Kala itu, matahari bersembunyi dibalik tebalnya Stratocumulus hingga mengakibatkan siang yang seharusnya panas terik menjadi sedikit mendung. Satu hal yang ada di pikiran pada hari yang melelahkan adalah pulang ke rumah sembari menelentangkan tubuh di atas kasur lembut murahan yang didapat Kodi dari sunday sale toko furnitur di ujung kota.
Seraya melewati polusi suara dan udara di sepanjang jalan, Kodi merasakan sesuatu di saku celananya, bersumber dari getaran ponselnya. Kodi terlalu lelah untuk berhenti dan mengambil ponselnya, sehingga ia mengabaikannya dan ingin terus melaju hingga sampai di rumahnya. Namun, ponsel itu terus bergetar dalam perjalanannya, niat awal untuk mengabaikannya menjadi terusik oleh kerisihannya.
Akhirnya ia memberhentikan kendaraan dan menjawab panggilan itu. “6 missed calls from Damar” Tertera di layar ponselnya dibarengi notifikasi panggilan dari Damar. Damar adalah rekan kantornya, ia tidak terlalu dekat dengannya akan tetapi mereka sering mengobrol mengenai urusan pekerjaan.
“Di, kamu dimana? sudah tujuh kali ditelepon tidak dijawab” sebelum Kodi berkata-kata, Damar sudah mendahului. “Ada apa?” jawab Kodi. “Kuswan Di, Kuswan meninggal!” lanjut Damar. “Hah?” ucap Kodi penuh rasa heran.
Butuh waktu beberapa detik untuk akhirnya Kodi dapat mengeluarkan kata-kata. “Yang benar saja! Siang tadi aku dan Kuswan masih mengobrol biasa masa tiba-tiba meninggal” sanggah Kodi, yang masih mengelak kabar tidak mengenakkan itu. “Kodi, sekarang bukan waktu untuk berdebat! lebih baik kamu pergi ke rumah duka! aku dan yang lain akan sampai disana sebentar lagi.” lalu panggilan itu diakhiri Damar.
Kodi membeku, ia masih memproses kabar yang mampet di pikiran itu karena masih tidak mau mempercayainya. “Duh, kenapa harus di hari yang melelahkan seperti ini, sial!” ujar Kodi dengan nada kesal.
Rumah Kodi berada di sisi barat kota, sementara rumah Kuswan di sisi timur, daerah perbatasan antara tengah kota dan ujung kota, sehingga Kodi harus memutar balik. Di perjalanan menuju rumah Kuswan, pikiran Kodi bercampur aduk tidak karuan. Ia sangat lelah dan sangat ingin pulang, Kodi masih tidak ingin menerima kenyataan bahwa rekan kantornya telah tiada. Ia sangat berharap semuanya hanya halusinasi akibat rasa lelahnya saja. Tetapi Kodi sudah cukup dewasa untuk menyadari bahwa dunia tidak selalu sesuai dengan apa yang dipikirkannya.
Pikirannya terus berputar-putar, sehingga perjalanan menuju rumah Kuswan seolah terasa sangat jauh. Ia sungguh kebingungan mengenai apa yang akan dilakukannya saat telah sampai disana, akibat rasa kesal, lelah beserta kabar yang datang tiba-tiba membuat pikirannya kebingungan dan seolah kesedihan adalah sesuatu yang asing untuk dirasakan dalam kondisi seperti ini. Sementara itu, kendaraan roda duanya terus melaju hingga akhirnya sampai di depan pekarangan rumah teman karibnya yang meninggal itu.
Saat tiba, Kodi tidak merasa sedih, juga tidak merasakan duka sama sekali. Mungkin akan banyak yang berpendapat bahwa Kodi merupakan seorang psikopat yang tidak merasakan emosi. Akan tetapi kenyataannya tidak demikian. Bagi Kodi, ia sedang diliputi rasa bingung, batinnya sedang mengalami getaran dan terguncang sehingga ia tidak dapat bersikap normal. Perlahan, rasa takut dan gugup timbul dalam batin Kodi. Takut akan reaksi dan pandangan orang akan dirinya yang tidak menampakkan kesedihan dan duka.
Kodi kini sudah didepan pagar rumah temannya, mematung tidak bergerak. Ia berniat pulang dan datang lagi setelah temannya dikuburkan, tetapi urung niatnya itu karena sosok dibelakangnya tiba-tiba menepuk pundaknya seraya menyapanya.
“Kodi, ayo masuk!” ujar sosok itu yang ternyata adalah Damar. “Tunggu, masuknya bareng saja.” Ucap Kodi dengan nada penuh keraguan. “Loh, kenapa? Bukannya kamu sering kesini? kok takut begitu?” ucap Damar dengan penuh keraguan pula. “Ya, sekalian saja. Kukira kamu kesini bareng orang-orang kantor, eh malah datang sendiri.” Ucap Kodi yang bersyukur di saat batinnya tengah gugup, masih sanggup memikirkan alasan yang dikiranya logis agar temannya tidak curiga. “Rencananya begitu. Tapi waktu di jalan ban mobil Rio bocor. Ali dan Warto ikut bantu bawa ke bengkel, lalu aku disuruh datang kesini duluan.”
