Bocah lelaki itu sangat mengagumi Bapaknya. Tiap Bapaknya ada waktu luang setelah pulang dari kerja atau bertepatan ketika hari libur (tanggal merah), Bapaknya mengajarinya cara membuat layang-layang. Mulai dari cara membelah bambu, membilahnya menjadi sebatang lidi bambu, cara menyeimbangkan kerangka layang-layang sampai menjadi sebuah layang-layang yang elok dan siap untuk diterbangkan. Setelah itu Bapaknya mengajaknya ke sawah untuk bermain layang-layang.
Tiap kali melihat layang-layang yang menari-nari di angkasa langit biru, Bapaknya selalu mengatakan pada dirinya, bermimpilah setinggi langit sebab Tuhan pasti akan mengabulkan mimpi-mimpimu. Masih terlalu dini bagi bocah lelaki itu untuk memahami tentang arti mimpi. Pernah suatu ketika dia bertanya kepada Bapaknya tentang arti sebuah mimpi. Mimpi itu apa? Dengan lembut seraya duduk di ujung perbukitan seraya memandangi cahaya matahari yang hendak tenggelam menjelaskan tentang arti sebuah mimpi. Setelah mengajaknya bermain layang-layang, Bapaknya akan mengajarinya cara membaca Al-Qur’an. Bocah itu sedikit demi sedikit bisa membaca dan menghafal surah-surah pendek dari Al-Qur’an. Lalu, ketika cahaya matahari tenggelam di kaki langit, mereka berdua akan bersiap-siap berangkat ke musala untuk melaksanakan shalat Maghrib.
Tapi pagi itu—meski tidak ada firasat buruk—setelah sarapan dengan ketan dan pisang ambon, Bapaknya berangkat kerja ke kantor pos. Bapaknya bekerja sebagai tukang pos. Mengantarkan surat. Bocah itu juga berangkat ke sekolah. Didekapnya sabak-grip. Dengan naik dokar dia berangkat bersama teman perempuannya. Sore harinya, dia menunggu Bapaknya pulang. Biasanya Bapaknya mengayuh sepeda jengki tuanya dari kejauhan. Lalu di halaman rumah-nya Bapaknya akan membunyikan kliningan sepeda. Namun sore itu, Bapaknya tidak tampak. Ke manakah sang Bapak? Apakah sore ini Bapaknya tidak akan mengajaknya bermain layang-layang di sawah? Apakah Bapaknya tidak akan mengajarinya cara membaca Al-Qur’an? Sang Emak berjalan mondar-mandir dan keluar-masuk rumah panggung itu.
Bocah itu mulai gelisah. Begitu juga dengan sang Emak. Mukanya didekap oleh perasaan khawatir. Sampai menjelang Isya, ayahnya tak kunjung pulang. Tapi ketika menjelang pukul 20.00, terdengar suara sirine ambulans meraung-raung di jalan kampung. Para tetangga keluar dari rumahnya. Mobil ambulans itu memasuki halaman rumah panggung itu. Ternyata ambulans itu membawa jenazah Bapaknya. Beberapa anggota polisi yang ikut mengiringi menjelaskan pada anak-beranak itu, bahwa lelaki tukang pos itu meninggal karena tertabrak mobil. Mereka berdua menangis. Malaikat yang menyaksikan itu juga menangis.
Di samping pusara Bapaknya, bocah itu masih duduk bersimpu di tanah. Membacakan Bapaknya surah-surah dari Al-Qur’an. Memanjatkan doa ke langit dengan menengadahkan kedua tangannya. Berdoa kepada Tuhan, memohon keringanan siksa atas Bapaknya di alam kubur. Karena dia yakin bahwa—Bapaknya pernah menjelaskan pada dirinya bahwa doa anak shaleh pasti didengar dan dikabulkan oleh Allah—doanya pasti dikabulkan oleh Allah sebagaimana doanya Nabi Muhammad Saw., terhadap umatnya. Bocah itu juga mengisahkan kenangannya membuat dan menerbangkan layang-layang di pematang sawah di dekat tebing sana. Kenangan itu tidak akan pernah ter-delet dari benaknya. Dia akan menyimpannya sampai maut mempertemukan mereka di alam kubur.
