Aku masih ingat saat keluargaku pindah ke kampung tanah tosora pada tahun 1985. Saat itu, aku berumur 9 bulan. Sebelumnya, keluargaku hidup dalam gubuk di kampung bersebelahan yang tak jauh dengan kampung tanah tosora yang sebelumnya pernah menjadi ibu kota kabupaten wajo pada abad ke 15. Keluargaku yang kini beranggotakan 9 orang membutuhkan ruang yang lebih besar.
Ayah telah pergi untuk selamanya meninggalkan aku yang masih berumur 9 bulan dan harus yatim serta ke-7 saudara-saudariku. Ibu bekerja sebagai ibu rumah tangga yang merangkap menjadi tukang tenun yang dijual ke pasar seharga seratus ribu rupiah per sarung dikerja kira-kira membutuhkan waktu selama satu bulan, karena beliau tergolong tua sehingga dia tidak terlalu cepat tangkap. Ibu yang menjadi single parent saat itu harus berjuang memperjuangkan ke delapan putra-putrinya yang masih dalam tanggung jawabnya. Demi kebahagiaan hidup kami, sekaligus untuk mempermudah beban ibu, maka aku dan dua orang kakakku harus tinggal bersama nenek dari ibu.
Nasib nenek memang lebih baik dari nasib ibu, sampai aku harus terkucilkan. Aku anak bungsu. Aku tak begitu disukai dibandingkan dengan saudaraku yang lain. Sampai pada saat aku berumur 7 tahun, aku memutuskan untuk sekolah di sebuah madrasah yang tak jauh dari tempat tinggalku. Aku dengan sendirinya membawa diriku ke madrasah tanpa ditemani oleh siapapun dari keluargaku, karena keinginan yang kuat untuk sekolah. Tak seorangpun dari keluargaku yang memiliki sekolah yang tinggi, rata-rata dari mereka hanya lulus SD dan SMP.
Besok paginya aku siap pergi ke madrasah. Ini adalah hari pertamaku ke sekolah. Aku sebelumnya sama sekali tidak pernah menginjakkan kakiku ke sekolah karena keluargaku hanya bergelut di persawahan, setiap paginya aku harus menikmati pagiku dengan dengan mengendarai seekor kuda ke sawah, besama dengan seorang kakakku yang senantiasa menggiringku di depanku dengan mengendarai seekor kuda jantan gagah perkasa.
Hariku kini telah benar-benar berubah yang sebelumnya selalu pergi ke sawah dengan memakai pakaian yang compang-camping. Kini aku memakai celana pendek merah dan kemeja putih. Lambang saku baju kemejaku berwarna merah dan cokelat juga sebuah peci berwarna hijau bertuliskan huruf hijaiyah dari bahasa arab. Madrasah ibtidaiyah as’adiyah, begitu nama sekolahku. Sekolah swasta yang tidak ada matinya di bawah lindungan departemen agama yang dikepalai oleh seorang wanita yang kuat sudah berumur dan mampu bersaing dengan sekolah negeri yang ada saat itu.
Aku membawa sebuah tas yang terbuat dari kain dengantali selempang panjang membuat aku merasa risih yang hampir sampai di sebuah pantat berwarna hijau pinjaman dari kakakku yang duduk di kelas 1 SMPN majauleng, juga yang sempat dia pinjamkan adalah buku tulis yang telah bertuliskan serta sebuah pensil yang sudah tumpul yang berukuran jempol. Aku tak mendapat bekal ke sekolah apalagi mendapatkan uang jajan dari nenek. “ kalau mau jajan di rumah saja, mengertilah keadaan kita. Dimana lagi kita mendapatkan uang”. Katanya.
Udara dingin menusuk kulit lengan dan kakiku sepanjang perjalanan. Aku sempat melihat fajar menyingsing di balik rumah. Dadaku sesak sejenak dan terpaku. Inilah kali pertamanya, aku akan menginjakkan kaki ke sekolah.
