Adit, itulah nama panggilanku. Aku memiliki saudara kembar yaitu adib. Dia sangat cerdas dan tanggap dalam menyelesaikan masalah. Sedangkan aku, aku adalah kebalikan dari adib. Sering kali aku disbanding-bandingkan dengan kelebihan adib.
Segalanya serba adib, aku sendiri serasa tidak ada keunggulan sedikitpun selain menyusahkan orang di sekitarku. Adib selalu berucap demi memberikan semangat bagi kehidupanku, “Kak, lakukanlah semua itu dengan tanpa memandang orang lain bicara apa, asalkan yang kau lakukan benar”. Tidak ada sifat kesombongan dan kecongkaan yang tertanam dalam jiwa adib, adikku.
Mama yang telah melahirkanku pun lebih mencintai adib, ayah yang selalu member nafkah pada keluarga kami pun member oleh-oleh yang lebih istimewa kepada adib. Ini merupakan deskriminasi yang berlebihan menurutku. Ya sudahlah, biar tak kepanjangan pikirku, aku positif saja dengan kehidupanku.
Tetangga yang biasanya tenteram dengan urusan mereka, kala ini merasa terundang untuk selalu membicarakan dan membandingkan aku dengan adib. Setiap aku lewat, pastilah lirikan yang tidak menyenagkan didapati olehku. Akan tetapi seketika adib lewat, sapaan demi sapaan selalu tercurahkan. Aku hanya bisa mengelus dada saja melihat fenomena ini.
Suatu ketika, kejadian yang tidak diinginkan ditimpa oleh adib. Cairan bahan kimia mengenai kedua matanya ketika praktik di sekolah. Akhirnya adib dilarikan ke rumah sakit terdekat, guru-guru yang bersangkutan serta aku pun ikut ke rumah sakit tersebut.
Setiba di rumah, ternyata telah ada guru perwakilan dari sekolah yang melaporkan kejadian tersebut pada orang tua kami. Belum sempat mencium tangan kedua orang tuaku, mereka berdua langsung menuju ke rumah sakit tersebut. Sedangkan aku menjaga rumah demi keselamatan bersama.
Akan tetapi, seketika aku menyapu halamna rumah malah gunjingan dari tetangga yang ku dapat. Mereka bilang “sudah adik sendiri terkena musibah, malah tidak kasihan dan tidak dijaga”. Aku lagi-lagi hanya bisa mengelus dada mendengar celotehan para tetangga.
Aku sangat sayang pada orang tua dan adikku. Tugasku untuk menjaga adik telah aku selesaikan walau hanya sebentar, sedangkan tugas rumah yang selalu dibebankan padaku belum aku laksanakan, oleh karenanya aku pulang demi melaksanakan kewajibanku.
Setelah mengerjakan urusan rumah, aku pun langsung mengunci seluruh isi rumah dan pergi ke rumah sakit untuk menjenguk serta menjaga adib. Tapi seketika aku sampai di rumah sakit tepatnya di depan pintu kamar adib dirawat, aku mendengar diskusi antara dokter dengan kedua orang tuaku.
Aku tak mengira hal ini akan terjadi, keputusan yang membuat aku berat hati ini menjadikan aku lebih tegang dan bahkan mengharukan dalam hidupku. Dokter memutuskan bahwa mata adib tidak bisa siselamatkan kembali, tapi dapat diganti dengan bola mata lain baru dia bisa pulih seperti sedia kala, itu pun jika operasi berhasil.
Orang tuaku siap mengganti berapa pun biaya demi keselamatan adib, bahkan dengan mengganti bola mata yang baru. Aku mengira bahwa orang tuaku akan menulis iklan dalam media masa bahwa mereka butuh donor mata dengan nilai rupiah yang cukup tinggi. Ternyata hal itu hanya mimpi belaka, keputusan orang tua yang dicurahkan terhadap dokter adalah mengambil bola mataku untuk adib, sang juara keluarga.
