Dulu, aku teramat membencimu, sungguh. Kau telah melabrak keputusan Tuhan. Bukankah kita sama-sama telah dianugerahi dua gunung mustika dan satu gua permata yang ketika dijamah rasanya lebih nikmat ketimbang menghisap g*nja? Nafsumu bengkok, tidak berorientasi pada yang kaprah. Tak seperti manusia bahkan hewan pada umumnya. Apa mungkin kau sisa Kaum Sadom yang masih diberi kesempatan untuk hidup di zaman i-generation ini?
Djokjakarta, di sana kita saling kenal, kita satu Universitas, satu fakultas, satu prodi dan sagu kelas kelas bahkan kontrakan kita hanya berjarak 10 meter. Dulu, aku pikir kau preman jalanan, sebab kaus hitam yang dibalut jaket levis biru dongker dan celana jeans sobek menjadi penampilan ciri khasmu padahal kau sama sepertiku. Badanmu ringkih, matamu cekung berlingkar hitam, rambut panjangmu kau ikat ke belakang, bibirmu kering retak kehitaman, gigimu menguning serta gusimu hitam kecoklatan.
“Ini diriku” ucapmu suatu waktu. Setiap kali kau merokok, kau senang sekali menyemburkan kepulan asap berbentuk lingkaran ke arah wajahku. “Aku senang melihat wajahmu dari balik kolong asap itu” nyatamu dulu. Kau tidak suka bahkan sangat benci jika ada lawan jenis yang mendekatimu. Padahal, meskipun penampilanmu begitu, banyak yang menyukaimu, tapi kau malah membuatnya babak belur. “Apa kau waras?” tanyaku spontan. Kau hanya tersenyum simpul lalu menatapku intens. “Ini caraku” ucapmu di tengah-tengah kunyahan mulutmu, dulu, di restoran itu. Dahiku mengerut hingga mataku memicing tak mengerti akan maksudmu “Bisa diperjelas?” Kau tak menyahut hanya mengangkat kedua bahumu dan mencebikkan bibirmu. “Siapa lelaki yang tadi?” Aku ingat tanyamu dulu, “Pacarku” jawabku simpel. Kau hanya mengangguk pelan berulang kali. Kau hisap kasar rokokmu dengan mata terpejam erat dan menunduk ke bawah. “Jangan berhubungan dengan laki-laki!” Semburmu saat itu. Aku hanya terkekeh menertawakanmu. Aku pikir kau bercanda saat itu.
Kita sahabat yang begitu dekat. Kita paham betul bagaimana sikap kita masing-masing. Saking dekatnya, nada tangis dan tawa kita masing-masing, kita pun sangat hafal. Namun kau tak pernah menangis. Beda denganku. Banyaknya tahi lalat kita masing-masing kita bahkan sama-sama tahu. Bersahabat denganmu, aku nyaman dan bahagia.
“Kau sahabat terbaikku” utaraku suatu waktu. “Bukan!” Balasmu. “Loh, kok bukan?” kau tak menjawab, hanya berlalu meninggalkanku si ruang tamu. “Dua orang yang memutuskan untuk menjalin persahabatan, salah satu atau mungkin kedua-duanya pastilah mempunyai perasaan lebih” Kau berujar pelan setelah kakimu kau ayunkan beberapa langkah. Aku yang mendengarnya langsung tertawa terpintal-pintal. “Lucu” pikirku saat itu.
Setiap malam, kau tidak pernah absen mampir ke kontrakanku untuk berdiskusi, ngopi atau mungkin menonton televisi. Setiap jam 10 malam, kau pasti pamit untuk pulang, saat ditanya alasan, kau bungkam tak bersuara. Saat itu, yang membuatku merasa aneh, setiap pagi buta, sering kali aku mendapati pintu kamar dan pintu utama kontrakanku sedikit menganga, padahal setiap malam aku tidak pernah lupa menutupnya meski tak menguncinya. Di pojok bawah pintu kamarku pasti ada sepuntung atau dua puntung rokok yang tergeletak. Di pipi dan leherku pasti ada bekas merah. “Mungkin cuma bekas garukanku saat tidur” pikirku.
