Seorang wanita yang berdaki dosa dan berpeluh maksiat menangis sesenggukan di sudut kamar mandi. Berkali-kali menggosokkan sabun di seluruh tubuhnya. Perasaan berkecamuk, penuh rasa hina. Berkali-kali nafsu mempermainkannya hingga terpedaya oleh kubangan dosa.
“Hanin! Buruan keluar kamar, ada tamu istimewa. Sekarang tugasmu melayaninya!” perintah Alina. “Iya,” balasnya dengan langkah gontai.
Sudah menjadi rutinitas sehari-hari membiarkan mahkotanya dicabik-cabik dan dinikmati tanpa penolakan. Pasrah membiarkan tangan-tangan kasar dan angkuh merampas segala hal berharga yang harusnya ia jaga untuk suaminya.
“Mantap. Semakin hari kamu semakin liar,” ucap lelaki tua bangka dengan pandangan penuh nafsu. Hanin hanya diam mendengar ucapan si tua bangka. Entah kenapa ada rasa resah dan gelisah setelah melakukan kegiatan hina tetapi nafsu tetap menjadi pemenangnya. Berkali-kali Hanin memukul dadanya menghilangkan rasa resah dan gelisah.
“Gimana kabarmu, Nak?” sapa ibunya melalui telepon. “Baik, kalau Ibu?” Hanin balik bertanya kabar ibunya. “Alhamdulillah baik. Gimana pekerjaanmu? Aman, ‘kan? Ibu nggak mau nerima uang haram apalagi sampai kamu menjual marwah demi uang.” “Iya, Bu.” Balasnya langsung memutuskan panggilan telepon secara sepihak.
Lagi dan lagi, Hanin dirundung rasa resah dan gelisah. Semenjak beberapa hari belakangan ini rasa malunya kembali menyapa. Ada rasa malu ketika melakukan kegiatan haram yang biasanya dilakukan dengan suka cita. Terbesit rasa gagal menjaga muruah dirinya dan yang paling disesalkan mengecawakan kepercayaan ibunya.
Hanin duduk di bawah lampu kamar yang temaram dengan menggenggam obat-obatan terlarang. Ia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Perasaan resah, gelisah, dan bersalah dengan angkuh menusuk di hatinya. Matanya memandang lekat obat-obatan di tangannya. Seketika potongan-potongan kenangan masa silam memenuhi pikirannya. Terbayang wajah ayu ibunya yang membesarkan dirinya dengan cinta, membimbing dengan agama, memapah dan memeluk dengan hangat kasih sayang. Sikap tulus sang ibu yang dibalas dengan pengkhianatan darinya. Berkali-kali dirinya memukul kepala menghilangkan kelebat bayangan-bayangan masa silam tetapi sial bayangan-bayangan masa silam justru memburunya dengan ganas tanpa ampun.
Hanin berkelahi dengan isi pikirannya sendiri, tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara azan yang menyadarkannya. Suara azan yang menenangkan hati. Seketika timbul rasa ragu untuk tetap melakukan rencana bunuh diri. “Ya Allah, ampunkan dosa-dosa hambamu. Sudah banyak dosa zina yang kulakukan kini mau menambah dosa lagi dengan bunuh diri. Maafkan aku, Ya Allah,” ucapnya lirih sambil menyeka air mata yang menyembul di sudut matanya. Hanin kembali meringkuk di sudut kamar mandi seperti kebiasaannya sehari-hari. Meratapi dosa-dosa yang sudah dilakukan selama ini.
“Maafkan aku, bu.” Ucapnya lirih menahan tangis.
Rembulan bersembunyi disebalik awan, sepertinya enggan menemani dirinya malam ini. Semilir angin malam menyentuh lembut kulit halusnya. Gaun merah maroon melilit tubuhnya yang anggun. Malam ini seperti malam-malam sebelumnya dengan rutinitas menjadi wanita malam, menemani lelaki hidung belang. Perasaan resah dan gelisah kembali menemaninya malam ini. Entah sampai kapan ia dipermainkan hawa nafsunya. Entah sampai kapan ia bisa keluar dari belenggu hawa nafsunya.
Hanin menarik napas pelan untuk menetralkan hati dan pikirannya. “Ya Tuhan, Maafkan aku,” ucapnya pelan.
Hanin duduk menunggu si tua bangka di bawah sinar rembulan. Alina menyenggol lengannya. “Buruan kerja! Ngelamun mulu.” Hanin melangkahkan kakinya menyambut sang pujaan hati, mungkin lebih tepatnya si tua bangka pemuja nafsu. Kembali tangan angkuh itu mengusap seluk beluk tubuhnya yang molek. Rasa muak setiap melakukan kegiatan hinanya bersama si tua bangka.
“Jadikan malam ini malam terakhir pertemuan kita. Jangan pernah temui aku lagi!” Pinta Hanin di sela kegiatan hinanya. “Oh, tidak bisa. Kamu milikku, ups … tepatnya tubuhmu adalah milikku dan tetap menjadi milikku selamanya,” ucap si tua bangka dengan tatapan bringas. Hanin memohon, “Tolong jangan temui aku lagi!” “Sekali lagi kamu ngomong seperti itu, maka tunggu balasan dariku,” ancam si tua bangka. “Emang apa yang bisa kamu lakukan? Kamu hanya lelaki tua bangka pemuja nafsu,” ledek Hanin. “Ha … ha … ha … Kamu tidak tau siapa aku sebenarnya.”
Tanpa ampun si tua bangka melepaskan hasratnya pada Hanin. Pertarungan selesai ketika suara azan subuh menggema memenuhi relung hati Hanin. Ada sesuatu yang bergetar dalam dirinya, segumpal daging yang disebut hati. Bergegas dirinya pergi meringkuk di sudut kamar mandi. Air matanya keluar tanpa aba-aba di pipinya yang ranum. Berkali-kali menyiram air ke seluruh tubuh berharap daki dosa dan keringat maksiatnya hilang. Mengusap sabun ke seluruh tubuh berharap muruahnya yang kotor kembali bersih dan harum. Seketika ia teringat nasihat ibunya.
“Wanita sekali sudah rusak ya tetap rusak. Mungkin hanya beberapa orang yang bisa menerima kerusakanmu,” pesan terakhir ibunya ketika ia hendak merantau mencari kerja.
Cerpen Karangan: Junita Aprillia Blog / Facebook: Junita Aprillia/Pengagum Sajak
Cerpen ini dimoderasi oleh Moderator N Cerpenmu pada 19 Januari 2022 dan dipublikasikan di situs Cerpenmu.com