Barulah seabad saja, sinar cakrawala berwarna kuning emas itu tumbuh mengembang dari balik gagahnya Gunung Gambir nan hijau rupawan. Pelukan embun-embun musim kemarau merayapi ranting-ranting bunga Clerodendron Paniculatum dipekarangan rumah. Semerbak wanginya menjalari awan gemawan putih kebiru-biruan yang tengah asyik bersenda gurau, mereka tertawa lepas menyambut mentari. Spoi-spoi angin membawa wanginya menyapa ladang padi kuning yang seminggu lagi akan menjelma menjadi pengisi perut pemiliknya. Cerah. Saking cerahnya, Pagi ini kampungku berubah laksana istana surga berukuran mini. Kampung Bibury—Inggris, kampung Savoca—Italia, kampung Wengen—Swiss, kampung Eze—Prancis, dan kampung Cesky Krumlov—Republik Ceko menangis sesenggukan. Kampung-kampung terindah didunia itu terharu dengan keindahan luar biasa yang terpancar dari kampungku. Kampung Edensor pun kalah telak.
Seperti biasa, tiap hari Rabu, Jam terakhir nanti. Aku wajib mengisi jurnal mengajar di kelas IX. Batik ungu lengan tak panjang dipadu dengan celana hitam pekat telah siap menjaga performance ku. Aku harus kelihatan rapi. Aku malu murid-muridku nanti mengataiku yang macam-macam jika aku tak rapi. Laptop ACER Extensa 4630Z—kawan akrabku, telah siap tergendong dibelakangku. Sentuhan terakhir: Kopyah Hitam Cap Kuda Terbang Size 7. Sempurna.
“Sudah berapa kali saya bilang, pak! Saya rasa sudah seratus dua puluh enam kali saya bilang, JANGAN TERLAMBAT, PAK! Dengan ini pun sudah seratus dua puluh tujuh kali!!” Ah! Inilah resiko jadi seorang bawahan. Tak di negeri manapun, Kepala Sekolah pasti jadi penguasa. Padahal, kulihat jam masih 07.01 WIB. Aku diam saja. Berdosa membantah kata-kata orang yang sudah tua. “Di maklumi lah, pak. Ya paling-paling Pak Akhmad masih bersih-bersih rumahnya. Dia ‘kan sendirian dirumahnya.” Bela salah satu guru. Aku mengangguk kencang. Padahal tidak. “Alah! paling-paling seperti kebiasaannya. Habis Sholat Subuh tidur lagi. Ya kebabas! Benar ‘kan, pak?” geram kepala sekolah. Aku tetap membisu, dan menggelengkan kepala. Padahal Iya. “Yo Wes lah, jangan ulangi lagi, pak. Jangan sampai saya bilang yang ke seratus dua puluh delapan ….” Ia menghela napasnya. “… buatkan SPJ!. Besok TF cair!.” Sambungnya . Alhamdulillah. Aku seakan melayang bebas ke angkasa. “TF”: Inisial paling kutunggu kehadirannya didunia ini. “Baik, pak. No problemo!” Sambil mengerutkan dahinya, akhirnya Pak Kepala Sekolah itu tersenyum.
*****
Belum tuntas satu lembar, Handphone CROSS D1T di saku celana kananku bersuara. Ada pesan singkat dari kawan baikku.
Bung, tadi malam Barcelona menang lagi. Malaga dihancurkan 1-3 dikandangnya!!!
Aku tertawa kecil. Ku tekan tombol Reply.
Oke, Bung. Rasanya saya semakin cinta pada Barcelona.
Tiba-tiba, entah darimana datangnya. Bayangan Distorsi kecil-kecil menari dipelupuk otakku. Seorang perempuan telah melintas. Sejurus ia melemparku kemasa lalu. Aneh, disaat Barcelona tergenang diotakku, disaat itulah seorang perempuan menawan itu mengikutinya. Aku tak tahu apa sebabnya. Tapi yang kutahu. Barcelona dan perempuan itu tak jauh berbeda. Barcelona dan perempuan itu seakan telah menjadi segalanya dalam detak-detak jantungku. Telah empat tahun aku takluk oleh daya pikat Barcelona dengan Tiki Taka nya. Tapi, pun telah empat tahun sudah aku mengenang perempuan itu.
Aku harap dia mendengar.
Aku termenung sendiri, lalu tersenyum. sekilas termenung lagi, tersenyum lagi. Pagi ini aku seumpama orang tak waras. Cinta telah membawaku lari dari akal sehat. Cinta dari dalam liver ini telah meletup-letup tak karuan. Perasaan rindu menggebu-gebu. Perempuan itu tiba-tiba menohok hatiku. Dalam sekali. Telah empat tahun terakhir aku tak tahu ia dimana, buta kabarnya, tak tahu rimbanya.