Sekolahku dimulai dari pukul tujuh pagi. Aku lewat pintu belakang sekolah yang juga dipenuhi oleh murid baru. Tak seorang pun yang aku kenal dari mereka. Ada yang bermain kejar-kejaran di lapangan sekitar sekolah. Sementara seorang guru perempuan, gemuk, dan sudah berumurdengan lantang berteriak ke arah murid yang berkejaran,”owee….cako pajai silellung.” Katanya dengan mata melotot, tangan pas berada di pinggang. Arti dari pada kata tersebut merupakan kalimat perintah bahasa bugis yang bernadakan marah atau jengkel menyuruh murid tersebut untuk berhenti saling kejar-kejaran. Aku mulai merasa gemetar dan takut melihat perangainya yang begitu ganas. Seperti seekor singa kelaparan yang keluar dari kandangnya. Aku terdiam menunggu, kami dipersilahkan masuk kelas. Disekelilingku tampak gedung yang masih terbuat dari dinding kayu dengan lantai semen yang sudah berhamburan disana-sini, tetapi diatur dengan rapi sehingga terlihat indah, bersih dan nyaman. Memang madrasah ini sudah banyak mendapatkan prestasi kebersihan dan kedisiplinan yang kuat. Kerja keras dan semangat yang tumbuh dari hati seorang ibu sang kepala sekolah menjadikan madrasah ini menjadi unggul diantara sekolah negeri yang ada.
“silahkan masuk ke kelas anak-anak.” Kata ibu sang kepala sekolah sekaligus merangkap sebagai wali kelas 1. Sungguh besar perjuangan besar bu guruku yang satu ini. Aku melangkahkan kakiku dengan lambat karena harus menunggu antri untuk masuk ke kelas. Aku mengambil tempat duduk di bangku dua dari belakang. Disekelilingku nampak gambar – gambar pahlawan seperti, pangeran Diponegoro, Ibu Kita Kartini, gambar presiden Soeharto beserta wakilnya di batasi oleh simbol lambang garuda berada tepat di atas papan tulis yg terbuat dari tripleks berwarna hitam denga alat tulis kapur tersusun rapi nan indah. Meja guru tepat berada di samping lemari rak buku dengan taplak meja berwarna hijau dengan lambang as’adiyah berada sudut paling depan kain yang berbentuk persegi itu.
Bahagia rasanya duduk di atas kursi yang berukuran 1 meter dengan muatan 2 orang murid akan tetapi harus dicukupkan sampai 3 murid karena ruangan yang sempit serta murid yang sesak. Aku mendengar ibu kepala sekolah menjelaskan materi tentang menulis indah yang biasa disebut tegak bersambung, meskipun aku tak mengerti apapun karena maklum belum lama aku mengikuti pelajaran tersebut.
Guru kelasku sekaligus ibu kepala sekolahku bernama Indo Esse, kurasa dia lebih tua dari mamaku. Dia memakai baju dinas, rambutnya berombak pendek dan sedikit beruban serta memakai kecamata berbingkai hitam. Di dalam kelas aku dan dua temanku duduk satu bangku. Pada hari pertama kami hanya duduk tanpa tegur sapa. Tiba-tiba, seorang murid perempuan menangis dan menjerit. Jeritan itu menjadikan suasana kelas menjadi gaduh. Singkat saja itu Ines(indo Esse). Mendekati murid perempuan itu mengajaknya keluar kelas menemui ibunya. Aku hanya terdiam dan memandang keduanya. Mereka pun tersenyum kepadaku. Aku pun membalas senyu mereka. Cepat-cepat aku berpaling muka dan pura-pura menulis sesuatu dari papan tulis.
Tibalah waktu istirahat, kami diajarkan membaca doa dan bernyanyi sebelum pulang. Kami di ajari menyanyikan lagu kebangsaan “Satu Nusa Satu Bangsa”. Dengan hati riang kami mengikuti ibu Ines memandu bagaimana lirik lagu kebangsaan tersebut.
Hari pertama sekolah berlalu dengan sangat cepat. Ibu Ines menemuiku dan bertanya kepadaku tentang pribadiku.