Mengapa nasibku sungguh malang. Aku mempunyai mimpi yang besar, akan tetapi hal ini apakah tidak menghalangi mimpiku? Mata adalah salah satu organ yang sangat penting adanya dan kegunaannya. Aku hanya bisa menangis sejenak melihat hal yang tak terduga ini. Lagi-lagi aku hanya bisa bergumam dan meronta dalam hati serta mengelus dada.
Tanpa basa-basi, aku kembali ke rumah dan merenung di kamar. Tuhan sangat sayang padaku, dan aku pun yakin atas hal tersebut. Aku berpikir, jika aku tak punya mata lagi apakah aku bisa menangis? Biarlah, aku habiskan air mataku untuk adib, kebanggaan semua orang. Mungkin dengan cara ini aku bisa mendapat pujian dari semua orang yang kagum atas adib.
Keesokan harinya pun operasi akan dilaksanakan, tanpa basa-basi malam sebelum operasi dilakukan aku telah siap dan berbicara pada orang tuaku sebelum mereka bicara padaku. Aku bisa merasakan ada air mata dari ayahku, tapi aku tidak bisa merasakan air mata yang ada dalam mata mamaku, padahal yang akan aku sumbangkan untuk adib adalah salah satu organ tubuh yang sangat ku sayangi.
Hari yang ditunggu-tunggu pun datang. Ibu sangat senang dengan datangnya hari ini, sedangkan aku sempat melihat di belakang sana ada ayahku yang dari sorotan matanya ingin mengucapkan sesuatu padaku. Namun apa boleh buat, kini waktuku untuk memberikan barang berhargaku untuk adikku.
Tinggal beberapa menit lagi operasi akan dimulai, aku memanfaatkannya dengan memanggil ayah dan ibuku. Aku hanya ingin memandang mereka dengan peka, karena mungkin ini akhir aku melihat mereka yang telah berjasa dalam hidupku.
Aku sadar, aku tak berarti apa-apa dalam keluarga ini. Tetapi setidaknya aku telah berbuat baik kepada kedua orang tua dan selalu berpikiran positif dalam perjalanan hidupku serta meyakini ada rahasia tuhan yang tersembunyi di balik peristiwa ini semua.
Tepat pukul 10.00 operasi dimulai, aku siap menghadapi alat-alat tajam yang akan mengambil mataku. Aku tak sadarkan diri pada waktu itu, akan tetapi kala ini aku sadar namun terasa ada yang hilang. Ya, kemewahan dan keindahan alam telah hilang menurutku. Semua di dunia ini telah musnah pikirku. Tetapi aku salah, yang telah hilang dari keindahan bukanlah dunia dan seisinya, melainkan kedua mataku telah hinggap pada tempat bola mata adib berada dulu.
Kini mimpi-mimpiku terasa telah terhapus, aku tak bisa melakukan aktivitas seperti biasanya. Yang aku bisa kerjakan aku kerjakan, namun yang tak bisa ya aku tinggalkan. Dengan kecacatan yang aku derita ini, aku memutuskan untuk tinggal di kejauhan sana agar tidak membuat malu keluarga. Ayahku tidak setuju dengan pikiranku, namun yang membuat aku tambah mengelus dada adalah kerelaan ibu yang begitu memancarkan ketidaksayangannya dalam menyetujui keputusanku.
Ini adalah jalanku, sebelum aku pergi jauh dan tinggal bersama orang-orang yang asing pintaku hanya satu. Aku hanya ingin berbincang-bincang dengan keluarga sampai larut malam.
Pagi harinya, sebelum aku pergi. Aku memberikan secarik kertas untuk adib, yang sempat aku tulis ketika malam terakhir aku memiliki mata yang sempurna. Aku tidak menulis panjang lebar untuk adib, namun aku hanya menulis “Dik, Akhirnya aku bisa merasakan. Akhirnya aku bisa merasakan sepertimu, selalu dipuji, dipandang baik dan sempurna oleh seluruh orang. Akhirnya aku bisa merasakan sepertimu, walau hanya sekedar kedua bola mataku”