Kepulan berwarna putih memenuhi setiap sudut dirumah kecil yang hanya bersekatkan kardus-kardus dan menebarkan aroma-aroma menyesakkan dada setiap orang yang berada dalamnya. Benda yang membuatku muak dan membencinya, karena bapak lebih suka membakar rokok dan menghembuskan asapnya daripada melihatku sekolah.
“Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalo nantinya kamu cuma jadi kuli,” ucap bapak saat kuutarakan niat untuk melanjutkan sekolah ke menengah pertama.
“Yang penting kamu bisa baca, tulis dan menghitung, itu sudah cukup.” Argumen bapak lagi. “Uangnya bisa untuk makan. Coba kamu lihat si Tarno, sekolahnya sampai sarjana, tapi apa….. ujung-ujungnya tetap nguli juga,” “Tapi pak….” “Sudah, nggak usah kebanyakan tapi-tapi, mendingan sekarang kamu ikut bapak ke toko Wak Hasyim,” potong bapak cepat dan sebelum aku sempat bertanya lebih jauh, bapak sudah keluar rumah dengan rokok yang terselip di kedua bibirnya. Dengan setengah berlari aku berusaha menjajari langkahnya. Langkah lelaki tua yang berpikiran sempit tentang pendidikan, yang percaya bahwa untuk mendapatkan materi nggak perlu sekolah tinggi-tinggi tapi cukup dengan modal bisa baca, tulis dan menghitung serta fisik yang kuat.
*****
Dan disinilah aku berada, melewati hari-hari sebagai pekerja di toko yang penuh sesak oleh bahan-bahan bangunan dan bahan keperluan sehari-hari, ntah akan sampai kapan.
Rasa iri melihat langkah-langkah ringan dan canda tawa anak-anak berseragam yang melintas di jalan depan toko selalu bersemayam dan menari dihatiku. Mereka seperti selalu ceria tanpa beban, “benar-benar anak yang beruntung,” pikirku melayang.
“Min, bantuin bapak itu ngangkat semen ke motornya,” kata Wak Hasyim tiba-tiba membuat ku tersadar dari lamunan, dengan segera kulakukan perintah majikan ku ini. “Min, temani aku ketempat H. Dullah ya, soalnya Edi lagi nggak ada nih,” ajak Parman sesaat setelah aku selesai melayani pembeli, tanpa banyak tanya aku segera mengikuti langkahnya kesebuah mobil yang telah memuat bermacam-macam material bangunan. “loh Man, kok kamu bawa anak kecil, terus nanti yang bantuin kamu nurunin barang-barang itu siapa? Anak buah ku belum datang,” H Dullah tampak terkejut melihatku, sosok kecil yang kurus seakan tak bertenaga. “Jangan salah pak Haji, si Amin ini biar badannya kecil tenaganya gede,” ucap Parman dengan menyakinkan. H Dullah terlihat manggut-manggut sejenak, “Ya sudah, barang-barangnya diturunkan di tempat biasa,” katanya kemudian. Parman segera tahu maksud H Dullah dan langsung memajukan mobilnya sedikit, didepan sebuah bangunan yang belum begitu jadi semua barang-barang itu diturunkan. “Enak ya Min jadi orang kaya, mau bangun apa aja bisa. Beda sama kita yang mau bikin wc aja harus nunggu berbulan-bulan dulu buat ngumpulin duit untuk beli bahan-bahannya.” Kata Parman dengan nada iri, aku hanya tersenyum simpul mendengarnya. “Min akhir-akhir ini aku sering banget loh ngeliat bapak mu datang ke toko, ngambil rokok gitu,” kata Parman lagi. “Kalau kuperhatikan rokok yang bapak mu ambil itu jenis rokok yang rada mahalan, bukan yang seperti biasanya,” sambungnya lagi. Aku hanya menaikkan bahu pasrah seraya terus menurunkan barang-barang. ‘Ya begitulah Bapak, yang lebih senang membakar uang daripada memanfaatkannya.’ Sambung ku dalam hati. Dua puluh menit kemudian dengan kucuran keringat, Parman dan aku kembali ke tempat H Dullah duduk. “Udah selese?,” tanyanya saat melihat kedatangan kami. “Udah dong pak Haji, ini notanya,” senyum Parman mengembang, tangannya segera mengulurkan sehelai kertas. H Dullah segera menghitung lembaran rupiah sesuai dengan harga yang tertera di nota itu dan memberikannya pada Parman. “Kamu kerja di toko Wak Hasyim juga?,” Tanya H Dullah mengalihkan pandangannya padaku. “Iya pak,” jawabku singkat. “Kamu nggak sekolah?,” “Nggak ada biaya pak,” H Dullah hanya mengangguk-angguk tanpa bertanya apa-apa lagi hingga kami berpamitan. Sesampainya di toko, Wak Hasyim memanggilku, “ Min ini gajimu bulan ini, sesuai pesan bapakmu semua utang rokoknya dibayar pake gajimu,” kata Wak Hasyim seraya menyodorkan sebuah amplop putih. Kubuka amplop itu dan kuhitung, seratus lima puluh empat ribu, “Jumlah gajimu seluruhnya lima ratus ribu dipotong hutang bapak mu tiga ratus empat puluh enam ribu, jadi sisa segitu,” jelas Wak Hasyim lagi saat melihatku terdiam. “Makasih Wak,” jawabku singkat dan langsung kembali melayani pembeli. ‘Rokok, lagi-lagi rokok,’ jerit hatiku kesal.