Malam itu adalah malam terakhir kita bersama, keesokan harinya kita akan pulang ke rumah masing-masing, aku ke Madura dan engkau ke Jakarta. Kita telah sama-sama menyandang gelar sarjana. Saat itu kita ngobrol santai sambil nonton televisi di kontrakanku cukup lama, saat kau pamit pulang, tiba-tiba hujan bertandang, aku langsung menyarankanmu untuk bermalam di kontrakanku, kau pun mengangguk dan kembali duduk. Rintik hujan yang menabrak atap menciptakan irama yang begitu tenang, disertai suara kodok yang saling bersahutan mengalun syahdu di telinga yang seketika mengundang kantukku untuk datang, hingga beberapa kali aku menguap.
“Aku tidur duluan” Pamitku disela-sela uapan mulutku, kau mengangguk pelan lalu mengeluarkan satu bungkus rokok dari saku jaketmu mengambilnya satu batang kemudian kau sulut, asapnya kau hembuskan kasar ke atas. Melihatmu, aku hanya menggeleng heran. Aku berdiri lalu berjalan dengan langkah lunglai menuju kamar. “Nanti kalau sudah ngantuk, tidur saja di kamarku” Saranku setelah beberapa meter kakiku melangkah. Kau mengangguk lagi.
Sesampainya di kamar, kulepas ikat rambutku membiarkannya tergerai bebas, kubuka bajuku dan menggantinya dengan baju tidur, tanpa lama-lama, segera kumatikan lampu dan langsung saja kurebahkan tubuhku ke atas kasur, kutarik selimut hingga menutupi leher.
Satu jam mataku terpejam, namun sukmaku masih belum bisa hanyut ke alam mimpi. Pikiranku bertamasya ke mana-mana. Padahal, aku sama sekali tidak mempunyai beban pikiran. Ibu, dan juga Fhieq Achmad, pacarku semuanya baik-baik saja. Kutarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan, dan mataku kembali kupejamkan.
Sebelum benar-benar terlelap, aku merasa ada sesuatu yang lembut namun kering berbau asap mendarat cukup lama di pipiku kemudian berpindah pada leherku. Aku Separuh sadar saat itu dan hanya menganggapnya sebagai mimpi. Setelah itu, aku merasakan ada suatu belahan lembut dan lembab menempel dan bergerak pelan di tulang punggung kiriku, kemudian di dadaku serasa ada sesuatu yang menjalar. Aku panik, napasku berhembus cepat. “Tidak! Ini bukan mimpi” batinku risau saat itu, segera aku bangkit dari tidur terlentangku, kulihat di samping kanan dan kiriku dengan tatapan awas penuh waspada. Dan benar, ternyata ada seseorang di samping kiriku. Meskipun gelap, aku masih bisa melihatnya
“Siapa kau?” aku semakin panik, dia pun tidak menyahut. Aku Langsung terperanjat menuju skakel untuk menyalakan lampu. Deg…! Jantungku berdetak heroik, ku kucek kasar kedua mataku, menelisikmu dari ujang kaki hingga ujung kepala. Aku menatapmu penuh kejut, kecewa, heran, aneh dan penuh amarah.
“Aku minta maaf, aku mencintaimu Anis Safitry” Ucapmu pelan yang membuat amarahku semakin tersulut. “Kau gila!” Suaraku lantang, aku langsung menghampirimu dan menamparmu cukup keras. Aku menangis sejadi-jadinya. “Maafkan aku, jika aku berbeda Anis” katamu lagi. Aku menamparmu lagi hingga pipimu berdarah. “Dasar Lesby! Tidak ada kata maaf untukmu!” Tangisku semakin pecah.