“Siapa nama ibu dan bapak kamu nak?” tanyanya penasaran, sambil mengiringku mendekat ke meja guru. Dia menarik sesuatu dari mejanya. Ternyata mengambil sebuah buku dan pensil yang belum diruncingkan itu. “Ibuku bernama Daramatasia sedangkan Ettaku bernama Ambo Sennang” jawabku sambil menunduk memandangi lantai yang masih terbuat dari semen itu. “ Apa keduanya masih hidup?” Tanyanya sambil melepaskan kecamatanya yang mulai buntut. Sedangkan aku terdiam sejenak tak tahu harus berkata apa. Seketika aku membayangkan bagaimana wajah ettaku. Aku tidak sempat mengenal wajahnya sebelum dia pergi meninggalkanku untuk selamanya. “Ibuku masih hidup dan ayahku sudah lama pergi meninggalkan kami, beliau meninggal di Ternate denga penyakit malaria yang dideritanya.” Jawabku sambil memandangi wajah ibu Ines yang bulat dan mulut yang kecil dengan tahi lalat di bawah hidungnya sebelah kiri. “Bukannya mama kamu memiliki mesin pabrik penggiling padi?” tanyanya lagi. “iya. Benar bu.” Jawabku. Keluarga kami memang pernah memiliki mesin pabrik penggiling padi semenjak ayah masih bekerja sebagai petani. Tapi setelah berpindah profesi menjadi seorang pedagang, beliau meninggalkan pabrik tersebut dan sempat dijalankan oleh mamaku dan kakakku yang cewek beberapa bulan. Tidak lama kemudian pbrik tersebut dijual ke tetangga dengan harga Rp 500.000 saat itu. Karena ayahku yang telah wafat sedangkan mamaku sudah tidak sanggup lagi menjalankannya.dan uangnya saat itu digunakan untuk biaya pernikahan kakak laki-laki yang ke tiga. Dan sudah sepuluh tahun lebih dari pernikahannya belum dikaruniai keturunan.
“Mulai besok pakailah buku dan pensil ini dan kamu boleh pulang sekarang.” Kata ibu Ines sambil menyerahkan buku tulis yang sudah tua tapi masih kosong berwarna biru serta pensil yang berwarna merah. “Terima kasih bu.” Jawabku sambil tersenyum. Aku melangkahkan kaki keluar dari ruangan kelas karena kelas berikutnya masih lagi dalam kelas yang sama.
Pada hari kedua dan dua minggu berikutnya, aku menikmati perjalanan ke sekolah sambil jalan kaki sendirian, kadang ditemani oleh kakak kelas sambil membawa air dalam jergen. Katanya untuk menyirami tanah kering agar debunya tidak beterbangan. Biasanya pada saat musim kemarau tiba, semua murid diwajibkan untuk membawa air dalam jergen. Separuh untuk menyirami tanah berdebu dan sisanya untuk disimpan di toilet dan utnuk berwudhu.
Tidak ada perasaan takut untuk berjalan kaki sendirian. Berangkat dari pukul 6.30 tiba di sekolah pukul 6.45 wita. Aku termasuk siswa yang disiplin dan rajin ke sekolah. Seringkali Ibu Ines memanggilku sebagai bintang sekolah. Setiap hari, sepulang dari sekolah rajin belajar membaca dan saat itu, aku termasuk sebagai peringkat tiga besar. Saingan-sainganku di kelas adalah Besse Dahliana dan seorang teman laki-laki yang sebangku dengan saya namanya Hakim. Mereka semua termasuk anak yang cerdas. Kami berteman tapi tidak banyak bertegur sapa karena masing-masing memiliki rasa malu dan tidak ingin memulai.
Di madrasah ini tak banyak teman yang aku kenal, aku juga jarang bergaul dengan teman-teman sekelasku apalagi dengan anak perempuan. Lumrahnya di sekolah, teman-teman sering mengolok-ngolok dengan menjodoh-jodohkan anak laki-laki degan anak perempuan. Otomatis, aku dijodohkan dengan BesseDahliana karena dia termasuk anak yang pendiam. Besse Dahliana kelihatannya saja pendiam tetapi sebenarnya dia seorang anak yang cerewet. Kulitnya putih. Dia sering menggunakan kerudung di ikat dari belakang. Matanya bulat sedikit besar. Dia sering memandangku dengan tersipu malu. Tapi aku pun hanya terdiam tanpa kata. Besse Dahliana memang cantik tapi aku sama sekali tak punya perasaan padanya.
