“Kenapa loe pengen jadi astronot?” tanya kira. “Karena, aku suka bulan. Itulah kenapa aku ingin menjadi astronot. Aku ingin berkunjung ke bulan. Hahaha…” jawab Kenta. “Trus, kenapa loe suka bulan?” tanya kira lagi. “Bulan itu bulat, seperti lingkaran. Tak berujung.” Kenta memandang kira yang duduk di sebelahnya sekilas. Buru-buru ia menjatuhkan pandangan ke arah lain. Yang penting bukan memandang Kira.
“Seperti perasaanku yang tak berujung.” Hening sejenak “Seperti donat juga. Hahaha.. jadi laper nih! Cari makan yuk, ken!” sahut kira mengalihkan pembicaraan. Kali ini, cupid merah jambu belum berhasil menyatukan 2 jiwa yang terpisah. Mereka masih malu-malu. “Apa kamu masih takut gelap?” tanya Kenta. Menahan kira untuk beranjak dari tempat duduknya. Kira memandang ke atas. Lebih tepatnya ke langit yang dipenuhi dengan bintang. “Sebenarnya aku takut malam. Karena malam itu gelap dan aku sangat takut dengan gelap.
Tapi, ada yang bilang kalau nggak selamanya gelap itu menakutkan. Nggak selamanya juga malam itu menakutkan. Karena ada ribuan titik cahaya yang terlihat indah di malam hari. Bulan, bintang, dan kunang-kunang. Tapi aku memilih bintang. Karena hanya bintanglah yang terlihat indah di samping bulan. Bukan kunang-kunang” terlalu sering mereka membahas tentang ini.
kira melirik Kenta sekilas. Siluet wajah Kenta dimalam hari terlihat indah. “Sebenarnya bukan hanya bintang yang terlihat indah di sisi bulan. Komet, asteroid, meteor juga terlihat indah. Tapi kamu tahu nggak? Bulan diciptakan untuk bumi. Bukan bintang ataupun kunang-kunang” Kenta mengambil sebuah toples dari dalam tasnya. Toples itu berisi titik titik cahaya kuning yang bergerak. “Ini kunang-kunang?” tanya Kira. “iya, lihatlah Kira! Kunang-kunang itu indah bukan? Jika bintang adalah bilangan tak hingga, kunang-kunang adalah bilangan asli, kir. Kamu dapat mengetahuinya. Dia bercahaya, bergerak, jauh lebih indah dari bintang. Dia tidak ditakdirkan menemani bulan, tapi dia jauh lebih indah dari soulmate of moon. dia tampak bahagia dan keren, kir. Apa kamu bisa melihatnya Kira? Jadilah kunang-kunang, kira. Jauh lebih indah dari bintang.”
Suasana hening sejenak. Kira mengerti maksut pembicaraan Kenta. “Aku adalah kunang-kunang yang bermimpi menjadi bintang, ken. Tapi nggak mungkin aku bisa menjadi bintang jika kamu nggak mengizinkannya, ken.” Keluh Kira dalam hati. “Aku melihatnya, Kenta. Sungguh bahagia jika aku bisa memilikinya.” “Ini untukmu, Kir. Kamu nggak akan takut lagi. Telah ada cahaya dalam gelapmu.” Kira mengambil toples itu dari tangan Kenta. “Thanks, Ken. Emmm… sepertinya sudah larut malam. Aku harus pulang sekarang. See you next time, ken. Semoga kamu sukses di fakultasmu. I hope you never forget me.” Kira-kira itulah ucapan perpisahan terakhir dari Kira.
Esok, Kenta akan berangkat ke Bandung untuk melanjutkan kuliah disana. Di fakultas yang masih berhubungan dengan matematika, pelajaran favoritnya yang mempertemukan dia dengan Kira juga tentang cita-citanya, astronot. Kenta mendapat beasiswa di ITB dengan jurusan FMIPA. Di terminal, Kenta terlihat gelisah. Belum ada tanda-tanda kehadirannya. Orang yang ia tunggu-tunggu sejak tadi. “Mungkin dia tidak datang untuk melepas kepergianku.” Bisik batin Kenta.
I have died everyday waiting for you Darling don’t be afraid I have loved you For a thousand years I love you for a thousand more
Hp Kenta berbunyi nyaring. “Kira!” “Halo! Kenta! Maaf ya, nggak bisa nganter kamu ke terminal. Radang tenggorokanku kambuh lagi.” Suara Kira terdengar parau “Iya, Kir. Nggak apa-apa kok. Kamu… semoga cepat sembuh ya!” nada kecewa jelas terlihat dari raut wajah Kenta. Buru-buru ia memencet tombol merah di hpnya. Sejenak dia menyesali perbuatannya. “Kenapa aku mencet tombol merah ini? Pengak banget sih!” 5 menit lagi bis pahala kencana jurusan Bandung akan segera berangkat. Kenta memerlukan waktu ± 17 jam untuk menempuh jarak Bojonegoro-Bandung.
Setelah pamit dengan semua orang yang telah mengantarnya, ia memeluk erat bundanya erat. Kenta berlutut di kaki bundanya. Memohon restu untuk keberangkatannya mencari ilmu di kota paris van java itu. Ayahnya tak bisa mengantarnya ke terminal karena sibuk bekerja. Kenta memaklumi hal itu. Tanpa ayahnya, dia tidak mungkin bisa kuliah di fakultas yang diinginkannya. Kaki Kenta terasa berat untuk melangkah. Ia masih mengharapkan kehadiran seseorang. Namun yang diharapkan tak kunjung muncul batang hidungnya.
Bus mulai melaju. Ia termenung di kursinya. iseng-iseng menghitung tiang lampu jalanan. Teringat lagi materi bimbingan OSN tentang menghitung banyak tiang lampu antara kota A dengan kota B menggunakan rumus “kira-kira”. Ia terbayang-bayang nama cewek ini lagi “Kira”. Cewek unik yang akhir-akhir ini menggemari bintang dan Neil Amstrong. Sementara itu… “halo! Kenta! Kenapa mati? Nggak ada sinyal ya?” teriak Kira dengan suara parau. Kira mencoba menelpon balik no Kenta. Tapi hanya ada suara operator yang mengatakan bahwa pulsanya tidak mencukupi untuk melakukan panggilan keluar. Kira hanya bisa memaki dirinya sendiri. Nggak mungkin dia memaki operator. “Lain kali akan ku telpon dia” ujarnya dalam hati. Kira terlelap. Obat penurun demam itu membuatnya mengantuk. Dalam lelapnya, ia bermimpi duduk di bawah pohon jambu ditemani kunang-kunang dan… Kenta. Kira menyandarkan kepalanya yang terasa berat karena demam di pundak cowok itu.
Malam harinya, Kira membuka buku diary birunya. Dia membaca coretan-coretan kenangan yang selalu ia tulis di buku diarynya. Baru disadarinya, setiap sudut dari halamannya, tertulis nama Kenta dan symbol