Malam itu, hujan turun deras membasahi jalanan desa kecil yang sepi. Raka, seorang mahasiswa yang sedang meneliti sejarah bangunan kolonial, terpaksa berteduh di sebuah rumah tua yang tampak kosong. Jendelanya berdebu, cat kayunya mengelupas, dan atapnya sudah hampir runtuh.
Namun yang aneh, di salah satu jendela lantai dua, tampak cahaya lilin yang menyala redup. Padahal dari luar, rumah itu sudah lama dikenal sebagai bangunan terbengkalai.
Raka mengetuk pintu kayu yang berat. Tak ada jawaban. Saat ia mendorongnya, pintu itu berderit pelan dan terbuka sendiri. Aroma lembap bercampur anyir memenuhi udara.
Di ruang tamu yang gelap, ia menemukan sebuah meja dengan buku catatan tua. Di halaman terakhir, tertulis dengan tinta merah:
"Jangan biarkan lilin itu padam, atau mereka akan terbangun."
Raka menelan ludah. Ia mendongak ke arah jendela di lantai dua, cahaya lilin masih bergetar tertiup angin. Langkah kakinya berderak menaiki tangga, namun semakin ia mendekat, nyala lilin itu seperti meredup.
Tepat saat ia sampai di depan pintu kamar sumber cahaya itu, lilin pun padam.
Sunyi.
Lalu, dari kegelapan kamar, terdengar suara napas berat… bukan hanya satu, tapi banyak.
Raka berdiri kaku di depan pintu kamar. Suara napas itu semakin jelas, seolah-olah ada beberapa orang sedang berdesakan di dalam ruangan gelap.
Dengan tangan gemetar, ia menyalakan senter dari ponselnya dan menyinari ke dalam kamar. Cahaya putih bergetar di udara berdebu, menyingkap ruangan kosong—tak ada siapa-siapa.
Namun… di dinding kamar itu penuh dengan lukisan wajah-wajah manusia, ratusan, semua menatapnya dengan mata hitam pekat. Beberapa lukisan tampak baru, catnya masih basah.
Raka melangkah mundur, tapi tiba-tiba pintu menutup keras di belakangnya. Senter ponselnya bergetar, lalu mati tanpa sebab. Gelap total.
Di telinganya, suara berbisik lirih muncul, seperti banyak orang berbicara sekaligus:
"Kau datang untuk menggantikan lilin itu…."
Seketika semua mata dalam lukisan menyala merah. Raka berteriak, mencoba membuka pintu, tapi terkunci rapat. Tiba-tiba, sebuah tangan dingin meraih pergelangan tangannya dari arah dinding, seolah lukisan itu hidup.
Dan sebelum ia sempat berteriak lagi, pandangannya menghitam.
Keesokan paginya, rumah tua itu kembali sunyi. Hanya ada satu lilin baru yang menyala di jendela lantai dua—dengan bayangan wajah Raka tergambar samar di dinding, menambah satu lukisan baru di antara ratusan yang lain.
Beberapa hari setelah hilangnya Raka, seorang warga desa tua bernama Mbah Jali menceritakan sesuatu kepada aparat yang mencari jejaknya. Dengan suara bergetar, ia berkata:
“Rumah itu bukan sekadar kosong. Dulu, pada masa kolonial, rumah tersebut adalah tempat seorang pelukis tinggal. Tapi bukan pelukis biasa… ia membuat perjanjian dengan makhluk gaib agar lukisannya tampak hidup. Syaratnya, setiap kali lilin di jendela padam, satu nyawa baru harus terperangkap dalam kanvasnya.”
Aparat hanya menatap tak percaya. Namun Mbah Jali melanjutkan dengan tatapan kosong:
“Sejak itu, lilin di jendela selalu menyala setiap malam. Jika padam… rumah akan menuntut pengganti. Orang terakhir yang masuk ke sana… akan menjadi lukisan berikutnya.”
Malam itu, salah satu aparat nekat mendatangi rumah tua itu untuk memastikan. Dari kejauhan, ia melihat cahaya lilin di jendela lantai dua, bergetar pelan.
Ketika ia mendekat, lilin itu tiba-tiba padam—padahal angin tak bertiup.