Tibalah saatnya penaikan kelas, lima siswa dari teman seangkatan kami tahun 1997 harus tinggal kelas karena alas an yang bermacam-macam. Diantaranya masih ada yang berumur 5 tahun, ada juga kemampuannya untuk naik kelas dua belum maksimal. Kami berjumlah 45 siswa, sedangkan yang naik kelas 2 hanya 40 orang. Aku termasuk peringkat teratas dari kelasku.
Di kelas baruku, aku sibuk mengelap kursiku yang berdebu bersama beberapa murid lainnya. Guru yang telah memberikan kain perca yang telah kami basahkan untuk melaksanakan tugas tersebut. Beberapa temanku menyapu jendela. Adapula yang menyapu lantai. Banyak dari kami yang menutup mulut dan hidung dengan sapu tangan agar tidak kemasukan debu. Lelah, tetapi senang rasanya kerja bersama-sama. Aku tidak peduli kemeja sekolahku kotor terkena debu. Tempat belajarku harus bersih terlebih dahulu.
Saat aku mengelap kursiku, terlihat seorang murid perempuan tinggi semampai sedang menghapus tulisan di papan tulis pakainnya rapi. Kerudung putih dan bersih. Kulitnya cerah dan lembut. “Siapa anak perempuan itu?” Tanya Hakim “Dia baru datang hari ini, murid baru, pindahan dari palu. Anak dari seorang saudagar.” Jawab Tamin “Siapa namanya?” tanyaku pula sambil duduk di atas kursi yang sudah dibersihkan. “Nanti aku tanyakan pada murid perempuan lain. Aku dengar dia menjadi perempuan tercantik dalam kelas kita.” Jawab Hakim. Kami tertawa bertiga mendengarkan cemohan Hakim. Sejak itulah kami bertiga berteman dan akrab seperti saudara sendiri. Jika kami memiliki jajanan dari rumah ataupun jajan di sekolah, kami tak segan membaginya menjadi tiga bagian. Setiap hari kami selalu bersama dan main bersama. Dikelaspun kami dikenal dengan “Segi Tiga Bermuda” yang artinya 3 sekawan yang masih mudah lagi bermutu. Prestasi di kelas pernah kami raih masuk 3 besar. Aku dan termasuk kedua temanku menjadi peringkat ke-2 dan ke-3 menjadikan kami tambah erat dan saling bersaing dari segi akademik.
Orang tua kami pun ikut mendukung persahabatan kami. meskipun kami berjauhan rumah tetapi cukuplah sekolah menjadi tempat pertemuan untuk berkeluh kesah dari apa yang kita hadapi. Sesulit apapun masalah yang kami hadapi akan terasa mudah jika kami bersama-sama memikulnya, tak ada perbedaa warna apapun dari kami. Kami memiliki pemikiran yang sama. Sehingga teman lainnya banyak memberikan apresiasi kepada kami bertiga.
Aku memandangnya sekali lagi. Aku melihat dia menjingkat hendak membrsihkan lemari yang tinggi kehitaman berada disamping meja guru sudut kanan depan kelas. Inilah kesempatanku.
Dengan cepat, aku mengangkat kursiku dengan melontarkan senyum kepada hakim dan dan tamin. Keduanya pun mengerti maksudku. Aku meletakkan kursi disamping lemari yang tinggi besar dekat dengannya. “Silahkan.” Kataku dengan agak pesimis.
Dia terkejut. Mula-mula, dia hanya melototiku. Kemudian, dia memandang kursi itu seolah berpikir sejenak.
“Tidak. Idi’na, tabe.” Jawabnya sambil mengulurkan lap kepadaku. Aku terkaget ternyata dia lancer berbahasa bugis. Aku mengerti maksudnya dan segera naik ke atas kursi yang baru aku lap. Aku mebersihkan ujung atas lemari tersebut, kemudian turun dari kursi. Bekas tapak sepatuku mengotori kursi. Aku menyerahkan lap kembali padanya. “Terima kasih.” Katanya dengan lembut. “Sama-sama.” Jawabku tersipu malu. “Saya Rukmini.” Katanya lagi dengan suara yang mantap. “Saya Aco.” Jawabku pula sambil tersenyum. Aku kemudian berpaling dan memperkenalkan Rukmini kepada teman-temanku yang lain. Sangat Nampak dalam diri Rukmini rasa ibah dan pipi yang merah merona. Aku kemudian mengangkat kursiku kembali dan meletakkannya disebelah mejaku. Aku duduk di atasnya sambil membuka buku-buku yang sebenarnya belum bertuliskan apapun. Sebenarnya, aku mencari perhatian dari Rukmini.
