“Eh… lihat!” terdengar di kanan telinga Chaca. “Apa…,” sahut Chaca menoleh yang di tunjuk Sinta. “Nyam… Gulali!” ucap Chaca dan Sinta serentak dan berlari ke arah yang ditunjuk Sinta.
Wow… banyak banget yang membeli gulali, dari anak kelas satu sampai kelas enam. Rasanya yang sweet, warna yang top dan berbentuk sesuka hati para siswa. Wah, ada yang berbentuk raket, kupu-kupu, bunga, gajah dan masih banyak lagi. Kalau Chaca memesan bentuk buku, karenanya ia kutu buku. Chaca suka banget sama buku novel, cerpen, puisi, pelajaran dan majalah islam.
Hmm… selain banyak buku, Chaca juga suka mengoleksi gantungan kunci. Ia punya gantungan kunci dari berbagai kota maupun luar negeri. Hebat… Chaca selalu mendapat peringkat satu, tak pernah mengalamai nilai turun. Sinta, teman sebangkunya. Ia juga bisa di sebut sahabat tapi kadang Sinta suka jahil sama Chaca.
Kadang mereka bertengkar gara-gara ulah Sinta, pertemanan mereka putus nyambung-putus nyambung. Hihihi… lucu, udah gede masih aja berantem. Siang itu, terlihat Chaca yang sedang malas mendengar Pak Guru berceramah. Fuff… bad day! Teng… Teng, terdengar buyi bel tanda pulang sekolah.
“Yes… eating gulali!” katanya semangat.
Oh… penjual gulali tidak ada, tadi pagi Chaca dan Sinta baru saja membeli. Chaca semakin kesal saja, ia pun segera pulang dengan Sinta dan Rani. Mereka sebagai penggemar berat gulali merasa sedih dan hampa. Ketika sampai rumah, segera meletakkan tas, mengganti baju, makan siang. Dan tidak lupa tidur siang.
“Mana sih, Pak gulali,” katanya melontarkan kekesalan. Chaca yang sedang kesal, ia segera tidur karena bisa menenangkan hati dan pikiran.
Malamnya Chaca mencoba keluar rumah, apakah ada Pak gulali? Tanyanya dalam hati. Dengan mendengus kesal, Chaca yang manja meminta Bundanya untuk membeli gulali di toko permen.
“Bun… beliin gulali dong, ya!” pinta Chaca manja “Enggak, sayang. Nanti gigimu bolong lho!” ucap Bunda menakut-nakuti. “Masa sih Bun, aku enggak percaya deh,” “Yaudah kalau mau bolong giginya, nanti selesai pulang sekolah ya, belinya!” ucap Bunda sembari mengelus kepala Chaca. Chaca tersenyum senang dan… thank’s mom.
Keesokan paginya, Chaca mencium tangan kedua orangtua setelah itu berangkat sekolah. Nyam… udara pagi sangat segar, mentari yang menampakkan dirinya, burung berkicau dan polusi mulai dimana-mana.
“Pagi…!” ucap Chaca sangat ceria. Ia kan mau ke toko gulali maka-nya ia happy. “Pagi, juga! Cha…,” sahut anak-anak yang sedang piket pagi.
Hmm… untung saja ini hari sabtu, pelajaran enggak berat. Cuma pelajaran SBK (Seni budaya keterampilan) dan PLH (Pengetahuan Lingkungan Hidup). Kali ini SBK sangat mengasyikkan.
Yakni membuat cerpen singkat, itu jago Chaca. Sombong ya! Hehehe… karena ia mahir dalam membuat cerpen, ia aja memenangkan lomba membuat cepen se-Kabupaten. Belum seberapa sih, tapi udah hebat kok.
Pelajaran berlangsung sangat bersemangat, anak-anak yang happy karena besok kan libur, ya… iyalah hari Minggu. Chaca segera mengambil kertas kosong putih yang dibagikan oleh Qiqih (Ketua Kelas). Judulnya apa ya? Yang gampang deh. Fasyla and Nadya, yakni bercerita anak kembar yang telah lama menghilang, mereka sama-sama berhati lembut.
Kedua orangtuanya terpaksa di adopsi orang lain, karena ekonomi. Fasyla yang masih beruntung dapat bersyukur, Nadya yang di adopsi oleh seorang yang kaya raya. Setelah mereka dewasa, suatu saat Fasyla dan Nadya bertemu ketika di sebuah restoran. Fasyla yang miskin menjadi pelayan restoran. Mereka bertatapan, kok kembar. Orangtua yang mengadopsi Nadya, menceritakan semua yang telah terjadi.
“Kamu… sama kayak aku! Semuanya mirip,” kata Nadya terkejut. “Iya, kamu sama denganku!” ucapnya juga penasaran.
