Menjadi kuat itu tak semudah bayangan, tak seindah keinginan, tapi seperti membuat sebuah cake yang hasilnya manis atau mungkin gosong dan bisa saja tetap menjadi bahan dasar. Filosofi manusia dalam sebuah cake adalah seperti telur, yang bisa dikocok agar mengembang, kemudian diaduk dan dicampur tepung, ditambah margarine yang telah dipanaskan, menggeliat dalam hujan kegelisahan dan kepanasan ketika disudutkan oleh banyak pihak. Diaduk terus sampai kelihatan mantap untuk kemudian sedikit demi sedikit diberi gula, agar air mata yang telah tumpah tidak terlalu membuat cake menjadi asin, tapi malah menimbulkan kesan gurih, perpaduan antara gula dan garam.
Setelah semua dirasa cukup, cake dimasukkan kedalam oven, bisa 30 hingga 45 menit, agar semua bagian cake masak merata. Jika tidak merata, apa salahnya kembali memutar cooking time selama yang diperlukan, jika masih belum masak, buang saja. Seperti cobaan manusia yang tiada habis, takkan berhenti hingga matang, bahkan setelah matang harus terasa memuaskan lidah sebelum akhirnya dimakan habis habis atau mungkin teronggok di balik keranjang sampah, kemudian dimakan oleh pengemis jalanan yang tak mandi selama 3 hari 3 malam, sambil berguman “baru hari ini makan enak”
Sisa cake itu tetap dipeluk mesra, agar besok masih ada makanan yang mengganjal perutnya jika tak ada yang memberi sepeser uang receh. Pengemis lelah berjalan, dan meletakkan sisa cake di samping tubuhnya yang ringkih, beralaskan tanah bumi segar, untuk sekedar meratakan pinggang. Tanpa disadari pengemis, seekor kucing mengendus cake, namun kucing pun berlalu. Seperti itu juga manusia, tak semua orang yang berada di sisinya selamanya dapat menjadi penggemarnya, ataupun penopang hidupnya. Pengemis juga manusia, butuh tidur dan makan, ketika pengemis tidur, cake teronggok diam karena tak sempat mengolah kaki waktu berada di oven. Binatang saja mudah lari darinya, karena paras cake tak seperti ikan, tak memuaskan dahaga kucing. Sama seperti manusia, ketika sudah tak memuaskan, akan dibuang, atau ditinggalkan.
Pengemis bangun kesiangan, terlambat masang tampang diperempatan, sehingga didahului oleh pengemis lain yang lebih memelas ditambah membawa bayi dan balita. Pengemis kalah. Tanpa sadar, cake semalam terinjak oleh kakinya, tanpa disadarinya pula. Pengemis lupa memiliki jatah sarapannya. Cake malang. Sudah bau akibat terinjak, sekarang penyet seperti bongkahan kotoran. Begitu juga kehidupan manusia, awalnya disayang, diberi perhatian dan perlindungan. Tapi jangan lupa, sama sama manusia. Masing masing punya kepentingan dalam hidup. Sama sama merasa dikerjar waktu, ditekan oleh ambisi, sehingga mampu meninggalkan yang dicintai. Dan bahkan lupa, bahwa pernah memiliki yang dicintai. Cake bisa apa, menangis pun tak punya mata, ingin berteriak, mulut pun tak terbentuk, mau menggapai, tangan yang mana. Apalagi hendak berjalan, kaki saja mungkin cake tak kenal bentuknya.
Cake hanya sebuah hasil, dari kocokan telur, mengembang dan diberi tepung dan margarine, dengan harapan akan kuat namun lembut. Tak lupa ditaburi gula, agar merasakan senang dan pahit. Kemudian dibakar dalam panas yang seimbang. Cake adalah campuran, dari semangat, tekad, kerja keras, cinta, dan doa serta harapan si pembuat, agar menjadi cake yang sedap dimulut, indah bentuk dan rupanya, menawan dalam hidangan. Menjadi ratu yang menarik perhatian dari semua orang, hingga menaikkan dagu setinggi 5 inci. Cake dijalan itu bukan cake yang diharapkan sang pembuat. Teronggok jelek dijalan, terinjak dan ditinggalkan.
Tapi cake masih punya satu harapan, satu jalan, dan satu perhatian. Si Pembuat cake masih mengharap cake kembali padaNya, karena Pembuat Cake mampu melakukan segalanya, bahkan mengembalikan kemulian sebuah cake, karena si Pembuat cake, adalah Sang Koki jagat raya.