Hmmm! Rukmini. Bagus juga namanya. Cantik pula orangnya. Aku kadang melamun. Aku lupa bekas jejak sepatukini berbekas pula di celanaku. Aku lupa kalau aku masih berumur 9 tahun. Rasanya aku perangai seorang dewasa. Hati ini seakan tak henti-hentinya memikirkan Rukmini.
Matahari pun tepat berada di atas kepala. Lonceng berbunyi tanda istirahat. Adzan pun dikumandangkan shalat duhur sebentar lagi akan dimulai di musahalla tepat berada di samping kelas kami. proses belajar pun dihentikan sejenak. Tak seorang pun yang tinggal dalam kelas kami semua di latih untuk melaksanakan shalat sejak dini supaya menjadi kebiasaan. Apalagi hukuman akan segera menanti jika salah seorang diantara kami tidak melaksanakan shalat berjama’ah. Aku yang kini kelas tiga harus memimpin shalat. Imam diantara adek-adek kami yang masih kelas dua.
Mentari yang bersinar terang tiba-tiba di balut dengan mendung lebat serta petir yang meronta-ronta. Proses pembelajaran pun dihentikan dalam kelas. Hujan pun mulai turun di tengah musim kemarau. Tanah yang dulunya kering kini mulai basah dengan air hujan. Tumbuh-tumbuhan pun yang sepertinya layu kini mulai bermekaran.
Aku pun mulai melangkahkan kaki untuk pulag ke rumah. Di rumah sudah ada ibu menungguku. Rasanya perut ini sudah mulai berbunyi gedebak gedebuk. Dari pagi belum pernah terasa makanan berat. Aku langkahkan kakiku menuju ruang dapur. Aku hanya melihat nasi dalam panic. Tak ada sedikit lauk dan sayur untuk campurannya. Aku melapangkan dada ini. Sekalipun hati terasa sakit.
Semenjak nenek yang pernah mengasuhku meninggal. Aku kembali tinggal bersama mama dan ke tujuh saudaraku. Kami hidup dalam zona kesusahan. Tak banyak dari orang-orang tahu tentang keadaan keluarga kami yang semakin hari semakin melarat. Makan pun susah. Setiap hari sepulang dari sekolah aku harus ke sawah untuk mengais sesuap nasi. Kalau bukan begitu kami sekeluarga tak dapat makan apa-apa. Aku dan kakakku membantu orang-orang di sawah. Hasil upahnya biasanya kami diberikan 1 karung padi sehabis panen. Hasil dari itulah sebagian kami jual untuk biaya sekolah dan sebagiannya lagi kami simpan untuk kami makan setiap hari. Ibu sring measehati aku,”jadilah anak yang baik jangan pernah menyerah sekalipun badai topan datang menerjangmu. Gantunglah cita-citamu setinggi langit. Raihlah mimpimu dan senantiasa berdo’a kepada Tuhan yang maha Esa.” Katanya sambil mengusap kepalaku hingga tertidur dalam pangkuannya.
Ibu begitu menyayangiku. Sampai seringkali harus berkorban untukku, dia berharap kepadaku suatu saat nanti saya akan berhasil dan sukses menjadi orang besar. Begitupun aku, sangat berharap menjadi orang yang sukses agar orang tuaku bangga terhadapku, aku harus sekolah mengankat derajat keluargaku yang kini tertinggal.
Di madrasah ini, aku menguasai mata pelajaran dengan baik. Baik pelajaran agama maupun pelajaran umum. Kali ini aku harus terpaksa bersaing dengan seorang murid perempuan di kelasku yang sangat pintar. Nama perempuan itu adalah yang selalu bermain-main dalam pikiranku sejak aku menjejakkan kaki di kelas tiga. Ya Rukmini. Siapa lagi? Aku terpaksa bersaing dengannya untuk menduduki peringkat teratas di kelas.
Aku sebenarnya tidak merasa gentar atau gelisah dengan persaingan ini. Bahkan, aku senang dan menyambutnya dengan nad terbuka. Itulah caranya agar aku rajin dan memusatkan perhatian pada pelajaran. Lagi pula, sainganu kali ini istimewah orangnya.