*****
Sudah hampir sebulanan lebih aroma asap didalam rumah tercium berbeda, bukan lagi asap rokok murahan yang merk-nya tidak begitu terkenal, berganti menjadi aroma asap rokok mandor-mandor yang memiliki duit lebih banyak daripada kuli seperti bapak. Dan tampaknya beliau merasa tidak salah untuk mempekerjakanku. Hari masih pagi ketika Ibu mendekati ku yang bersiap-siap dikamar untuk berangkat ke toko,”Min, kamu sudah gajian belum, Nak?,” tanya ibu hati-hati.
Aku terdiam sejenak, kulihat wajah perempuan yang begitu berharga dalam hidupku. Perempuan yang selama ini memberikan kasih sayangnya tanpa mengharapkan balasan. Perempuan perkasa yang selalu rela menerima suratan takdirnya.
Perempuan yang…….. ntah kalimat apalagi yang dapat mewakiliku untuk mengungkapkan perasaan ini. Melihatku terdiam, ibu kembali mengulangi pertanyaannya,
“Sudah Bu, kemarin. Kenapa Bu?,” aku balik bertanya padanya. “Boleh Ibu pinjam dulu? Buat beli buku dan bayar sekolah Minah,” Dengan berat hati aku berusaha mengiklaskan uang gaji yang ingin kutabung untuk biaya sekolah ku kelak, “Pake aja Bu, tidak usah dipinjam,” ujarku dengan menyerahkan amplop yang sehari sebelumnya diberikan Wak Hasyim padaku.
Wajah ibu terlihat berubah cerah, “Makasih Nak, tapi Ibu akan tetap menggantinya, Ibu yakin kamu ingin menabung untuk biaya sekolah,” ibu hanya mengambil setengahnya, setelah menepuk pelan bahukku Ibu keluar dan memberikan uang tadi pada Minah, sebagian untuk uang sekolahnya yang tertunggak dan sisanya untuk buku Minah yang habis.
Diluar, suara batuk keluar dari mulut Bapak yang tersedak asap rokok, ibu kembali mengingatkan bapak untuk mengurangi konsumsi rokoknya namun bapak, seperti biasa, hanya diam tak mengindahkan. Sejak aku mulai bekerja, kebiasaan bapak merokok semakin gencar, yang dulunya sebungkus bisa sampai dua hari, kini sehari bisa sebungkus lebih rokok yang dibakarnya dan dihembuskan asapnya. Bapak terlihat semakin menyenangi dan menikmati setiap hembusan asap yang dikeluarkan dari mulutnya. Ia bagaikan pemadat yang sangat mendamba narkoba.
Ibu yang biasanya selalu sabar, kini diam-diam mulai mengeluhkan kebiasaan bapak yang semakin tak terkendali. Bapak pun mulai mengurangi uang belanja ibu sedikit demi sedikit untuk ‘mencicipi’ rokok orang gedongan. Bapak juga tidak lagi peduli dengan sekolah Minah, ia tidak lagi memberikan jatah untuk bayar sekolah.
“Si Minah mendingan berenti aja sekolahnya dan bekerja seperti Amin di toko Wak Hasyim. Nggak usah sekolah lama-lama, paling juga ujung-ujungnya ke dapur. Sekolah lama-lama cuma ngabis-ngabisin duit aja, kan lebih baik uangnya buat makan,” kilah bapak suatu malam ketika ibu meminta uang untuk membayar pinjaman padaku yang sebelumnya untuk sekolah Minah.