Lantas, Damar dan Kodi masuk ke rumah sahabatnya yang telah tiada itu. Mereka sama-sama sahabat karib Kuswan, sama-sama bekerja di satu kantor. Satu-satunya perbedaan keduanya adalah pada wajah Damar terpancar kedukaan, sementara Kodi tidak. Hal itu membuat Kodi tambah terguncang sembari melangkah masuk rumah duka.
Suasana rumah itu begitu gelap dengan sinar-sinar putih yang menyilaukan dari jendela. Semuanya berduka. Istrinya, anak-anaknya, keluarganya hingga Damar yang mulai meneteskan air mata dan bersendu. Teringat akan temannya yang banyak membantu itu. isak tangis, suara-suara penuh pilu dan penyesalan. Gerak gerik tangan mengusap air mata berkali-kali, layaknya penyeka kaca yang membersihkan kaca mobil agar pandangan tetap jelas. Kodi mendengarkan dalam-dalam dan mencoba menghayati suara-suara dan isak tangis kedukaan itu, kendati demikian tetap saja rasa duka belum menampakkan diri di dalam batinnya. Rasa cemas dan takut yang menyelimuti juga tidak membantu sama-sekali untuk mengundang rasa sedih akan kehilangan.
Adik Kuswan, Watiastri tidak dapat menahan rasa pilunya atas kepergian kakaknya itu. Pipinya basah oleh air mata, matanya sembab akibat tak hentinya menangis. Anak-anak Kuswan, dan kerabatnya yang lain juga tak berbeda kondisinya saat itu. Namun yang membuat Kodi benar-benar terenyuh adalah saat melihat istri Kuswan, Elmira. Wajahnya tak luput dari pancaran rasa duka, layaknya anak-anak, adik dan kerabat Kuswan yang lain. Akan tetapi, Kodi terfokus pada Elmira yang memiliki pribadi tegar, keras dan sangat berpendirian, dimana sebelumnya pernah merasakan kepedihan yang pahit saat mereka mendapati bahwa bayi di dalam kandungannya gugur saat lahir, tetap tegar dan tidak terbenam dalam arus kesedihan mendalam. Kini, dengan mata yang semakin melebam, seolah-olah air mata yang menetes tidak ada habisnya. Beserta isak tangis yang semakin lama terdengar semakin semu dan sendat. Tubuhnya tampak lemah, tetapi tidak pingsan. Jantungnya serasa memompa arus kesedihan yang deras mengalir alih-alih darah agar tubuhnya tetap bertahan.
Itu merupakan pemicu awal yang membangkitkan sedikit rasa duka pada diri Kodi, Jika orang yang tegar seperti itu dapat tenggelam dalam rasa duka, kenapa ia tidak bisa? Pertanyaan itu muncul dipikirannya, dan terus menusuk batinnya yang bingung itu. Hal itu menumbuhkan rasa sedih pada dirinya. Kenangan tentang temannya itu lalu mulai memenuhi pikiran Kodi, layaknya perahu yang terbawa arus deras. Air mata-nya pun mulai menetes deras, membasahi pipinya yang sebelumnya kering, akibat debu-debu lalu lintas di perjalanan. Kenangan-kenangan itu tak hanya melewati pikirannya, namun juga bersemayam sesaat, seolah-olah ia merasakan kembali masa-masa lampau tersebut bersama temannya itu.
Kini, ia sudah berada di depan jenazah Kuswan. Mata Kodi terpaku pada kakinya, pandangannya serasa terkunci dan tidak dapat menoleh bebas. Kodi sengaja, ia tidak kuat untuk melihat wajah temannya itu untuk terakhir kali, walaupun di lubuk hatinya yang terdalam berkata lain. Ia bahkan tidak tahu harus merasakan bahagia karena akhirnya dapat merasakan duka atau merasa sedih karena temannya sudah berkurang satu, atau dengan kata lain satu-satunya teman dekatnya sudah pergi meninggalkannya. Perasaan ambivalen itu juga lah yang membuatnya tersadar bahwa kehidupan di dunia ini sungguh sangat singkat, untuknya yang sedari dulu menyia-nyiakan hidup dengan ketidakpedulian.
