Semilir angin malam menerpa wajah yang tengah memandang jauh sebatas cakarawala. Deburan ombak sesekali hadir menggetarkan gendang telinga, termasuk suara benturan keras itu. Bukan hanya hadir di telinga, tapi terekam jelas di memori jiwa. Tuhan menghadirkanmu hanya untuk menemaniku di malam ini, tapi tidak untuk malam selanjutnya. Tak ada lagi malam cerah bersanding ombak yang mesra mencium bibir dermaga, melainkan hanya tatapan kosong yang memandang jauh ke cakrawala. Kemarilah, temani aku untuk menikmati malam seperti waktu itu! Dengan segelas es durian dan tatapan yang terus mengarah ke depan.
—
Malam minggu memang selalu berbeda dari malam sebelumnya. Apalagi dihabiskan di sebuah kota yang terkenal dengan kebersihannya. Seperti halnya malam ini di Lapangan Jingga yang selalu ramai oleh pengunjung ketika gulita menyapa. Meskipun letaknnya yang bersandingan dengan Rumah Sakit Hijau, lapangan ini tidak pernah sepi dari pengunjung tiap malamnya.
Claudia, malam minggunya kali ini berbeda dari biasanya. Jika pada malam minggu biasanya ia akan bertolak dari rumah menuju ke Lapangan Jingga, kali ini ia akan memulainya dari RS Hijau. Itu karena ia harus menemani Mamanya yang tengah melahirkan adiknya yang pertama. Ya, tepat delapan jam yang lalu ia resmi menjadi seorang Kakak. Jika kalian bertanya berapa selisih umur Claudia dengan adiknya itu, jawabannya adalah 19 tahun. Jangan terkejut, itu karena Mamanya memiliki gangguan di rahim.
Ketika guratan merah di cakrawala telah sempurna ditelan oleh bumi, Claudia mulai menuruni anak tangga Rumah Sakit Hijau. Saat ia baru saja sampai di lobby rumah sakit, matanya langsung disapa dengan pemandangan seorang lelaki terluka parah diatas kasur yang sedang dibawa ke UGD. Ia yang sedikit ngeri dengan darah pun bergidik ngeri kala melihatnya.
“Permisi, Pak. Itu barusan korban kecelakaan?” Tanya Claudia yang penasaran pada satpam penjaga pos pintu masuk. “Iya, Neng. Itu kecelakaan gara-gara konvoi motor.” Jawab Sang Satpam. “Ooh, gitu, makasih, ya, Pak.” Ucap Claudia lalu melenggang pergi meninggalkan area rumah sakit menuju ke Lapangan Jingga.
Dalam derapan langkahnya, Claudia bersenandung sembari menikmati kerlip lampu yang menghiasi lapangan dari kejauhan. Melihat banyak kendaraan roda dua yang berjajar di tepian lapangan membuat Claudia juga ingin merasakan malam minggu bersama teman-temannya. Namun, baginya kesendirian adalah hal yang paling menyenangkan. Tidak ada manusia penganggu ketenangan, dan ia bisa menari-nari dengan khayalan yang selalu mengisi ruang imajinasi.
Saat Claudia memutuskan untuk duduk di kursi yang disediakan oleh food court, dan memesan seporsi es durian, pandangannya teralihkan oleh gerombolan geng motor pencinta alam. Melihatnya, ia jadi teringat pada Aries, sahabat lelakinya semasa di SMA dulu. Posisi duduknya yang mengarah ke geng motor tersebut, membuat Claudia dapat melihat apa saja yang sedang terjadi disana. Saat Claudia tengah menari dengan imajinasi, ia melihat salah seorang lelaki dari geng motor tersebut tengah berjalan menunju kearahnya. Tepatnya ke food court yang menyediakan es durian sebagai menu utama. Lelaki tersebutpun duduk di samping Claudia setelah memesan seporsi es durian. Dengan boomber hitam, sepatu gunung, celana berbahan levis, dan rambut yang sedikit basah, lelaki tersebut nampak serasi dengan Claudia yang memakai jilbab hitam, hoodie hitam, dan kulot abu-abu juga sneakers hitam setinggi mata kaki.
“Mba.” Sapa Sang lelaki pada Claudia. “Em, iya. Ada apa?” Balas Claudia yang tengah memandang kearah jalan. “Saya Gema, Mbanya?” “Oh, saya Claudia.” Jawab Claudia dengan tampang yang tidak menyangka karena Gema tidak menjulurkan tangannya saat berkenalan. “Kamu muslim?” Tebak Claudia pada Gema. Sebenarnya ia tidak perlu bertanya agama disaat perkenalan dengan orang asing seperti ini, karena biasanya beberapa orang akan sangat sensitif jika ditanyai perihal agama. Tapi apa boleh buat, rasa kaingintahuannya tentang mengapa Gema tidak menjulurkan tangan saat berkenalan lebih besar daripada rasa sungkannya saat ini. “Iya, memang terlihat, ya, aura muslimya? Haha…” Jawab Gema dengan sedikit tawa untuk meredakan kecanggungan. Entahlah, suasana yang menyelimuti mereka berdua memang terasa sangat canggung, padahal keduanya sama-sama baru bertemu malam ini. Tidak seperti saat mendaki gunung, dimana Gema bisa langsung menikmati kenyamanannya tanpa perlu basa-basi.