Modem ZTE Made In China kurogoh dari tas ku. Ia telah terpasang nyaman di Laptop ACER Extensa 4630Z—kawan akrabku. Sejurus aku telah masuk ke akun Facebook ku. Di rubrik pencarian ku ketikkan nama perempuan itu. Kutunggu sampai selesai. Ah! Kenapa tak ada? Ku ketik lagi dengan sangat pelan dan hati-hati. Lalu kutekan tombol Enter, pun dengan pelan-pelan. Kutunggu lagi. Aku mengerutkan dahi. Kenapa namanya not found? Apakah perempuan itu tak ada didunia Facebook?.
Aku tak putus asa. Ku ketik lagi namanya dengan memadukan nama-nama aneh, asing dan unik. Barang kali dia tak mencantumkan nama lengkapnya. Tapi nihil. Tetap saja not found. Aku tak berhasil menemukan. Otakku melilit. Ku buka Google Search. Kuketikan lagi namanya. Handphone CROSS D1T ku berdering. Ada SMS masuk, dari kawan baikku tadi.
Cinta ? jangan lebay lah, Bung.
Aku tak peduli. Kulanjutkan mengetikkan namanya. Kutekan Enter. Aku memejamkan mata, Sembari berharap namanya dapat diketemukan kawanku yang genius itu—Google. “Assalamualaikum, pak. Ada anak berkelahi.” Seorang murid mengagetkanku. Ah! Kenapa harus sekarang? Seorang guru memang harus jadi pembimbing yang amanah dan fathonah. Sebenarnya aku tak mau meladeni anak berkelahi itu. Tak ada gunanya ketimbang bergunanya perempuan itu. Tapi, Ah! Tut Wuri Handayani. Kalimat ini mengawang-ngawang perih diotakku. Aku bergegas. Meninggalkan Google yang entah telah sampai dimana mencari perempuan menawan itu.
Setengah jam kemudian aku kembali dengan keringat berceceran. Otakku mendidih. Dua anak laki-laki kelas 7 dan 8 itu telah membuat otakku begitu. Hanya karena cinta saja, mereka beradu jantan. Pelajar yang intelek seharusnya tak berkelahi, apalagi hanya karena cinta. Ah! Dunia ini seakan telah diperbudak oleh cinta. Miris sekali.
Otakku semakin ingin meledak rasanya. Setelah Laptop ACER Extensa 4630Z—kawan akrabku itu kudapati mati tak bernyawa. Dan secara otomatis, pencarian perempuan itu harus kuulangi lagi.
Garis warna hijau itu melingkar-lingkar seperti ular. Disebelahnya terpampang nama perempuan itu tengah ditelusuri. Layarpun terkembang. Kawanku yang genius itu berhasil menemukan nama perempuan itu. Tapi aku harus benar-benar teliti. Tak lain tak bukan, nama perempuan itu bukan hanya miliknya saja. Tubuhku bergetar tak karuan. Jari-jariku terus bergerilya. Akhirnya kutemukan. Ah! Ternyata namanya di Facebook: PelangiNiez. Aku tersenyum. Tubuhku tetap bergetar tak karuan. Lalu, disalah satu situs, aku menemukan namanya lengkap. Ku klik situs itu dengan terburu-buru. Perasaan panas dingin menjalari tubuhku. Rindu itu semakin merayap kedasar jantungku.
Ternyata itu adalah hasil nilai Test Of English Profiency di kampusnya: Universitas Negeri Surabaya. Setahap demi setahap rindu ini terobati. Kubaca perlahan. Luar biasa perempuan itu. Dunia bolehlah menganugerahi Albert Einsten sebagai manusia tercerdas didunia dengan IQ 160 nya, Indonesia berbanggalah dengan B.J Habibie nya yang genius. Andrea Hirata dengan kawannya yang genius tiada tara: Lintang Samudra Basara. Tapi bagiku sendiri, perempuan itulah yang tercerdas. Kupikir IQ nya mencapai 170, atau 200 kemungkinan. Melampaui segalanya. Ini yang paling kukagumi dari perempuan itu: kecerdasannya. Hatiku ngilu dibuatnya.