Suara mesin motor yang khas itu membangunkan Lily yang sebelumnya hanya setengah tidur. Di malam yang kelabu, tidak ada rasa takut dan cemas akan suara kedatangan di depan rumahnya kala itu, karena suara motor itu sangat familiar baginya. Suara mesin motor itu pastilah bersumber dari milik suaminya yang sudah dikendarai selama setengah dekade. Kala itu suaminya tidak mengetuk pintu, Lily merasa heran namun dengan gesit ia bukakan jalan masuk rumah itu untuk suaminya. Kodi hanya terdiam sebentar saat pintu akhirnya dibuka, lalu tiba-tiba memeluk istrinya. Pelukan itu perlahan berangsur menjadi erat, rasa bingung semakin mengepul pada pikiran Lily, kenapa gerangan suaminya tiba-tiba memberi pelukan di malam hari? Namun ia memilih untuk tetap diam dan membalas pelukan itu dengan kehangatan.
Tak terasa sudah berapa menit mereka berpelukan, sesaat sebelum Lily membuka mulut, Kodi melepaskan pelukan. Kehangatannya kini telah hilang, hanya ada rasa kelam. Kodi lalu masuk rumah dan berangkat ke meja kerjanya tanpa sepatah kata. Pintu kemudian ditutup Lily, kebisuan Kodi seperti menular kepada dirinya, ia juga merasa tidak ingin memulai percakapan.
Lily melihat Kodi di meja kerjanya, meja itu terdapat di ujung ruangan kamar tidur mereka. Biasa digunakan Kodi untuk menyelesaikan sisa pekerjaan atau untuk sekedar membaca dan melihat langit. Ia mencoba melepaskan kebisuan dengan menyapa sang suami namun tidak ada jawaban. Lalu mendekati dan menepuk pundaknya, namun tetap tak ada jawaban. Jantungnya hampir berhenti berdetak, namun ia tetap mencoba tenang.
Saat menyalakan lampu kamar akhirnya ia sadar bahwa suaminya itu tertidur. Saat itu ia berpikir bahwa Kodi bekerja terlalu keras, sehingga tiba di rumah dalam keadaan sangat lelah. Lily menjadi bimbang kala itu, tega kah ia membangunkan suaminya untuk berpindah tidur ke tempat tidurnya atau tega kah ia mengganggu istirahat sang suami yang sungguh kelelahan.
Sembari memutuskan, Lily membereskan meja suaminya dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara yang dapat membangunkan tidur. Meja itu tidak terlalu berantakan, hanya terdapat secarik kertas dan sebuah bolpoin berwarna tosca yang sering digunakan suaminya. Awalnya, ia tidak merasa ada sesuatu yang aneh. Kiranya secarik kertas itu berisi hal-hal penting yang harus dikerjakan Kodi, karena suaminya memiliki kebiasaan mencatat hal-hal penting setiap harinya sebagai pengingat. Namun, kertas itu adalah kertas buku biasa, yang bentuknya tidak karuan pertanda bahwa telah dirobek sembarang. Kodi biasanya menggunakan kertas khusus untuk menuliskan hal-hal penting, dan kertasnya selalu rapi.
Perasaan tidak tenang kembali menyelimuti Lily, malam itu sudah tiga kali ia diestrum kecemasan. Dengan perlahan dan penuh penasaran ia mengambil kertas itu dan mencoba mengamatinya. Secarik kertas itu berisi tulisan tangan dengan noda-noda basah bekas air mata. Setelah membaca dengan perlahan dan fokus, ia akhirnya dapat menghembuskan nafas dengan lega, isinya memberi jawaban keanehan tingkahnya pulang kemarin.
Ia lalu membangunkan suaminya dan mengantarkannya ke kamar tidur, setelah itu ia duduk termenung di meja kerja suaminya. Bersandar dengan menggenggam secarik kertas itu, lalu membaca dengan pelan dan samar-samar, sembari menangis. Ia tidak mengetahui apakah itu air mata kesedihan, ataukah air mata haru. Namun yang ia ketahui, air mata itu mengandung empati, layaknya makna dari tulisan pada kertas itu, sebuah puisi yang dibuat suaminya, entah untuk dirinya sendiri atau untuk keluarganya atau untuk siapa lagi. Namun yang ia ketahui, kesedihan itu dapat menular. Namanya adalah “empati”.
Tentang Kematian
Betapa anehnya, sekian detik lalu tidak ada rasa apapun, Saat bertelepon pun tak ada perasaan menggoyahkan sedikitpun.
Tapi kenapa? Saat didepan mata, dikelilingi isak tangis. Hanya butuh beberapa detik untuk terjun dalam arus tangisan dan kepedihan. Air mata mengalir terus menerus, bendungan pun dirasa tidak cukup kuat Menahan derasnya aliran emosi. Sungguh, semua hal itu sebenarnya manusiawi.
Namun, bagaimana bisa? Bagaimana bisa hanya butuh sekian detik, tanpa rasa apapun tiba-tiba terbawa Isak tangis?
Apakah ini yang namanya empati?
Cerpen Karangan: Irdandi Yuda Permana Blog / Facebook: Irdandi Yuda Permana
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 9 Desember 2021 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com