Suara nyanyian Katak di belakang rumah telah membangunkanku. Mungkin mereka girang bahagia, bak orang yang antri mendapatkan daging hewan kurban Idhul Adha yang saling beradu kekuatan untuk setengah kilo daging, tetapi tidak sampai memakan korban jiwa. Maklum, tadi malam telah terjadi hujan yang deras di kampungku, sehingga membuat katak-katak itu seakan berdendang kegirangan. Genangan-genagan air masih terlihat di sekitar rumah, daun-daun juga masih basah, dan kolam di belangkang rumah meluap airnya hingga ke sawah-sawah sekitarnya. “ternyata hujan tadi malam sangat lebat hingga air terlihat di mana-mana” pikirku yang dalam keadaan masih ngantuk dan belum sempat cuci muka.
Selesai melihat sekitar rumah dengan wajah lungset, serta bau mulut seperti bungkus Teras. Aku beranjak ke kamar mandi, membersihkan diri dan memulai beraktivitas pergi ke sekolah. Rasa malas dan kantuk segera aku hilangkan dengan siraman air di kamar mandi.
Seperti biasanya, setiap pagi aku berangkat ke sekolah Madarasah Ibtidaiyah untuk mendidik murid-muridku. Semangatku mendidik mereka tak pernah surut, seperti gelombang laut yang tak pernah reda. Aku selalu Berharap, kelak mereka akan menjadi orang yang berguna untuk orang lain, lebih-lebih bagi dirinya sendiri. Kebahagianku adalah melihat mereka menjadi orang sukses. Menjadi lurah yang melayani rakyat dan membantuk orang lain dari kesusahan. Orang kantoran, setiap hari selalu mengenakan dasi yang memlilit di lehernya, sepatu yang mengkilat, koper hitam, dan kemana-mana pakaiannya selalu bersetrika rapi, yang seakan-akan tak membiarkan lalat hinggap di bajunya dan terpelesat karena licinnya, atau menjadi seniman yang selalu membuat indah permasalahan, bercerita tentang kebahagiaan dan hikmah dibalik duka, hingga dunia ini di anggap permainan yang harus sesuai scenario agar selamat sampai cerita selesai. Dokter, Orang kantoran atau seniman itu tidak penting bagiku, yang jelas mereka bisa meraih mempi-mimpinya. Aku yakin, mereka bermimpi yang baik-baik untuk dirinya dan orang lain, bukannya yang merugikan.
Aku yakin mereka bisa meraih itu semua. Kobaran semangat keyakinan yang menggebu-gebu, membuat aku tak pernah mengeluh untuk datang ke sekolah swasta tersebut yang didingnya sudah doyong, dan kayu-kayu penyangga genteng mulai di grogoti rayap. Ditambah lagi, gaji yang kudapatkan tak seberapa atau jauh dari kata cukup, sebab muritku kebanyakan kurang mampu. Tapi semua itu tak menyurutkan niatku mencerdaskanya. Terlalu besar kobaran semangat di dadaku, hingga tak mampu semua itu memadamkannya.
Sampai di sekolah, aku disambut murid-muridku dengan senyum kepolosan. Narto, Sumiati, dan Hariono menyapaku, seakan ada sesuatu yang ingin ditanyakan, tapi susah dari mana mengawalinya “assalamualaikum. selamat pagi, pak” ucapan mereka agak gugup tapi serentak seperti paduan suara yang tinggi rendahnya sama, penuh semangat, bibirnya tersenyum lebar penuh keikhlasan. Aku pun membalas senyuman “waalaikumsalah. Sudah sarapan tadi?”. “Sudah, pak” jawabnya sopan dengan nada yang lebih redah dari sebelumnya tapi masih kelihatan perasaan yang ingin menanyakan sesuatu kepadaku.
Mereka pun menanyakan lomba yang akan diselenggarakan kantor kecamatan dalam rangka Hari Pendidikan Nasional. Mereka bertiga yang mewakili sekolahan ini untuk dilombakan, karena mereka yang menang dalam seleksi yang diselanggarakan sekolah untuk mewakili ke tingkat kecamatan tersebut. Mereka menang dari dua puluh lima peserta. Dua puluh lima peserta berat hampir semua siswa ikut, sebab yang diperbolehkan ikut seleksi adalah dari kelas tiga hingga enam yang jumlahnya keseluruhan tiga puluh siswa.
