Dalam kenangan masa lalu yang sangat buruk tentu Naila tak mau lagi jatuh ke jurang yang sama. Karena salah memilih sahabat, ia menjadi anak pemalas dan boros. Sebelumnya ia berteman dengan Hafiz, laki-laki yang kehidupannya hanya bermain dan bermain saja. Tak sama dengan sifat buruknya ternyata Hafiz adalah pemuda yang sangat baik hatinya, sama sekali ia tak pernah menyakiti orang lain.
Naila adalah anak dari seorang mantri yang terkenal didaerahnya. Hafiz dan Naila setiap harinya selalu bermain dan bercanda bersama, tak hanya mereka berdua tapi juga banyak temannya. Kedekatan mereka membuat mereka saling jatuh hati, pikiran Naila dan Hafiz yang masih sama-sama pendek membuat Naila sering menangis.
Nilai-nilai Naila anjlok, raportnya seperti api unggun. Bahkan ia mendapatkan ranking yang sangat jauh diluar pikiran orang tuanya. Sebagai anak perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara tentu orang tuanya tak mau Naila menderita dimasa yang akan datang.
Karena sadar sang putri mengalami penurunan belajar, ayah Naila ini memanggilkan guru privat untuk anak kesayangannya. Awalnya Naila sedikit tidak senang dengan keputusan ayahnya, namun ia tidak bisa menolak keputusan itu. Dihari pertama guru privat itu datang, Naila sama sekali tidak bersemangat dan lebih asik nonton tv. Setelah ayahnya berteriak memanggilnya, barulah ia mau menemui guru barunya. Wajah Naila yang semua muram kini menjadi sangat berbinar ketika ia melihat guru barunya. “ini guru privat kamu, namanya Ranza” ujar ayahnya untuk memperkenalkan Ranza kepada putrinya.
Naila tidak mau mengerjakan satu pun soal pemberian Ranza, ia lebih suka menggambar gambar-gambar abstrak yang mungkin hanya ia yang mengerti maksud dari lukisannya itu. Ranza adalah laki-laki cerdas dan tampan, umurnya sekitar dua tahun lebih tua dari Naila. Kesabaran Ranza untuk menghadapi Naila itu diacungi jempol oleh ayah Naila.
Setiap harinya Ranza datang kerumah Naila, dengan kejailannya tak jarang Naila mengerjai Ranza dengan berbagai cara. Sekali pun tak pernah Ranza terlihat marah. Ketika Naila sedang belajar bersama Ranza, Hafiz datang membawakan makanan kesukaan mereka berdua dan tentunya ini membuat Naila meninggalkan pelajarannya.
Sehari-hari ia menangis karena ayahnya melarang ia berteman dengan Hafiz dan lebih mengutamakan Ranza untuk menjadi guru sekaligus teman untuknya. Sering sekali Naila membentak Ranza dan meninggalkannya pergi ke kamar, namun Ranza tetap datang dan menunggunya. Tamparan, pukulan, cubitan, dan hinaan selalu diterima Ranza dari Naila. Ranza sama sekali tidak membenci Naila, sebagai laki-laki yang lebih dewasa Ranza memaklumi Naila karena pergaulannya. Tak jarang Ranza memohon agar Naila tidak lagi berbuat kasar kepada siapa saja, namun Naila tetap saja membenci Ranza.
Naila dan Hafiz hanya dapat bertemu disekolah. Setelah lima bulan mereka tidak bermain kini saatnya mereka menghadapi ujian kenaikan kelas. Dengan sangat bersemangat Naila mengerjakan semua soal yang diberikan, sedangkan Hafiz hanya bisa diam dan melirik kiri dan kanan tanpa berfikir banyak. Kejadian itu berulang berkali-kali hingga ujian dinyatakan selesai.
Beberapa hari berlalu menunggu penerimaan raport , namun Ranza sudah tak pernah datang ke rumah Naila. Berulang kali Naila menanyakan tentang Ranza kepada ayahnya. Ketika mendapat jawaban dari ayahnya bahwa tugas Ranza untuk mengajarnya sudah selesai, Naila terlihat sedih. Ia masuk ke kamarnya dan memikirkan berbagai sifat buruknya kepada Ranza, ia sempat menangisi Ranza. “ayah.. Naila mau ketemu Ranza” ucapnya sambil menangis. “besok kalau raport kamu sudah dibagikan ayah akan mengantarmu” jawab sang ayah yang mengelus lembut rambut indah Naila.
