Kata mereka aku harus selalu tersenyum, terlebih lagi pekerjaanku hanya seorang badut. Penghibur anak-anak yang tengah merayakan ulang tahunnya atau sekadar meredakan tangisannya. Kita tak akan pernah tahu masa depan seperti apa. Kita hanya bisa memilih tapi pada akhirnya kita tetap menjalani hidup ini sesuai takdir yang telah ditentukan. Aku tak bercerita tentang sebuah rasa putus asa, dimana kita harus selalu diam untuk mengikuti arus. tapi kadang kala aku membenci hidupku. Mereka tertawa bahagia tanpa mengetahui kesedihanku. Karma, ujian atau bahkan takdir, aku tak bisa membedakan ketiganya.
Saat semua anak seusiaku menikmati secangkir kopi dengan hikmat, ada lagi yang mungkin sibuk mengurus anak-anak mereka, dan mungkin ada yang bahagia bersama harta-harta mereka. Dan aku, seorang laki-laki sedang mencari keberuntungan di tengah-tengah hiruk pikuk ibu kota ini. Ayahku meninggal ketika usiaku 7 tahun sedangkan ibuku pergi meninggalkan aku ketika ayahku sakit-sakitan. Sampai usia ku 25 tahun, aku tak mendengar kabar darinya.
Aku tinggal bersama nenek, orangtua dari ayahku. Usianya tak muda lagi, tapi ia masih bersikeras untuk bekerja membantu mencukupi biaya hidup kami. Aku pernah melakukan percobaan bunuh diri pada usia 18 tahun. Hal bodoh yang pernah aku lakukan waktu itu. Tapi aku tersadar jika aku yang meninggalkan nenek, ia akan hidup sebatang kara dengan usia hampir 90 tahun.
Hari ini aku mendapat undangan untuk menghibur anak-anak dalam rangka perayaan ulang tahun salah satu anak yang mengundangku. Aku menggunakan kostum badut seperti biasa dan menggunakan sedikit trik sulap agar mereka terhibur. Ditengah-tengah pesta itu berlangsung, sekumpulan anak sekitar 4-5 orang bersikap kurang sopan padaku. Aku tahu, aku hanyalah seorang badut, tapi aku tetap seorang manusia.
Anak-anak itu bahkan menggigit, menarik celanaku, dan ada hal yang membuat aku semakin kesal dan marah. Salah satu anak itu mengatakan, ’badut jangan marah ya kalau kita kayak gini. Kan kamu sudah dibayar mamaku’
Kau tahu bagaimana perasaanku? Marah. Tapi aku tak bisa melakukan apa-apa. Tapi siapa sangka, ada gadis kecil yang mengatakan hal sebaliknya, “kamu jangan gitu, alfin. Tapi kan om ini juga manusia. Kamu gak boleh kurang ajar gitu sama orangtua”. Batinku tersentuh. Tanpa sadar aku mulai menahan isak haru. Ada yang menjadi jahat dan ada yang menjadi baik.
Tangan gadis itu menggengggam bajuku. Ia menarik perlahan mengisyaratkan untuk segera mengikutinya. Aku bergegas menuruti kemauannya. Kami berada di lantai 3 dimana lantai 4 tempat sekumpulan orang-orang yang tengah merayakan ulang tahunnya.
“om, baik-baik saja?” katanya. Aku membungkuk, “terimakasih yaa. Badut baik-baik saja. Siapa nama kamu?” “lila om” “oh lila. Badut punya kejutan untuk kamu”
Aku menunjukkan beberapa trik sulap yang belum aku tunjukkan pada semua orang, aku tidak menyangka itu akan bekerja. Dan gadis kecil itu tertawa riang sambil mengatakan, “wah om hebat. Om hebat. Ayo tunjukkan lagi ke teman-teman supaya mereka gak nakal lagi om” gadis kecil yang bernama lila itu berlari dan tanpa sadar ia tersandung dan jatuh dari lantai tiga sampai dasar lantai. aku langsung turun untuk memastikan kondisi lila.
Ternyata orang-orang sudah berkumpul dan darah mengalir dar kepala lila. Beberapa orang sedang menelepon ambulan dan memanggil orangtuanya. Sedangkan aku hanya diam membisu walaupun beberapa pertanyaan sudah dilontarkan.
“paa, badut itu pa yang tadi bareng lila” kata salah satu anak yang mengerjaiku tadi. Semua mata tertuju padaku. Aku terkejut mendapati tatapan seperti itu, aku langsung menepis perkataannya. “bukan saya yang melakukannya” kataku. “tapi kata anak saya, kamu bareng dia tadi” “iyaa tapi bukan saya pelakunya” tatihku menahan isak tangis. “kita bawa aja ke kantor polisi” kata salah satu orang yang berada di kejadian. Tanpa mendengarkan perkataanku, tanganku diraih dengan paksa untuk dibawa ke kantor polisi. “bukaan pak.. bukaan.. saya tidak melakukannya” kataku terus menerus tapi tak ada satupun yang mempercayaiku.
Sesampainya di kantor polisi aku selalu dilontarkan pertanyaan yang menjurus bahwa aku pelakunya. Tak berapa lama orangtua lila mendatangiku, menamparku tanpa sebab. “kalau anakku mati aku bisa menuntutmu hukuman mati juga” katanya. Dia memukulku beberapa kali. Aku diam seribu bahasa. Kenapa aku jadi seperti seorang tersangka padahal aku tak melakukan kejahatan. Kenapa aku hanya bisa diam membeku. “jawab!” bentak papa lila. Aku menatap meringis kesakitan akibat pukulannya. “lila jatuh sendiri pak. Dia tersandung” tatihku. Tiba-tiba ia menunjangku dan mengatakan bahwa itu semua kebohongan. “bohong! Masih ngelak lagi. Aku pengacara, siap-siap kau dipenjara sampai mati” katanya tak karuan. Aku dimasukan ke dalam sel tahanan sampai bukti sudah terungkap. Aku tak tahu harus bereaksi seperti apa agar mereka mempercayaiku. Tak ada saksi ataupun cctv dalam kejadian itu.
Ketika 2 hari aku berada dalam sel tahanan, lila yang tadinya koma karena mengalami pendarahan hebat di kepalanya. Akhirnya memberikan keterangannya. Aku dibebaskan setelah menerima perlakuan tidak wajar bahkan tidak adil sama sekali. Bahkan.. aku dibebaskan tanpa sepatah kata. Mereka yang menuduhku tak kunjung meminta maaf. Mereka mungkin tak menghiraukan rasa sakit orang sepertiku. Mereka tetap menjalani kehidupan mewah mereka sedangkan aku harus menahan rasa sakit, sedih kecewa yang tak bisa kuapa-apakan.
Esok hari bagiku tetap sama. Bertahan dengan hal-hal kecil, menghabiskan waktu mencari uang untuk makan sehari-hari. Belajar bertahan hidup.
Cerpen Karangan: Sanniucha Putri Blog / Facebook: Sanniucha Putri
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 29 Juli 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com