil bersama Sammy. Di sana, Liana melihat Sammy begitu akrab dengan seorang gadis lain. Mereka bercanda, tertawa, bahkan sesekali gadis itu menepuk lengan Sammy dengan manja.
Liana berdiri di sudut ruangan, mencoba menelan semua rasa sakit itu sendirian. Air matanya hampir tumpah, tapi ia menahannya. Ia tidak ingin orang lain melihat kelemahannya.
Setelah pesta usai, Sammy menghampirinya dengan senyum hangat. “Kamu bete, ya? Maaf, tadi aku keasikan ngobrol sama temen lama. Kamu nggak marah, kan?”
Liana menarik napas dalam. Seharusnya ia marah. Seharusnya ia bicara. Seharusnya ia menuntut penjelasan. Tapi ia hanya tersenyum tipis. “Nggak kok. Aku ngerti.”
Dan lagi-lagi, Sammy memeluknya dengan lembut, membuat semua sakit itu terasa seperti mimpi buruk yang tak nyata.
Antara Bertahan dan Melepaskan
Ada malam-malam di mana Liana merenung sendirian di kamarnya. Ia menatap bayangannya di cermin, bertanya pada dirinya sendiri: Sampai kapan aku harus begini? Sampai kapan aku harus mengerti, mengalah, dan berpura-pura tidak sakit?
Namun begitu wajah Sammy terlintas di benaknya—dengan senyum hangatnya, dengan caranya memanggil Liana “sayang” dengan nada lembut—air matanya berhenti. Ia merasa masih kuat bertahan.
Cinta itu seperti benang tipis yang terus menahan hatinya agar tidak runtuh. Setiap kali ia hampir putus asa, Sammy datang dengan cara yang ajaib: sebuah candaan, sebuah pelukan, sebuah perhatian kecil yang membuat Liana kembali percaya.
Cinta yang Membuat Luka Menjadi Rumah
Liana sadar, ia bukanlah gadis yang kuat dalam arti biasa. Ia kuat karena terbiasa menyimpan luka sendirian, bukan karena tidak pernah terluka. Ia sabar bukan karena tidak merasa sakit, tapi karena ia memilih untuk tetap mencintai meski sakit itu ada.
Sammy, di matanya, adalah pria yang membuatnya hancur sekaligus utuh. Luka yang ia berikan selalu ditutup dengan tawa yang ia bawa. Tangis yang ia sebabkan selalu digantikan oleh pelukan hangat.
Mungkin orang lain tak akan mengerti. Mungkin banyak yang akan berkata ia bodoh, naif, atau terlalu lemah. Tapi bagi Liana, cinta itu bukan tentang menghitung berapa kali ia terluka, melainkan berapa kali ia masih bisa bertahan.
Dan setiap kali Sammy menatapnya dengan tulus, Liana merasa semua rasa sakit itu layak.
Epilog
Suatu sore, Liana duduk di taman kota. Sammy datang dengan gitar kecilnya, duduk di samping Liana, dan mulai menyanyikan lagu yang lembut. Orang-orang menoleh, tersenyum melihat pasangan itu.
Liana menatap Sammy. Hatinya masih penuh luka, penuh kenangan yang menyakitkan. Tapi ia juga tahu, di balik semua itu, ada cinta yang tak tergantikan.
“Kenapa kamu nggak pernah marah sama aku?” tanya Sammy tiba-tiba, setelah lagu itu usai.
Liana terdiam lama. Senyumnya samar, matanya berkaca-kaca. “Karena… setiap kamu datang, aku lupa kalau kamu pernah bikin aku sakit. Yang aku ingat cuma, aku sayang sama kamu.”
Sammy terdiam, menatap Liana lama sekali. Dan untuk pertama kalinya, ia menyadari betapa besar cinta yang dipeluk gadis itu.
Bagi Liana, luka bukan alasan untuk pergi. Luka adalah bagian dari cinta itu sendiri—dan selama ia masih sanggup bertahan, ia akan tetap memilih untuk mencintai.
Selesai