Fasyla dan Nadya berpelukan erat dan tak kuat menahan bendungan air mata, tetes-tetes air mata sebagai saksi bahwa mereka putri yang kembar. Sejak saat itulah mereka sering berkunjung ke rumah masing-masing, Ibu dari Fasyla dan Nadya meminta maaf sama mereka berdua, karena ini di rahasiakan. Tapi telah terbongkar, mereka berdua gembira untuk selamanya.
Chaca segera mengumpulkan cerpen tersebut, hasil akan dibagikan hari senin. Yes… mudah-mudahan terpilih. Pelajran telah selesai semua, saatnya pulang. Tapi mampir ke toko gulali dulu.
Sesampainya di toko gulali…
Wow… it’s mazing, gulali sangat menggiurkan Chaca. Ia melihat-lihat warna-warna gulali yang cerah, di sini lebih banyak bentuk. Chaca memilih bentuk kado, balon dan kucing. Harganya cukup Rp 2.500. Murahkan, Nyam… ia membuka plastik yang berbentuk balon. Delicious… mereka langsung pulang ke rumah.
“Yup… ini lebih baik,” gumamnya sembari menjilat-jilat gulali. Chaca meletakkan gulali tersebut ke lemari pendingin, ia duduk di sofa dengan manisnya dan berterima kasih sama Bundanya.
“Bun… ini enak, daripada yang di sekolah!” ucapnya. “Ya, iyalah. Ini lebih sehat daripada yang di school kamu, Cha! Banyak debu. Kapan-kapan kalau mau lagi bilang Bunda dulu ya!” pintanya dan tersenyum manis. “Yup… that’s right mom!”
Waktunya penerimaan cerpen yang terbaik nih, siapa ya yang terpilih? Apakah ada yang lebih bagus dari Chaca? Okey, siap melangkahkan kaki ke sekolah, siap mengalami menang atau kalah. Teng… Teng, anak-anak mulai meninggalkan barisan dan memasuki kelas. Huh… anak-anak mulai resah atas cerpennya masing-masing.
“Okey, kid! Saatnya penerimaan cerpen yang terbaik, tapi Bapak mau memberitahu kalian dulu. Anak-anak ada sepuluh cerpen yang terpilih, satu sampai tiga akan mendapatkan point prestasi dan satu lagi karya kalian akan Bapak cetak seperti buku kemudian diletakkan di perpustakaan sekolah ini. Oh, ya yang mendapat posisi satu sampai tiga akan Bapak ikutkan lomba se-kabupaten dan sampai tingkat tertinggi! Kalian mengerti, siap-siap!” ucap Pak Guru panjang lebar.
“Mengerti…!” sahut anak-anak. Mereka sangat kegirangan sekali, murid di kelas ini ada tiga puluh lima. Wah… lumayan banyak, tapi Chaca masih dag… dig… dug deh.
Siap para pembaca, hmm… jadi gemeteran nih. Cihuy… Pak Guru mengambilkan semua naskah cerpen singkat.
“Pemilihan cerpen yang terbaik pertama, adalah Dheanita Rosa… tepuk tangan!” ucap Pak Guru dan menyerahkan point prestasi. Gemuruh tepuk tangan seisi kelas.
Prok… Prok…Prok! Yang kedua adalah Wulan Miranda…, yang ketiga adalah Fany Crewis! Yang keempat adalah Boby Misel…, okey yang kelima kira-kira siapa ya? Dari tadi Chaca belum dapat nih. Hiks…
“Okey, ini yang lumayan bagus untuk Bapak. Chaca Early Miracell…!” wow… hebat, terdengar bunyi tepukkan tangan yang keras. Tapi apakah Sinta bisa?
Chaca emang hebat, yang keenam… Fadly Robert, ketujuh Safrullah Jami’k. Yang kedelapan… Bellatrix Husain Mona, yang kesembilan adalah Tommy Afsah, yang kesepuluh adalah… Sinta Niky Keisha. Asyik… sahabat Chaca dapat juga. Walaupun Chaca tidak mendapat point prestasi dan tidak ikut lomba cerpen se-Kabupaten kemudian tingkat tinggi.
Tetapi Chaca bisa menunjukkan bakatnya yang terpendam, sejak saat itulah Chaca mulai menuliskan kumpulan cerpen dan novel. Ia mengirimkan naskahnya ke penerbit dan bisa dinikmati para pembaca.
Cerpen Karangan: Tifa Raisandra Facebook: Tifa Raisandra Sudah taukan siapa aku? Ini cerpen ketigaku, semoga kalian senang membacanya dan jangan lupa add juga facebook & my twitter. Tolong di kasih kritik dan saran ya! Biar cerpenku lebih bagus lagi dari sebelumnya.