Malam yang indah dengan bayangan wajah nan indah bah permata bersinar di tengah bintang-bintang nan jauh disana. Ya…. Wajah Rukmini. “Engaku tercipta dalam kesempurnaan, kelembutan dan kesucian hati membawa dirimi dalam keheningan malamku. Biarkan rembulan mempertemukan mata hati kita bersemayam dalam buaian asmara wahai pujaan hatik.”sebutku dalam hati.
Namun, tiba-tiba, aku teringat janji yang pernah aku katakan: untuk semua wanita yang menjadi pujaan pernahmengunjungi gubuk hatiku, kuucapkan beribu maaf karena harus aku utamakan menuntut ilmu, sebelum mendambakan pujaan hati. Seperti yang tersurat dalam kalam rasul, “jika engkau menginginkan dunia maka hendaklah dengan ilmu, jika engkau menginginkan ahirat maka hendaklah dengan ilmu, jika engkau menginginkan keduanya maka hendaklah dengan ilmu.” Aku tersentak sejenak. Hatiku bertempur. Tentunya, setelah aku lulus dari ujian yang penting ini, aku layak bersenang-senang. Meskipun aku telah berjanji demikian. Tidakkah sedikit konvensasi untukku menghibur hati yang lemah ini.
Aku tersenyum sendiri atas tawar menawar yang aku lakukan terhadap diriku sendiri. Tiba-tiba, rintihan terdengar dari balik kamar sebelah berukuran 2×3 seperti meronta-ronta memanggil namaku. Hati seakan bekecamuk tidak beraturan, kulangkahkan kakiku menuju ruangan itu dengan tergesa-gesa.
“Aco…..anakku…..” Rintihan ibu memanggil-manggil namaku. “Astagfirullah. Kenapa ma…? Mama baik-baik saja kan? Badan mama dingin.” “Ambilkan air minum serta obatnya mama di atas lemari pojok.” “iya ma….” “Mengingat umur mama yang sudah tua tetapi dia masih saja berusaha kuat banting tulang kerja kesana kemari tak kenal lelah. Aku bangga memiliki ibu seperti mama,” kataku sambil menyodorkan obat pesanan mama di atas lemari. Mama pun tersenyum dengan bangga. Tak pernah mengeluh dengan pemikiran melayang-melayangseperti membayangkan sesuatu. Kepala menoleh ke atas menatapi langit-langit rumah tanpa palfon tembus dengan atap rumah yang terbuat dari seng. Kadangkala panas disaat terik matahari dan dingin disaat malam hari. Tiba-tiba mata mama menoleh ke arahku, memandangi wajahku dengan penuh kasih saying. Tangan nan lembut meraih kepalaku dan mengusap dengan tangan yang penuh dengan benjolan-benjolan yang melepuh di telapak tangannya. Matanya yang sayuh kini menetes air mata di pipinya sebelah kanan sambil berkata padaku. “Jaga dirimu baik-baik nak Aco.” “Iya bu…” “Lanjutkan sekolahmu. Hargai orang lain seperti mereka menghargaimu, berusahalah yang terbaik dan jangan pernah menyerah. Buatlah orang lain bangga padamu. Jangan engaku menyakiti orang lain karena kaan engaku menyakiti pasti suatu saat nanti engkau akan tersakiti. Jangan pernah berusaha unuk menjadi yang terbaiktetapi berusahalah semampumu untuk melakukan yang terbaik.” Demikian pesan terakhir mama yang pernah aku ingat.
***
“Bangun nak, sudah jam 6.00 pagi.” Sahut mama disampingku sementara merapikan sarung dan pakaian yang bertebaran. Aku segeakan diriku mengambil air dan mandi secukupnya. Dimadrasah, aku tak menemukan sesosok wanita yang menjadi simpanan kasih hati. Siapa lagi kalau nukan Rukmini. Aku tidak berani untuk menanyakan ketidak hadirannya, karena teman-teman sama tahu tentang aku dan Rukmini yang sebenarnya memiliki perasaan yang sama meskipun tak pernah diugkapkan.