Setelah penerimaan raport, Naila seakan tak percaya dengan nilai-nilainya. Bahkan ia masuk kedalam sepuluh besar dikelasnya, Naila pun menangis dipelukan ayahnya. Setibanya dirumah Naila memohon kepada ayahnya untuk mengantarnya ke Ranza. Dengan senyuman kecil sang ayah menyanggupi permintaan putri cantiknya itu.
Mereka berdua menuju ke kampung sebelah, selama perjalanan dengan sepeda motor Naila hanya terdiam bersandar dipunggung ayahnya. Setibanya disebuah rumah yang sepi, Naila berlari mengintari rumah. Ia melihat Ranza tergeletak ditempat tidur, tengan wajah yang sangat ketakutan Naila berteriak memanggil nama Ranza namun tak ada sahutan.
Beberapa kali Naila berusaha membangunkan Ranza tapi ia tak kunjung sadar. Sang ayah datang dan duduk disamping Naila, Naila menyuruh sang ayah untuk memeriksa Ranza namun sang ayah sama sekali tak bereaksi dan hanya bergeleng. Naila terus menangisi Ranza yang masih memejamkan mata.
Sesekali Naila menggenggam tangan Ranza bahkan berteriak ditelinganya. Naila juga memeriksa nafas dan nadi Ranza namun masih normal dan ini membingungkan Naila. Suasana mencengkram ini terpecahkan oleh suara Ranza “berisik banget sih ah” dan itu sangat mengejutkan Naila. Kemudian Ranza benar-benar terbangun dan duduk ditempat tidurnya. “kamu ngapain nangis disini? Enggak naik kelas?” tanya Ranza sedikit cuek. “enak aja..!! kamu itu apa-apaan sih.. diteriakin enggak bangun, buat orang takut aja..” bentak Naila yang cemberutkarena malu tapi Ranza hanya tertawa kecil. “Ranza.. Naila masuk sepuluh besar” sahut ayah Naila dengan senyumannya.
Dengan bahagia Ranza bengong memperhatika Naila “yang bener?” tanyanya kepada Naila namun hanya dibalas dengan anggukan saja. Sang ayah berterimakasih kepada Ranza yang telah membantu Naila dalam belajar, Naila juga minta maaf atas segala kelasahan yang ia lakukan kepada Ranza.
Dengan senyuman Ranza mengajungkan jari kelingkingnya beserta senyuman manisnya yang dapat membius Naila, dengan kelingking imutnya Naila mengikatkan janji persahabatan mereka berdua. Sejak saat ini Ranza selalu datang kerumah Naila tapi bukan sebagai guru privat namun sebagai Sahabat terindah pembahwa berkah. Naila sadar selama ini ia menjadikan Ranza sebagai motivasinya, ia membenci Ranza karena ia iri akan kemampuan Ranza. Tanpa disadari Naila jatuh hati kepada Ranza, namun ia belum mau berhubungan yang lebih jauh, baginya persahabatan lebih berharga.
Sedangkan Hafiz, ia kembali mendapat nilai yang sangat jatuh. Tentu saja orang tua dan gurunya sangat kecewa kepadanya. Kebaikan Hafiz memang membuatnya memiliki banyak teman, tapi kemalasannya membuat ia jatuh dibawah teman-temannya. Kini Naila tidak lagi sedekat dulu dengan Hafiz tapi mereka tetap berteman, kini dengan sifat anggunnya Naila memiliki banyak teman yang dapat membawanya ke jalan yang lebih baik untuk prestasi bintang kejora. “Jadikan hal disekitar kita sebagai pendorong kita untuk maju bukan sebagai penghambat dalam kesuksesan kita. Hal yang kita benci belum tentu itu adalah hal yang akan menjatuhkan kita, tapi bisa jadi hal yang sangat kita banggakan itu adalah bom untuk kehidupan kita”
Cerpen Karangan: Aulia Farhah FA Blog: auliaindonesia.blogspot.cop Facebook: auliafarhah.a[-at-]yahoo.com SD N2 PRAMBANAN SMP N1 PRAMBANAN @AuliaFarhahFA