“Buat makan atau buat rokok?,” ibu langsung meradang mendengar jawaban bapak. Minah seketika ke kamar menyusul ku yang telah sedari tadi masuk. Wajahnya terlihat khawatir dan ketakutan, hal yang wajar kupikir, karena baru kali ini kami mendengar suara ibu meninggi seperti itu.
“Sadar Pak, kita ini sudah tua dan tidak memiliki apa-apa untuk diwariskan. Apa bapak mau ngeliat anak-anak bernasib sama seperti kita orangtuanya?,” suara ibu mulai melunak namun tetap tegas meminta pengertian bapak, sementara bapak hanya diam tanpa suara dengan rokok yang menyempil di bibirnya.
“Aku tidak pernah meminta rumah mewah atau perhiasan, atau bahkan uang yang banyak. Tapi kali ini aku meminta dengan sangat, tolong biarkan anak-anak sekolah, karena hanya itu yang bisa kita berikan untuk mereka. Kita memang tidak bisa memberikan harta tapi setidaknya kita memberikan ilmu untuk bekal mereka kelak,” sambung ibu lagi.
“Tapi biaya sekolah mahal dan akan terus bertambah mahal tiap tahunnya. Belum lagi buku-buku pelajaran yang tiap tahun selalu ganti dan harus selalu dibeli, apakah kita mampu untuk membiayainya? Kan lebih baik uangnya disimpan untuk keperluan mereka yang lain,” sanggah bapak.
“Keperluan mereka atau keperluan rokok Bapak?,” suara Ibu kembali meninggi, emosinya yang berusaha diredamnya kembali naik kepermukaan.
“Tidak ada yang mahal selagi kita ikhlas melakukannya. Sekarang coba Bapak pikir berapa biaya untuk rokok Bapak sebulan?,” tanya ibu lagi. “Dan setengah dari biaya rokok Bapak sebulan bisa untuk uang sekolah Minah beberapa bulan. Apakah Bapak lebih menyukai membakar uang-uang itu hanya untuk merasakan asapnya yang nggak ada manfaatnya sama sekali atau melihat uang itu menjadi ilmu yang bisa mengubah hidup mereka kelak?,”
“Tapi tidak selamanya ilmu bisa mengubah hidup orang, buktinya si Tarno yang sekolah tinggi-tinggi tapi kerjaannya sama aja seperti ku,” sanggah bapak lagi.
“Berubah atau tidaknya hidup mereka, itu urusan belakang. Kewajiban kita sekarang adalah menyekolahkan mereka. Saya lebih suka melihat uang itu habis untuk membiayai sekolah mereka daripada terbakar percuma dan hanya menghasilkan asap.” Berang ibu. Ntah bagaimana wajah ibu saat ini, aku dan Minah semakin cemas di kamar.”Mas bagaimana ini? Gimana kalo Ibu dan Bapak pisah seperti orangtuanya Nuri, kita harus ikut siapa?,” tanya Minah berbisik, wajah Minah terlihat benar-benar khawatir dan pucat.
Dibenak ku tergambar ‘lukisan-lukisan’ seram yang melibatkan kekerasan fisik, aku tidak akan sanggup menghadapinya jika hal itu benar-benar terjadi. “Ssst, Minah nggak boleh ngomong gitu.” Hiburku menenangkannya, padahal hatiku pun berkecamuk dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.
Bapak terdengar menghembuskan nafas, suasana menjadi hening sesaat, “ Ya sudah nanti aku coba usahakan uang sekolahnya Minah,” suara bapak semenit kemudian dan langsung melangkah keluar rumah, ntah kemana.
Kulihat mata Minah berbinar mendengar semua itu, aku pun ikut berbahagia untuknya, dengan serta merta Minah berlari keluar dan berhambur kedalam pelukan ibu yang hangat akan kasih sayang. Ibu adalah wanita terbaik yang pernah ku temui di muka bumi ini. Aku cukup mengerti dengan semua kata-katanya tadi dan membuatku amat sangat bangga dengan pemikirannya.
Aku ikhlas bila bapak tetap menolak untuk menyekolahkan ku lagi, toh aku masih bisa mencari ilmu di luar sekolah, asalkan Minah dapat terus bersekolah. Setidaknya masa depan keluarga ini dapat sedikit mengalami perubahan kelak.
*****
Nama Penulis: ulie ndut Blog: uliezahra.blogspot.com