Setelah menunggu beberapa saat dan hanyut dalam obrolan, akhirnya pesanan es durian merekapun sampai. Dibawah sinar bulan, dan suara deburan ombak yang kalah dengan riuhnya suasana lapangan, mereka mulai menikmati buah durian yang sangat terasa di setiap sendoknya. “Iya pasti, kamu, kan, tadi tidak menjulurkan tangan saat berkenalan.” Dengan menggunakan bahasa yang baku, obrolan mereka terasa tidak begitu formal seperti perspektif orang-orang ketika menggunakan bahasa yang baku. “Oh, hehe.. iya, maaf, saya sudah terbiasa soalnya.” “Kamu anggota geng motor itu?” Tanya Claudia. “Iya.”
Dengan terus melemparkan kata, mereka terus berbicara dengan tatapan yang terarah ke depan. Terasa aneh memang, berbicara tanpa melihat lawan main. Tapi itulah mereka, manusia Tuhan yang sama-sama punya pribadi seperti itu. Obrolan mereka ringan saja, hanya sebatas pribadi masing-masing, namun terlihat sangat hangat, tidak seperti saat awal tadi, canggung.
“Gema, rambutmu basah, memang di daerah mana yang hujan?” “Oh, ini. Tadi terkena air wudhu.” Jawab Gema santai sembari merapikan rambutnya yang sedikit berantakan dan basah menggunakan tangan. Dan saat itu pula Claudia memandang kearah Gema yang masih pandangannya masih menyapu jalanan. Wajah Gema yang manis nyatanya hanya bisa ditatap sebentar saja oleh Claudia. Karena suara salah seorang anggota geng motor Gema telah mengultimatum anggota lainnya untuk segera melanjutkan perjalanan lagi.
“Eh, Cla, saya mau melanjutkan perjalanan lagi, ya. Bye, selamat tinggal, Cla.” Ucap Gema pada Claudia. “Eh, iya, bye.” Balas Claudia singkat. Namun, saat Gema sedikit melangkah menjauhi tempat Claudia berdiri, Claudia pun memberikan sedikit kalimat pada Gema. “Gem, hati-hati, jangan ngebut, tadi aku liat pasien kecelakaan soalnya, karena konvoi motor.” “Iya, Cla. Tenang saja, aku tidak begitu.” Jawab Gema santai saat berbalik badan kearah Claudia.
Saat Gema kembali ke teman-temannya, saat itulah Claudia juga kembali ke RS Hijau tempat Mama dan Adik Barunya berada. Langkahnya yang sedikit cepat membuat Claudia cepat sampai di pelataran rumah sakit elit itu. Namun, saat ia hendak melewati Gerbang Rumah Sakit, ia dikejutkan dengan suara dentuman yang disertai dengan decitan dari arah Lapangan Jingga. Betapa terkejutnya ia saat melihat sebuah truk tronton telah menutupi bahu jalan di lingkungan lapangan. Tak lama kemudian, dari kejauhan telah terlihat banyak orang yang berkerumun di sekitar truk kecelakaan itu. Claudia ingin melihat kejadian disana dengan lebih dekat, tapi, ketakutannya akan darah meruntuhkan keingintahuannya.
Tidak sampai lima menit, ambulan yang baru saja keluar dari pelataran RS Hijau kini telah kembali dari lokasi kejadian kecelakaan truk itu. Dengan sigap Claudia mendekat kerah ambulan yang kini telah terparkir di denpan Ruang UGD. Entahlah, Claudia merasa ada sesuatu yang mendorongnya untuk melihat siapa korban kecelakaan itu. Namun, tubuhnya lemas seketika saat dirinya merasa tidak asing dengan jaket dan sepatu gunung yang dipakai lelaki yang telah berlumuran darah itu.
“GEMAA…”
—
Cla, kecepatan motor saya tidak melebihi batas maksimum. Saya sudah berhati-hati, sesuai dengan apa yang kau pinta. Hanya saja truk itu yang tiba-tiba menabrakku dari belakang.
Cerpen Karangan: Khatrin Nada Arika Blog / Facebook: Khatrin Nada Arika
Remaja yang ingin dunia mengetahui keberadaannya.