Saat itu aku langsung bergegas memungut baju-bajuku dan meletakkannya ke dalam koper, aku tidak kuat berada di tempat itu lagi meski hanya separuh malam. Aku ingin pergi, aku sakit hati. Aku tidak menyangka, bahwa sahabat terdekatku selama empat tabun adalah seorang pecinta sesama jenis. Aku sangat membencinya! Sungguh, dan tidak ada kata maaf untuknya, aku malu, aku jijik mempunyai sahabat seperti dia! Apa lagi aku korbannya.
3 bulan setelah itu, musibah besar menimpaku, ibuku ditabrak lari saat berlibur bersamaku di Jakarta, keadaannya begitu kritis, hingga Dokter mengatakan bahwa jantung ibuku sudah tidak berfungsi hingga harus menjalani transplantasi jantung. Dan harus segera dilakukan jika ingin nyawa ibuku terselamatkan. memang, ibuku selalu bermasalah dengan jantungnya, jantung ibuku memang lemah sejak lahir.
Dada dan tenggorokanku terasa disumbat pasir panas. Sesak, panik, sedih, gila berbagai macam pikiran buruk mulai menghantuiku, aku terus menangis, tidak terhitung sudah berapa banyak air mata yang ku alirkan. Aku begitu menyayangi ibu, aku tidak punya ayah, aku hanya tinggal berdua bersama ibuku sejak kecil. Jika ibu tiada, dengan siapa lagi aku tinggal?, ibu yang telah membiayai kuliahku 8 semester dengan berjualan Es keliling. Jika ibu tiada, lebih baik aku juga tiada.
Dokter masih belum menemukan orang yang tepat untuk didonorkan jantungnya, aku hanya terus menangis di samping ibu yang berbaring tidak berdaya. “Bu, bangun bu” Aku semakin terisak menangis, dadaku terasa sempit dihimpit bukit, perih serasa dibidik ribuan sumpit.
Kringgg….!!!! Ada seseorang yang mengirimiku pesan. “Ini maafku” aku bingung. Siapa dia? apa maksudnya? aku tak mengerti.
Aku tidak bisa melihat ibu, aku tidak mampu. Meski ibuku telah sembuh dan berhasil menjalani transplantasi jantung, aku tak ingin melihatnya, hatiku terasa nyeri dan sesekali pingsan saat melihatnya. Dan ibuku mengerti tekanan batinku. Aku belum siap. Aku hanya mengurung diri di dalam kamar.
Aku telah berjanji tidak akan pernah memaafkanmu dulu, namun sekarang? Aku harus bagaimana? Jantungmu berada dalam raga ibuku, aku memang ingin ibuku sembuh, aku memang tidak bisa hidup jika tanpa ibu, namun, sekarang aku harus bagaimana ibuku telah sembuh, tapi aku tidak mampu melihatnya. Melihat ibuku, aku seperti melihatmu. Dan memori peristiwa keji itu langsung berputar dalam ingatan.
“Sebelumnya dia mendatangiku, mengabarkan bahwa ada seseorang yang tepat untuk mendonorkan jantungnya pada ibumu, lalu dia menyuruhku ke belakang Rumah sakit 10 menit lagi, dia kemudian berlalu dengan menyisakan kebingungan pada benakku, karena keadaan sudah gawat darurat, meskipun aku tak mengerti, 10 menit berselang, aku benar-benar ke belakang Rumah Sakit, Dan aku begitu terkejut dan tak percaya saat melihat dia tersungkur penuh darah, dia menjatuhkan dirinya dari lantai 10, badannya remuk. Sebelum dia meninggal, dia memerintahkanku untuk cepat-cepat mengambil jantungnya dan segera didonorkan pada ibumu yang katanya sebagai tanda maaf atasmu” ungkap Dokter, dan aku langsung pingsan.
Seandainya kita terlahir berbeda, mungkin tidak akan seperti ini, aku akan tulus mencintaimu sebagai lelakiku atau aku akan tulus mencintaimu sebagai wanitaku. Aku menyesal terlahir sebagai perempuan.
Lapa Laok, Rabu, 30 Juni 2021
Cerpen Karangan: Fhieq Achmad Blog / Facebook: Fhieq Achmad *Santri Aktif PP. Annuqayah
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 21 November 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com