Meski sekolah ini operasionalnya lemah karena beberapa faktor, salah satunya dana. Aku tidak menjadikannya hambatan melainkan tantangan yang harus dihadapi. Aku selalu menanamkan rasa optimis terhadap segala yang dilakukan murid-muridku. Sport tetap belajar yang giat supaya tercapai mimpi-mimpinya dan menang menjadi juara dalam lomba selalu aku sampaikan.
Narto mewakili lomba menggambar. Dibalik sifat kalem dan lemah lembut, jiwa seni dan khayalnya begitu kuat, sehingga mampu menggambar sungai yang ikan-ikan kelihatan secara transparan, sebab airnya yang mengalir dari gunung yang di ganbarnya begitu jernih, sejernih air di akuarium yang setiap hari diganti airnya sehingga tak sempat berubah warnanya.
Sumiati yang mewakili lomba matematika. Kecepatanya menghitung sangatlah cepat di antara teman seusianya. Pantas saja dia menang di sekolahannya. keoptimisanya “bisa” selalu ada di benaknya. Kecepatan berhitungnya ini menurut dari ibunya. Sayang ibunya bernasib kurang beruntung, meski cerdas dalam menghitung, dia hanya menjadi ibu rumah tangga dan mehitung uang pengasilannya dengan suami yang menjadi buruh tani yang harus mencukup-cukupkan kebutuhan rumah tangganya.
Hariono mewakili lomba mendongeng. Ternyata hobinya yang gemar membaca buku, mengantarnya mengikuti lomba mendongeng di kecamatan. Begitu lihai bibirnya berbicara dan intonasi dalam bercerita, sehingga pendengar paham betul cerita yang disampaikan oleh Hartiono. Hariono ini sepertinya bakat menjadi seorang Dalang yang saat ini langka keberadaanya. Kalaupun ada pasti sudah usia lanjut. Semoga Dia bisa melatih bakatnya dengan baik, kelak menjadi penerus kesenian wayang.
Dua minggu dari seleksi telah berlalu, dan latihan demi latihan telah dilalui. Mental Hariono, Narto dan Sumiati telah digodok tapi dengan godokan yang santai tanpa paksaan, sebab sesuatu yang dipaksa hasilya tak akan baik. Kini mereka telah siap ketempat acara setelah dua minggu belajar tentang masing-masing yang akan diwakilinya.
Rasa capek yang kurasakan tak pernah membuatku surut mendidik dan memotivasi muridku. Sebab menurutku, seorang guru itu tugasnya tidak hanya mentranfer ilmu saja, tapi juga mendidik prilaku murid menjadi baik. Motivasi-motivasi selalu diberikan, agar fikiran mereka ketika menghadapi masalah tidak cenderung putus asa. Buat mereka bergairah menghadapi masalah tersebut. Karena masalah tidak untuk dihindari, tapi dihadapi dan diselesaikan.
Hariono, Narto, dan Sumiati yang satu kelas ini, sekaligus wakil sekolahan untuk lomba di kecamatan mulai berangkat ke tempat lomba berlangsung. Hariono aku gonceng dengan sepeda ontel warna cokelat kusam milikku yang sebenarnya kusam itu warna teyeng, aku tak mampu membeli cat sepeda. Sepeda ini juga yang mengantarkan aku sampai ke sekolah ini. Remnya menggunakan sandal gapit yang aku ikat di garbu depan, jika jalannya turun dan ingin mengerem, maka kakiku kanan sudah hafal betul apa yang harus dilakukan. Kakiku menginjak sandal yang aku lilitkan di garbu depan tersebut. Sebenarnya sandal gapit tersebut asalnya putus tersandung di jalan dan tak bisa diperbaiki lagi. Narto dan sumiati juga sama di bonceng guru yang lain dengan sepeda ontel, tapi sedikit lebih bagus mereka ketimbang sepada ontel melikku.