—
Para calon penumpang di stasiun pagi itu sangat ramai. Ada yang berwajah Indo (setengah Eropa setengah Indonesia), Pribumi dan Eropa dengan rambut blondenya yang berderak-derak laksana ombak di lautan. Terdengar dari kejauhan suara klakson kereta api yang menuju stasiun. Jas-jus-jas-jus. Wong! Woong!! Wooong!!! Kereta itu melaju dengan kecepatan agak tinggi namun sungguh ironi, dia tetap saja berjalan lambat (untuk ukuran kecepatan MRT atau LRT) bak jamaah haji yang berjalan di terowongan Mina. Saat itu, bangsa Eropa masih tinggal di Indonesia meski secara de facto pemerintah mereka sudah terusir ke negara asalnya. Tampak saat itu seorang bocah lelaki yang membantu mengangkat koper seng ke dalam kereta api yang berhenti di peron stasiun. Lalu seorang lelaki Eropa menghaturkan terima kasih sembari mengulurkan beberapa lembar ringgit padanya. Bocah lelaki itu menerimanya, dan membalas mengucapkan terima kasih.
Setelah mengangkat koper, dia mengangkat tumpukan lembaran daun jati dan diangkut masuk ke gerbong kereta. Bocah lelaki itu tampak bersemangat sekali bekerja. Sampai-sampai seorang lelaki paro baya berkumis klimis dan berseragam rapi (kepala stasiun) merasa takjub dibuatnya. Apabila sore datang bertandang menggantikan siang, bocah itu pulang ke rumahnya dengan membawa rezeki dari hasil keringatnya sejak pagi. Dia menumpang dokar tetangganya yang biasa mangkal di depan stasiun. Semula dia ingin menggunakan sepeda Bapaknya. Namun, Emak melarangnya untuk menggunakan sepeda itu karena takut membawa petaka. Tak elok sepeda bekas kecelakaan digunakan lagi. Demikian Emaknya bernasihat.
Tapi, tanpa sepengetahuan Emaknya dia memperbaiki sepeda tua itu dan menggunakannya untuk bekerja ke stasiun. Jarak stasiun dengan rumahnya lumayan jauh. Hampir 4 kilo meter.
Bakda Zhuhur, salah seorang tetangganya menemuinya di stasiun. Saat itu dia lagi sibuk-sibuknya mengangkut koper seng dan barang milik penumpang kereta yang hendak ke Medan. Dengan tergopoh-gopoh, pria paro baya yang bekerja sebagai kusir bendi itu berlari ke arahnya. Memeluknya dengan erat sambil berurai air mata. Berkali-kali pria itu memeluk tubuh kurus bocah itu. Lalu dengan suara parau, pria itu mengabarkan sesuatu yang bakal mengguncang hidup bocah tersebut. Setelah mendengar kabar dari pria itu, dia meninggalkan stasiun. Dia kayuh sepedanya kencang-kencang. Kepala stasiun yang melihatnya pun mencegah kusir itu. Menanyakan apa yang terjadi. Dan kusir paro baya itu menceritakannnya. Bocah itu berlari dari stasiun menuju ke rumah panggungnya.
Sampai di halaman rumah panggung itu, orang-orang berkerumun bagaikan gerombolan semut yang sedang mengerumuni butiran gula. Dia menerobos hutan kaki itu hingga dirinya berada di barisan paling depan. Di teras rumahnya sudah tampak Pak Jorong, Sesepuh Adat dan tokoh agama setempat. Dia masuk ke dalam rumah. Seketika tubuhnya kaku bagai patung. Darahnya berhenti mengalir. Jantungnya berhenti berdetak. Matanya berhenti bergerak. Pandangannya lurus menghadap ke tubuh Emaknya yang kaku. Kedua matanya melotot. Dan lidahnya terjulur keluar. Karena Emaknya mati dalam keadaan gantung diri. Ketiga tokoh masyarakat itu iba melihat bocah lelaki itu. Mereka pun memeluknya. Berusaha menenangkan hatinya yang masih labil.