Pernah dimasa dulu, ketika aku dan dia terjerat dalam jalin-jalin kasih. Aku memintanya untuk memberitahuku apa fungsi lambang x dan y di pelajaran Matematika: Persamaan Linier Satu Variable. Tapi apa yang aku dapat? Yang aku dapatkan adalah sebuah seni mempelajari Matematika yang indah. Ia memberiku aplikasi yang menurutku rumit menjadi perhitungan yang sangat mudah. Lain waktu aku memintanya lagi memberitahuku apa arti Bahasa Indonesia dari Tenses. Yang aku dapatkan malah pahamnya aku tentang bentuk-bentuk kalimat Present Tense, Past Tense, Past Perfect Tense, Future Tense dan Past Future Perfect Tense. Kutanya nada apa senar gitar paling bawah, yang kudapat adalah chord C Mayor, D Minor, E Minor, F Mayor, G Mayor dan A Minor. Aku bertanya tentang Tulang Tengkorak Manusia, yang aku dapatkan adalah Struktur-struktur penyusun rangka Manusia. Kutanya Do’a Sebelum Tidur, yang kudapat adalah Do’a-do’a yang ada di dalam Al Quran dan Al Hadits. Bukan main. Jawabannya, selalu jauh melebihi yang aku tanyakan. Yang paling berkesan sangat untukku hingga kini adalah: Aku bertanya tentang definisi cinta, yang aku dapatkan adalah seberkas cahaya lembut mengalir kedalam aliran darahku. Tergenang didalam nampan kalbu. Meluap-luap seumpama Samudera Hindia. Terkenang-kenang hingga detik ini jauh didasar imajinasiku yang tak berekor. Aku terdampar lemas. Jari jemariku runtuh. Tubuhku remuk redam mengenang perempuan luar biasa itu. Tak perlu Silabus dan RPP. Tak butuh Prota dan Promes. Perempuan itu telah terakreditasi A++ dalam sanubari terdalamku.
Bunyi bel menggema, tanda pergantian jam pelajaran. Sebenarnya belum tuntas aku membuka satu demi satu bacaan-bacaan tentangnya, di akun Facebook nya. Tapi, apa kuasaku? Ada belasan murid telah menungguku. Kututup Mozilla Firefox pelan. Aku bergumam dalam hati. “Tunggu aku nanti. Aku akan kembali membaca kabarmu. Google! Simpan dia untukku, kau dengar? Jangan kau apa-apakan dia!”
*****
Aku tersenyum renyah ketika menutup Laptop ACER Extensa 4630Z—kawan akrabku itu. Aku bersiul-siul. Buku Paket Tekhnologi Informasi dan Komunikasi Untuk SMP/MTs Kelas IX ku kipas-kipaskan tanda hari ini aku sangat senang tak kepalang. “Assalamualaikum, Anak-anak, Kawan-kawan, Teman-teman, Sahabat-sahabat kecil ……” seperti biasa salamku pada murid-murid. “Waalaikumsalam!!” jawab mereka hampir serempak. Air muka mereka sama. Penuh letih dan lemas. Kumalumi, beginilah nasib mengajar di jam terakhir. Pasti bertemu dengan mimik-mimik muka itu. Pasti berjumpa dengan perut-perut yang keroncongan itu. Tapi aku punya misi tersendiri mengatasi itu. Karena itulah, ide konyol masuk kedalam otakku. Aku menjelma menjadi guru gila.
“Prokk!!” aku menepukkan tangan. Mereka terperanjat. Aku tersenyum mendapati mereka terkejut. Kulanjutkan berbicara. “Hei, sudah ada yang kenal apa itu cinta ndak?” gila bukan? Aneh. Tiba-tiba muka mereka sumringah. Luar biasa. Ganasnya virus cinta mampu mengenyangkan perut yang sedang lapar. Kulihat si Maisya tersenyum sendiri. Aku yakin, kali itu ia tengah membayangkan wajah kekasihnya yang kudengar-dengar punya anak satu itu. Ah! Cinta memang buta. “Apa kalian ingin mendengar saya bercerita tentang …… cinta?” Kurang ajar. Mana ada guru yang memberikan materi tentang cinta? Benar-benar gila. Tapi tak apalah. Mungkin, sekali saja. 17 murid didepanku menganga. Ada juga yang telah bersiap memasang telinga. Ada juga yang masih terkantuk-kantuk. Tapi, aku yakin. Mereka akan mendengarkan aku berhikayat.
Aku harap dia mendengar.