Sampai di sana lomba segera di mulai. Pengumuman dari panitia sudah menyuarakan bahwa acara segara di mulai lima menit melalu pengeras suara sound system. Narto, Sumiati, dan Hariono aku suruh lari cepat dan menuju tempat lomba yang disediakan panitia, sebenarnya aku juga kasihan jika berlari, karena aku tau pasti mereka capek karena tadi aku bonceng tampak keletihan. Ternyata lombanya bersamaan yang hanya di sekat dengan tali rafia saja. Sumiati, Hariono sudah menemati posisinya dan peserta lain kurang lebih keseruruhan empat ratus peserta juga sudah siap. Suara panitia menghitung dengan mundur dari angka lima melalui pengeras suara, hingga angka satu berarti lomba dimulai. Lautan manusia tumpah ruah jadi satu di lapangan kecamatan yang panas oleh sinar matahari dan hawanya manusia serta suara orang jualan, menyoraki peserta dan lain sebagainya menjadi satu. Hingar bingar suasana di lapangan kecamatan.
Ngomong-ngomong mengenai sound system. Sebenarnya suara sound systemnya itu suaraya kemrosok, berisik seperti ada pesta tikus di dalamnya. Semua orang tidak menghiraukan itu, termasuk panitia. Mungkin panitia menyewanya asal-asalan saja, asal bunyi! Kalaupun bunyinya suara rusak, tentu panitia tidak menyalahkan yang punya sound system. Dia akan malu dengan dirinya sendiri. Mungkin panitia lomba ini juga sama dengan sekolah saya yang minim biaya, gerutuku dalam hati.
Acara sudah dimulai beberpa menit yang lalu. Tampak aku liat muridku Narto yang pertama kali kudekati tapi tidak masuk dalam garis rafia begitu lihai memaikan sepidol gambar. Sepidol yang ditangannya menari-nari di atas buku gambar seperti tari Salsa. Tampaknya narto tidak mengalami kesulitan yang berarti.
Kemudian aku beranjak ketempat Hariono mendongeng. Kulihat waktunya muridku yang mendongeng. Sungguh tak kusangka ternyata hobynya membaca buku-buku cerita itu membawa keutungan baginya dan sekolah. Dramatis sekali layaknya pendongeng Kentrung dari kebudayaan asli Lamongan yang di bawa oleh Sunan Drajat. Tapi tidak memakai tabuh atau rebana layaknya kentrung sungguhan, tapi pegang mikrofon saja.
Kayaknya yang bermasalah dilomba ini adalah Sumiati. Wajahnya penuh dengan keringat dingin, seakan khawatir salah atas jawaban yang dia buat. Hal itu nampak pada muka dan duduknya yang sering bergeser-geser. Tapi dia mencoba menenangkan dirinya sendiri. Aku ingat tadi pagi sebelum berangkat, wajah Sumiati pucat dan lesu, mungkin dia kepikiran lomba ini yang selam dua minggu belajar bersama meski hanya setengah jam, atau masalah dengan sakitnya yang kambuh kembali. Tapi aku yakin, Sumiati dan yang lainnya dapat menyelesaikan dengan baik. Memang tak di pungkiri, meski persiapan sudah ditata sedemikian rupa, terkadang hal-hal yang tidak diinginkan bisa terjadi. Aku dam murid-muridku hanya mampu berusaha dan tidak kuasa atas hasil. Yang pasti aku bisa membawa murid-muridku di acara kecamatan dan berharap pulang membawa kemenangan.
Cerpen Karangan: Supendi Facebook: Pend Mas
Profil Penulis: penulis adalah mahasiswa pendidikan bahasa dan sastra indonesia semester VII di UNISDA Lamongan. gemar membaca cerita fiksi.. menelurkan beberapa tulisan baik cerpen, puisi, dan artikel. sudah terbit di beberapa media cetak lokal… Motto: bara api bukanlah satu-satunya hal yang menakutkan karena mimpi tercipta menjadi kenyataan sebab kegelisahan.