Bising suara tak jua berhenti menemani hari kelamku. Aku seakan membisu dalam keramaian kota tersebut. 500 rupiah, 1000 rupiah.. ah, aku tidak bisa mengharap banyak hanya dengan memelas dan menyanyi tak karuan. Memang malu rasanya, saat melihat anak-anak sebayaku pergi bersekolah dengan rajinnya. Aku ingin sekali melanjutkan pendidikanku, seperti yang lainnya. Tapi, harapan tinggalah harapan. Meskipun cita-citaku setinggi langit, tapi biaya tak ada? Yah, mau bagaimana lagi? Emak sakit TBC akut dan sudah tidak kuat lagi mencari kayu bakar di hutan. Abah? Abah pergi entah ke mana sejak aku berusia 5 tahun.
“Nin! Dapat berapa hari ini?” tanya Dea, teman mengamenku. “Tidak banyak, De. Cuma dapat 10 ribu, apa cukup buat beli obat Emak? Padahal.. sudah dari tadi pagi kita mengamen.” kataku. “Alhamdulillah, Nin. Aku dapat 20 ribu, 10 ribunya untukmu, ya! Emakmu harus cepat sembuh.. Ini ambilah!” kata Dea, dengan senyum manisnya. “Tidak ah De, keluargamu bagaimana?” tanyaku sungkan. “Aku masih ada cukup uang di celenganku. Lagipula, persediaan nasi di rumah juga masih ada, kok Nin!” jawab Dea. “Kamu juga sudah banyak menolongku.” lanjutnya. Aku tercengang mendengar perkataan Dea. “Apa kamu yakin, De?” tanyaku. “Tentu! Cepat ke apotek, kasihan Emak. Sebentar lagi sudah larut, lho. Aku juga mau pulang.” kata Dea, sambil menyerahkan uang kepada ku. “Terimakasih, De. Insyaallah aku akan menggantinya secepat mungkin.” kataku sambil berlari meninggalkan Dea, menuju apotek.
Sesampainya di apotek, aku segera menanyakan obat untuk Emak. Ternyata, harga obat tersebut Rp. 18.000. Berarti, tidak cukup untuk membeli beras. Aduh, besok pagi Emak makan apa? Nanti.. Emak tambah sakit karena nggak makan. Aku melongo sendiri, dan membuat Apotekernya kesal. “Jadi beli atau enggak?” kata Apoteker. “I.. Iya.” kataku sambil menyerahkan uang. Seusai beli, aku pun segera kembali ke rumah. “Huh, apa semua orang kaya kasar seperti itu?” gumamku dalam hati. “Emak.. Emak.. ini Nina belikan obat. Emak harus minum obatnya, biar lekas sembuh.” kataku. “Terimakasih, Nak.” kata Emak, yang terus batuk tiada henti. Emak ingin sekali membantumu bekerja. “lanjut Emak. “Sudahlah, Mak. Biar Nina saja yang bekerja. Emak hanya perlu istirahat.” kataku, sambil memijat kaki Emak. “Sekarang, Emak tidur, ya! Sudah malam.” kataku sambil menyelimuti Emak dengan selimutku.
Akupun segera menuju kamar kecil kumuhku. Aku hanya dapat memandangi langit-langit kamarku yang bocor. Jujur saja, aku tidak dapat tertidur lelap dengan mudahnya. Kalau tidak bisa tidur, aku selalu membaca buku gratis yang aku pinjam dari Perpustakaan kecil di dekat rumahku, atau menulis puisi. Ya, dengan penerangan sederhana dari lampu minyak. Emak belum sanggup untuk membayar listrik.
Keesokan harinya, aku segera pamit ke Emak untuk bekerja. Aku pun mulai mengamen bersama Dea, seperti biasanya. Hasil mengamen juga sedikit seperti biasanya. “Aku ingin sekali bersekolah, aku tidak mau selamanya mengamen..” gumamku. “Aku juga, Nin! Bagaimana, kalau kita pergi ke SMP di sana? Kita kan bisa ikut mendengarkan dari luar.” ajak Dea. Aku pun mengangguk. Ya, sejak hari tu, aku dan Dea selalu menyempatkan waktu untuk bersekolah “diam-diam”. Tentunya dengan rasa takut diusir oleh Pak Satpamnya, hehe.
Suatu hari, aku bertemu dengan seorang perempuan bernama Melline. Perempuan itu ramah sekali, dan mengajakku dan Dea berteman. Melline selalu meminjamkan buku pelajaran kepadaku, juga Dea. Melline juga selalu belajar bersama kami di waktu istirahat. Aku senang sekali, bisa terus mencari ilmu sambil bekerja untuk Emak. “Nina.. Dea.. Apa kalian tidak bersekolah? Kalian anak yang cerdas, sayang sekali kalau tidak bersekolah.” kata Melline. “Aku putus sekolah sejak kelas 6 SD, bersama Dea. Ibuku tak punya cukup biaya untuk sekolahku. “kataku sedih.” Jangan khawatir! Kalian pasti bisa bersekolah di sini sesegera mungkin. “kata Melline. Esoknya, ada beberapa orang berseragam PNS mendatangi rumahku. “Permisi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” kataku dengan sedikit takut. “Kamu benar Nak Nina?” tanya Bapak tersebut dengan halus. “Iya, Pak. Saya Nina.” jawabku heran. “Begini, Bapak dengar dari putra bapak, Melline, bahwa kamu dan temanmu Dea, sangat ingin bersekolah. Apa itu benar, Nak?” tanya Bapak tadi. “Benar, Pak, tapi Saya tidak mampu untuk membayar biaya sekolah.” kataku. “Baiklah, Bapak di sini, selaku Kepala Sekolah SMPN Citra Bangsa akan menyalurkan bantuan bersekolah untukmu. Asalkan, kamu harus berjanji untuk dapat memanfaatkannya dengan baik.” kata Bapak itu. Aku girang bukan kepalang. Tak henti-hentinya aku mengucap terimakasih kepada Bapak tersebut. Sejak hari itu, aku dan Dea kembali bersekolah. Aku juga tidak lagi mengamen dan meminta-minta. Pihak sekolah sudah memberikan bantuan kepada Emak untuk berobat tiap bulannya, juga Dea. Aku menjadi semakin yakin, bahwa baik buruknya takdir seseorang, ditentukan oleh kekuatan tekad untuk meraih cita-cita mulia masing-masing.
SELESAI
Cerpen Karangan: Annisa Berliana Dewi Facebook: Annisa Berliana Dewi