Sore itu, dia duduk di antara dua pusara itu. Makam Emaknya bersanding dengan makam Bapaknya. Kini dia telah sempurna menjadi yatim piatu. Emak dan Bapaknya telah diambil duluan sama Tuhan. Sejak itu Pak Jorong yang masih keluarga dari Bapaknya, resmi meng-angkatnya menjadi anak. Namun bocah itu tidak merasa enak hati atas sikap istri Pak Jorong yang agak judes. Meski Pak Jorong melarangnya agar berhenti bekerja, namun dia tetap bekerja di stasiun. Dari Pak Jorong dia mendapat sebuah informasi bahwa Emaknya nekat gantung diri karena frustasi sejak ditinggal mati oleh suaminya. Tapi dia tidak lantas percaya karena selama ini Emaknya merasa baik-baik saja. Dia yakin kalau Emaknya dibunuh.
Seperti yang dikatakan oleh kusir tua, bahwa siang itu ada seorang lelaki kaya yang naik mobil. Mobil itu berhenti di tepi jalan kampung. Lalu seorang lelaki masuk ke dalam rumah panggung miliknya. Tak lama kemudian, terdengarlah cekcok antara Emaknya dan lelaki itu. Sejurus kemudian, suara Emaknya tidak terdengar lagi. Tidak ada warga yang tahu kejadian itu karena mereka belum pulang dari kebun.
—
Setiap malam pulangnya dari bekerja, bocah itu menghabiskan waktunya di surau yang tidak jauh dari rumahnya. Di dalam surau dia membaca surah-surah Al-Qur’an. Lalu dia melanjut-kan dengan shalat berjamaah bersama jamaah kampung. Selesai shalat, dia tidak serta-merta langsung pulang melainkan masih duduk di surau bersama ustadz kampung yang disebut Datuk. Setiap malam dia selalu mendengarkan nasihat Datuk sehingga dia menjadi pribadi yang luhur. Datuk juga menghiburnya bahwa kedua Bapak dan Emaknya saat telah mendapatkan tempat yang lebih baik di sisi Tuhan. Ketika dia menanyakan tentang keadaan Emaknya yang meninggal dengan cara bunuh diri, apakah Emaknya akan masuk ke dalam surga? Ditanya seperti itu Datuk terdiam tak menjawab.
Bocah itu amat kecewa dengan sikap diam Datuk yang ragu. Dia lalu memutuskan untuk pergi dari kampung itu dan menginap di stasiun. Kepada kepala stasiun dia menceritakan ihwal kepergiannya dari rumahnya. Dia juga menyampaikan untuk meminta izin tinggal di stasiun selama belum menemukan rumah kontrakan untuk ditempati. Kepala stasiun yang merasa iba memberikan izin padanya.
Dua bulan kemudian, seorang laki-laki bertubuh gendut melihat cara bocah itu bekerja. Setelah mengangkut koper seng dan barang-barang ke gerbong kereta, lelaki gendut itu memanggilnya. Lalu lelaki itu menawarinya sebuah pekerjaan yang layak. Lelaki itu juga berjanji akan memberinya upah yang besar. Maka bocah itu menerima tawaran dari lelaki tersebut setelah mendapat persetujuan dari kepala stasiun. Keesokan harinya, resmilah dia bekerja di perkebunan sawit di Deli.
Ternyata lelaki gendut itu adalah tauke pemilik lahan sawit berhektar-hektar itu. Malam harinya, bocah itu tinggal di rumah kayu yang memang disediakan untuk para buruh yang berasal dari Jawa. Malam itu, dia berkenalan dengan seorang pria yang masih muda. Pria itu mengenalkan dirinya berasal dari Surabaya. Di dalam kamar itu, pria itu mengajaknya mengobrol ngalor-ngidul sambil menikmati segelas kopi dan tembakau.
Pria itu menceritakan pengalaman perjalanan hidupnya dari Surabaya hingga sampai di Deli. Dia juga adalah seorang yatim piatu. Bapaknya meninggal dengan menjadi korban kekejaman pemerintah Hindia Belanda. Sementara Ibunya meninggal setelah menceburkan diri ke sumur. Sejak kepergian kedua orangtuanya, hidup pria itu terkatung-katung. Saat tiba giliran bocah itu yang bercerita, dia mengatakan kalau Bapak dan Ibunya juga sudah meninggal dunia. Bapaknya tewas karena sebuah kecelakaan. Sedangkan Ibunya meninggal karena bunuh diri. Mendengar kisah dari bocah lelaki itu, pria Jawa tersebut mengernyitkan dahinya. Menurutnya, beberapa bulan yang lalu, tauke pemilik kebun sawit habis menabrak seorang tukang pos ketika pulang ke kampung halamannya. Pria itu juga mengatakan tanggal dan waktu kecelakaan itu terjadi dan sangat cocok dengan hari meninggalnya sang Bapak. Lalu dua bulan yang lalu, tauke itu pulang dalam keadaan ketakutan. Seperti dikejar-kejar setan. Polisi berkali-kali menggeruduk kebun ini tapi tauke itu selalu berkelit dari segala tuduhan yang dialamatkan padanya.