Dalam kegelapan, samar-samar ia mendengar suara napas berat… dan ratusan mata dari dinding kamar menatapnya, kini dengan wajah baru yang ia kenal: Raka.
Sekuel: Penjaga Lilin
Setelah hilangnya Raka, rumah tua di ujung desa semakin sering diperbincangkan. Banyak warga mengaku melihat sosok bayangan di balik jendela, kadang berdiri mematung sambil menatap jalan.
Namun seorang gadis bernama Sinta, sahabat dekat Raka, menolak percaya begitu saja. Ia yakin Raka masih hidup. Malam itu, ia memberanikan diri mendatangi rumah tua itu sendirian, membawa korek api dan beberapa lilin cadangan.
Begitu masuk, udara di dalam rumah terasa berat, seolah ada puluhan pasang mata yang mengawasinya. Di meja ruang tamu, ia menemukan buku catatan tua yang pernah dilihat Raka. Halaman terakhir kini berbeda:
"Jika kau ingin menyelamatkannya, jangan biarkan lilin ini padam sampai fajar."
Dengan gemetar, Sinta menyalakan lilin di kamar lantai dua. Saat api kecil itu menyala, lukisan-lukisan di dinding bergetar pelan, seolah bernafas. Dan di antara wajah-wajah itu, ia melihat Raka, tatapannya penuh permohonan.
Malam itu terasa panjang. Setiap kali nyala lilin hampir padam, angin dingin berhembus dari celah-celah dinding, disertai suara-suara berbisik:
"Padamkan… padamkan lilinnya… biarkan kami bebas."
Sinta menahan ketakutan, terus menjaga api kecil itu dengan sisa tenaganya. Namun menjelang tengah malam, ia sadar sesuatu—jumlah wajah di dinding berkurang satu. Lukisan Raka perlahan memudar, seolah keluar dari jeratnya.
Tapi bersamaan dengan itu, bayangan-bayangan hitam mulai merayap dari sudut kamar, bergerak ke arah lilin.
Sinta menutup lilin dengan kedua tangannya, melindungi api rapuh itu. Suara-suara bergema semakin keras:
"Jika satu bebas, yang lain harus menggantikan…"
Dan saat fajar hampir tiba, lilin bergetar keras, hampir padam. Tiba-tiba wajah Raka muncul di hadapan Sinta, nyata, hidup, berbisik:
"Jangan lepaskan… atau kau yang akan terperangkap."
Akhir: Api yang Memilih
Sinta menggenggam lilin erat-erat, meski panas apinya hampir membakar kulit. Bayangan-bayangan hitam makin dekat, mengulurkan tangan-tangan panjang yang dingin. Wajah-wajah di dinding meraung, seakan menuntut kebebasan.
Raka sudah setengah keluar dari lukisan. Tubuhnya transparan, namun perlahan menjadi nyata. Ia berteriak,
“Bertahan, Sin! Sedikit lagi!”
Namun suara-suara gaib itu membalas:
“Satu keluar, satu masuk. Itu syaratnya.”
Tiba-tiba lilin bergetar hebat, seakan hendak padam. Dalam detik terakhir, api itu terbelah menjadi dua nyala. Salah satunya menyinari Raka, hingga ia benar-benar bebas keluar dari dinding.
Tapi nyala satunya… menyambar ke arah Sinta.
Ia menjerit, namun tubuhnya membeku. Perlahan, kulitnya kaku, matanya kosong. Wajahnya tertarik ke dinding kamar, membentuk lukisan baru yang masih basah—mata penuh air, seolah terus menatap Raka.
Pagi pun tiba. Rumah tua itu kembali sunyi. Raka terduduk lemas di lantai, menatap sahabatnya yang kini terperangkap di dinding, menggantikan dirinya.
Di jendela lantai dua, lilin baru menyala sendiri, seakan menertawakan nasib yang berulang.
Kini giliran Raka yang tahu kebenarannya:
lilin itu bukan untuk menjaga para roh tetap tertidur—tetapi untuk memilih siapa yang akan menjadi penghuni baru lukisan.
Dan lilin itu… selalu menyala lagi setiap malam.