“Dulu, sewaktu saya seusia kalian saat ini. Saya pernah berhasil menaklukkan perempuan tercantik, tercerdas, teranggun dan ter ter yang lain se sekolahan saya!” Mereka diam saja. Aku harap mereka percaya. Karena ini adalah nyata. “Setiap hari saya giat belajar. Kalian tahu kenapa?” Mereka menggeleng. Tak tahu. Bukan bodoh. Tapi memang tak tahu. “Karena saya ingin secerdas dia!” “Tapi, setiap hari juga saya membolos saat pelajaran. Kalian tahu kenapa?” Mereka menggeleng lagi. Tapi tetap bukan bodoh. “Karena saya ingin mengintip wajahnya. Karena kelas saya dan perempuan itu berbeda” “Tapi, meskipun saya sudah belajar dengan giat, tekun dan sungguh-sungguh. Saya tetap tak mampu secerdas dia. Kalian tahu kenapa?” Lagi-lagi mereka menggeleng. Kali ini mereka bodoh. Sangat bodoh. “Karena saya sering membolos saat pelajaran!!” Mereka tertawa. Rupanya mereka paham dengan apa yang kumaksud. Misi pertamaku berhasil: Hilangkan dulu Kantuk itu. Misi kedua kujalankan: Buat mereka terpana dengan cerita anda.
Aku mulai bercerita tentang perempuan itu dengan sangat mendalam. Ku awali cerita saat aku menyatakan cinta. Kemudian kulanjutkan dengan kisah kecantikan paras perempuan itu, kesholehahahan akhlaq perempuan itu, dan kecerdasan otak perempuan itu. 17 murid benar-benar terpana, mereka seakan tertarik pada jalan ceritaku, tertarik pada keanggunan perempuan itu. Dan ketertarikan itu memunculkan penasaran yang menggebu-gebu dari otak mereka. “Siapa nama perempuan itu, pak?” Seorang murid bertanya. “Kring!!!” suaranya bersamaan dengan bel pulang. “Hanya Allah dan saya saja yang tahu. Kalian tak perlu ikut campur.” Sejurus mereka berteriak dengan sangat keras. “Huu!!!”
*****
Aku pulang bagai bersayap. Karpet merah terhampar di sepanjang jalan. Aku merasa telah mengudara jauh kelangit ketujuh ketika perempuan itu menari-nari didalam imajinasiku. Tapi, tiba-tiba aku jatuh terhempas menghunjam tanah dengan kerasnya. Sayap itu patah, karpet itu terlipat. ketika aku sadar, bahwa perempuan itu telah lama meninggalkan aku.
Aku harap dia mendengar.
Seumpama Dahsyatnya Gempa dan Tsunami Aceh. Ah! Bukan. Seumpama Tsunami Jepang tempo lalu. Ah! Kurasa masih kurang gelegar. Seumpama musibah letusan Gunung Krakatau di selat Sunda yang 130 tahun lalu menggemparkan mata dunia dengan letusannya yang perkasa itu, dimana lebih kurang 36.000 jiwa menjadi korbannya. Ah! Sepertinya pas. Seperti itulah dahsyatnya perih jantung dan hatiku, lebur hancurnya tubuhku. Ketika jauh-jauh dulu perempuan itu mengawang, pergi meninggalkan aku begitu saja. Getir. Aku tak bisa melupakannya. Sehela napaspun tak bisa. Ada apa sebenarnya pada perempuan itu sehingga membuatku merasa seperti macam orang gila ini? Sebenarnya apa yang aku harapkan dari perempuan bermata mutiara itu?. Tapi, entah mengapa. Semakin aku mengingatnya, semakin ia menghilangkan jejak. Aku tersesat. Tak bisa menemukan dirinya lagi.
Aku harap dia mendengar.
Aku telah melupakannya. Ketika ia telah mengantarkan padaku surat pernikahannya dengan lelaki yang telah ia pilih Fiddini, Waddunya wal Akhirah. Ah! Hatiku kelu rasanya.
*****
Barcelona telah lama mempunyai El Barça, és més que un club—Barcelona, bukan sekedar klub—nya. Perempuan itu pun tak berlebihan jika ku panggil: és més que un mujer guapa. Semua jelas. Analogy itu, korelasi itu. Barcelona dan perempuan itu klop: Cerdas, menawan, indah, luar biasa dan sempurna. Dan kali ini aku mengerti, kenapa jika aku mengingat Barcelona, perempuan itu mengikutinya. Aku tahu, bahwa nama perempuan itu hampir sangat mirip dengan nama Barcelona.
“Ini untukmu, kau dengar? semuanya ini untukmu. dengan segenap jiwaku.”
Lumajang, 21 September 2012.
Cerpen Karangan: Akhmad Gufron Wahid Facebook: Akhmad Gufron Wahid XceQc Akhmad Gufron Wahid Lumajang Jawa Timur