Tengah malam itu, api berkobar-kobar di sekeliling rumah panggung itu. Dengan sangat mudah, api yang melalap dinding kayu yang sudah disiram solar. Para pekerja yang tahu tentang kebakaran itu langsung menghambur keluar. Membiarkan tikar dan pakaiannya yang tertinggal dilalap si Jago Merah. Bocah dan pria Jawa itu juga keluar. Lalu mata tajam bocah itu melihat tiga orang yang berlari di perkebunan. Dia lantas mengejarnya. Lalu disusul oleh pria Jawa itu. Sesampainya di suatu tempat, muncullah tauke itu. Tertawa dengan penuh kemenangan. Tangan bocah itu mengepalkan tinju. Dengan congkaknya, tauke itu mengata-kan bahwa dirinya sudah tahu kalau bocah itu yatim piatu. Dia juga mengakui bahwa dirinya dulu pernah mencintai perempuan itu tapi dia malah menikah dengan laki-laki lain.
Selama ini, dialah yang telah menabrak tukang pos itu saat sedang mengantarkan surat dan barang. Dia melakukannya karena dendam yang masih membara. Hatinya masih terluka. Setelah kematian lelaki itu, dia mendatangi rumah mereka untuk menemui kekasih-nya. Dia memintanya untuk kembali dengan jalan menikah dengannya tapi perempuan itu tidak mau. Mereka berdua saling beradu mulut. Karena sakit hati, tauke itu membunuhnya dengan cara menggantungnya di dalam kamar. Untuk menghilangkan bukti dia cepat-cepat pergi ke Deli. Tapi rupanya ada seorang yang melihat aksinya. Karena kurang bukti, polisi tidak bisa langsung menangkapnya. Tapi setelah membunuh perempuan itu dia tampak sekali ketakutan seakan-akan dibayangi oleh arwah perempuan tersebut.
Setelah menceritakan semua kejahatannya, tauke itu mengeluarkan sebuah pistol dan menodongkannya pada bocah itu. Lalu dia menarik pelatuk pistol, bersiap untuk melepaskan pelurunya ke arah kepala bocah lelaki tersebut. Bocah itu terlihat pasrah. Dia memejamkan kedua matanya. Saat itu dia terbayang kala Bapaknya memboncengnya dengan sepeda jengki tua. Mengajaknya bermain layang-layang. Pergi ke pantai sambil belajar membaca Al-Qur’an. Sepeda Bapak yang telah membuat banyak kenangan indah bersama sang Bapak.
Sebelum peluru itu muntah dari pistol dan mengenai batok kepalanya, terdengar suara bunyi pistol. Tapi dirinya masih hidup. Dirinya belum mati. Tidak ada peluru yang menembus di batok kepalanya. Tidak ada darah yang mengucur dari dahinya. Lalu dia membuka kedua matanya. Ternyata tauke itu sudah roboh di hadapannya dengan mata melotot. Darah segar mengucur dari dahi pria itu. Ya, di belakangnya tampak beberapa anggota polisi berdiri dengan mengacungkan mulut pistol ke arahnya. Malam itu, tamatlah riwayat pembunuh kedua orangtuanya.
Kota Angin Timur, 2021
Cerpen Karangan: Khairul azzam el maliky Blog / Facebook: @khairulazzamelmaliky Novelis. Karyanya yang sudah terbit antara lain: Sang Kiai, Metamorfosa, Sang Nabi (2021). Aku, Kasih dan Kisah, Jalan Setapak Menuju Fitrah, Aku, dan Kata Selesai (Kumpulan cerpen, 2021). Dan 30 novel di Kwikku.com.
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 8 Oktober 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com