“Hakim.” Sebut bu guru wali kelas mengabsen kami. “ saya bu…” “Tamin.” “Saya bu….” “Rukmini….” Tak ada orang pun diantara kami yang menyahut. Tiba-tiba, saja seorang tak dikenal menghadap kepada wali kelas. Aku berusaha untuk mendengarkan pembicaraan mereka. Hati ini tak tenang seakan sesuatu telah terjadi menimpa Rukmini seorang wanita yang lemah lembut, sabar, dan penyayang sementara di selah pembicaraan keduanya aku mendengar tentang accident. Hati ini semakin kacau dan tidak karuan. Aku berusaha untuk menenangkan diri tapi fatal tidak berhasil.
“Inna lillahi wainnailaihi raaji’un. Telah berpulang ke rahmatullah teman kita anakdah Rukmini karena kecelakaan yang menimpa saat berangkat ke madrasah kita ini. Olehnya itu marilah kita bersama-sama mengirimkan surah al-Fatihah untuk belaiu.” Pinta bu guru wali kelas terkait dengan kecelakaan yang meimpa Rukmini. Tiba-tiba, kelas yang begitu tenang dan tentram berubah menjadi gaduh dan tidak karuan. Beberapa murid perempuan termasuk teman akrab Rukmini meneteskan air mata. Sementara aku tak tahan rasanya ingin meneteskan air mata tapi tidak enak rasanya sama teman laki-laki lainnya yang hanya tinggal bengong tak tahu ingin berbuat apa.
Kegiatan belajar mengajar pun terpaksa harus dihentikan, menuju ke rumah duka Rukmini. Aku mendapatkan kedua orang tua Rukmini meratapi anaknya yang cantik belia harus menghadap sang ilahi untuk selama-lamanya. Hanya air mata yang terlihat menderas membasahkan lagi darah yang tak basah. Sebuah wajah yang tak lagi terkenali itu terlihat menangis.
Tak diduga pula, suara bising pun terdengar diantara pelayak yang hadir menyebut namaku. “Dimana Aco?” seseorang telah menanyakan keberadaanku. “Iya. Saya di sini.” Aku segera dan ternyata kakak saya yang sulung menjemputku dengan mata memerah. “Kenapa kak?” tanyaku yang semakin tidak tenang. “Kamu harus pulang sesuatu telah terjadi di rumah.” Katanya sambil menyalakan motornya. “Ya tuhanku apa lagi yang terjadi di keluargaku?” sebutku dalam hati. Sekarang aku jauh lebih sunyi dari kaum nista yang sekarat, karena mereka setidaknya memiliki lukisan yang wajah-wajah yang mereka cintai selama ini. Dari jauh ku memandang secarik kain putih dibentangkan berada pas depan rumahku. Aku menanyakan kepada kakakku,” apa yang terjadi di rumah kak?” belaiu tak menjawab sepatah katapun dariku. Sampai aku benar-benar berada di sekitar rumah, aku mendengar suara rintihan kakak perempuan menyebut nama sang mama. Hati inis semakin menjadi-jadi dan tak sanggup melangkahkan kaki ini. Salah satu dari kakak perempuan datang menemuiku dan memelukku erat-erat dan berkata. “sabar dek, ibu telah tiada, dia telah pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Kuatkan hatimu.” Aku terpaku duduk terdiam maratapi sosok yang tak berdaya kaku. Kulihat sorot wajah nan pucat guratan wajah yang tak bergeming. Sesaat itu kesentuh jemari tangannya yang dingin, ku kecup wajahmu yang putih pucat. Lidahmu terasa kelu meski ada seuntai rasa yang ingin aku ungkapkan. “Mama…” Ku ayungkan tanganku menampar daging-daging di pipimu yag tak kau raih tak mendapat balasan apapun. Aku berdiri menjauh dan terus melangkah ini tak mugkin terjadi pada ibuku. Kupejamkan mata untuk meraih ketegaran mencapai kesabaran hati menerima tanpa kata. Aku kembali memeluk tubuhmu berharap angkau kembali tapi itu tak terjawab.
“Mama…” “Kembalilah, ajar aku untuk menjadi soso yang kuat, yang gagah yang akan menghiasi hidupmu untuk selamanya.” Inilah aku menjadi remuk tak berdaya dan sosok yang memeluk duka dua wanita dambaan hati yang lara.